Pemimpin Keluarga ‘Bermental Miskin’
Ya, apapun bentuk organisasi dan skala organisasi tersebut, mulai dari organisasi terkecil, yaitu keluarga, organisasi berskala menengah seperti organisasi massa, Lembaga Swadaya Masyarakat, perusahaan, dan lainnya, sampai organisasi yang berskala besar seperti negara, jika memiliki pemimpin yang ‘bermental miskin’, maka dapat dipastikan, seluruh organisasi dalam berbagai bentuk dan skala tersebut, akan menjadi stagnan, bahkan mudah runtuh.
Jika demikian, apakah yang dimaksud dengan pemimpin yang ‘bermental miskin’ tersebut?
Begini, saya akan mencoba menjelaskan secara sederhana, bagaimana inspirasi dari pemimpin yang ‘bermental miskin’ tersebut. Saya akan mengambil contoh dari sebuah organisasi yang terkecil dahulu, yaitu keluarga, dimana orangtua sebagai pemimpin keluarga sangatlah tidak disarankan untuk memiliki ‘mental miskin’ dalam membesarkan anak-anaknya, yang notabene sebagai anggota sah dari organisasi keluarganya tersebut.
Dalam sebuah laman berita di msn.com (2023), dituliskan bahwa ada sebuah penelitian yang diungkapkan oleh pakar parenting Amy Morin dalam bukunya, “13 Things Mentally Strong Parents Don’t Do”, yang menyoroti pengaruh fatal dari ‘mental miskin’ yang dimiliki oleh orangtua, seperti ucapan-ucapan toksik yang tanpa disadari dapat meracuni pikiran anak dan menghambat perkembangan mereka.
Adapun contoh dari ucapan-ucapan toksik tersebut, misalnya antara lain:
- “Kita tidak mampu membeli itu, jadi sebaiknya jangan impikan hal-hal yang terlalu besar.”
- “Orang seperti kita tidak bisa mengharapkan terlalu banyak dari hidup ini.”
- “Kita tidak bisa seperti mereka yang memiliki segalanya, jadi lebih baik berdamai dengan keadaan.”
- “Uang tidak tumbuh di pohon, jadi jangan berharap terlalu banyak.”
- “Kamu harus bersiap-siap untuk kegagalan, karena itulah yang biasanya terjadi.”
- “Bisnis besar atau kesuksesan itu hanya milik orang-orang tertentu, bukan kita.”
Sekilas ucapan-ucapan tersebut terdengar sangat bijak dan penuh dengan rasa syukur, namun sebenarnya, kata-kata tersebut justru malah mematikan kreativitas anak, dan melemahkan semangat juang mereka dalam menghadapi hidup. Itulah bentuk kata-kata atau kalimat nasihat toksik yang sejatinya sering diungkapkan oleh orangtua kepada anaknya, terutama para orangtua yang ‘gagal’ terhadap diri dan kehidupannya sendiri.
Bagi kita sebagai orangtua, mungkin bisa ‘menerima’ kata-kata tersebut, dikarenakan usia kita yang sudah lanjut, tenaga kita yang semakin berkurang, banyaknya kegagalan kita dalam hidup, dan mungkin besarnya keinginan kita sebagai orangtua untuk menyudahi hidup, dikarenakan kegagalan-kegagalan yang selalu kita alami tersebut.
Tetapi yang pasti, anak kita bukanlah kita. Nasib mereka pastinya akan berbeda dengan kita, jika kita tidak ‘menjerumuskan’ mereka untuk memiliki keadaan dan kegagalan yang sama dengan kita. Waktu mereka masih panjang, tenaga mereka masih jauh lebih kuat, dan kreatifitas mereka pastinya bisa lebih jauh berkembang, jika kita sebagai orangtuanya, sebagai pemimpin mereka, mampu untuk membangkitkan semangat mereka.
Janganlah menularkan ‘mental miskin’ kita kepada mereka. Jangan menularkan dan ‘mengarahkan’ semua kegagalan-kegagalan kita selama hidup kita kepada mereka.
Ada beberapa hal yang dapat kita lakukan sebagai orangtua sekaligus sebagai pemimpin anak-anak kita dalam upaya meningkatkan kualitas kehidupan mereka kelak, antara lain: meningkatkan rasa percaya diri anak-anak kita, jangan batasi aspirasi, ambisi, dan harapan mereka dalam meraih sesuatu, selama itu masih dalam koridor kebaikan, tanamkan persepsi kebaikan tentang arti sebuah kesuksesan, dimana ketika kelak mereka meraih kesuksesan, mereka akan dapat membantu sesama dengan lebih mudah.
Selain itu kita juga sebagai orangtua harus terus menguatkan mental mereka dengan memberikan berbagai macam contoh dan inspirasi yang positif dari lingkungan sekitarnya.
Akibat Fatal Karena Memiliki Pemimpin ‘Mental Miskin’
Adapun contoh dari akibat pemimpin-pemimpin yang ‘bermental miskin’ dalam skala kenegaraan adalah banyaknya pemimpin daerah dan pemimpin organisasi pemerintah, dari level skala kepemimpin yang terkecil, sampai kepada level kepemimpinan nasional yang hobi melakukan tindak pidana korupsi, kolusi dan nepotisme. Korupsi, kolusi, dan nepotisme yang dilakukan oleh para pemimpin ‘miskin’ inilah yang justru membuat anggota atau rakyatnya menjadi miskin dan sengsara, dalam arti kata secara harfiah.
Terlalu banyak mimpi dan harapan yang dilontarkan oleh tipe-tipe pemimpin tersebut, tetapi sejatinya mereka tidak mengetahui bagaimana cara mewujudkan harapan-harapan itu. Ujung-ujungnya hanya mampu memberikan bantuan sosial (bansos), kartu-kartu ‘sakti’, dan berbagai macam bentuk ‘suap halus’ lainnya kepada rakyatnya, demi menutupi ketidakmampuannya dalam memimpin. Juga demi menutupi ketidakmampuannya dalam meningkatkan ekonomi, harkat dan derajat hidup seluruh rakyatnya. Jadi, alih-alih meraih harapan dan mimpi yang indah, justru yang didapat oleh rakyat atau anggotanya adalah kemiskinan, kecemasan dan ketakutan.
Mereka adalah pemimpin-pemimpin yang salah mengartikan kesuksesan. Pemikiran para pemimpin seperti inipun sangatlah sempit dan sangat pragmatis, hanya berpikir seputaran keuntungan materi saja.
Seperti yang pernah dikatakan oleh Triyono (2019) di dalam bukunya yang berjudul “Kepemimpinan Transformasional Dalam Pendidikan (Formal, Nonformal, dan Informal)” bahwasannya ukuran standar kehidupan para pemimpin ‘bermental miskin’ tersebut adalah materialisme dan kekuasaan, sehingga mereka akan selalu merasa kurang dalam hal materi, dan selalu ingin berlama-lama menikmati nikmatnya kekuasaan, sehingga tidak pernah menyadari kekurangan mereka dalam hal kualitas diri. Selama mereka merasa tujuan materi dan kekuasaannya sudah tercapai, maka itulah nilai sebuah kesuksesan bagi mereka. Nilai halal atau haram itu urusan belakangan.
Tipe pemimpin-pemimpin ‘bermental miskin’ tersebut akan merasa sukses jika mereka telah mampu membuat kaya dirinya, keluarganya, dan golongannya saja. Maklum saja, namanya juga merasa miskin, pastinya akan selalu mengutamakan dirinya dengan mengumpulkan materi sebanyak-banyaknya.
Berbeda halnya dengan pemimpin yang ‘bermental kaya’. Menurut MS. Mustika (2012), di dalam bukunya “The Ultimate Power of Sholat Tahajjud,” bahwasannya pemimpin ‘bermental kaya’ adalah pemimpin yang merasa tidak perlu untuk menambah kekayaan materi bagi dirinya, tidak perlu untuk memanjangkan kekuasaan, karena ukuran kesuksesan bagi seorang pemimpin yang ‘bermental kaya’ adalah dapat membahagiakan anggota organisasinya atau rakyatnya, meskipun tidak harus berkuasa lama. Pemimpin ‘bermental kaya’ adalah pemimpin yang selalu berbagi, memberikan kesempatan yang sama kepada semua orang untuk dapat meraih kesuksesan yang sama.
Dengan demikian, maka nasib sebuah organisasi yang kecil maupun organisasi besar setingkat negara yang bernasib sial karena memiliki pemimpin yang ‘bermental miskin’ tersebut, adalah tinggal menunggu saat hancurnya atau saat matinya saja, organisasi tersebut bisa mati secara cepat, bisa juga mati secara perlahan dan menyakitkan, terkecuali para anggotanya atau rakyatnya berani untuk mengganti pemimpin toksik tersebut secepatnya, untuk menggantinya dengan pemimpin yang mempunyai ‘mental yang kaya.’
Wallahu’allam bisshowab
Jakarta, 04 Januari 2024
*Director of Logos Institute for Education and Sociology Studies (LIESS) / Pemerhati Pendidikan dan Sosial/ Sekolah Pascasarjana UIKA Bogor/ Anggota PJMI