humaniora.id – Saat saya mengabdi di TNI, saya benar-benar merasakan, semangat prajurit TNI untuk berlatih dan menjadi yang terbaik. Setiap prajurit TNI yang saya kenal benar-benar mengerti dan menjalankan pepatah militer, “semakin banyak keringatmu dalam latihan, semakin sedikit darah tertumpah dalam pertempuran”, adalah benar.
Kebanyakan prajurit TNI mampu berperang dengan keras, mampu berperang dalam kondisi yang tidak mengenakan. Mampu mengatasi kejamnya hutan belantara. Terbiasa dan tidak terpengaruh penderitaan. Loyal terhadap senior dan pimpinannya. Tidak pernah mengabaikan perintah atau memberontak dalam sebuah pertempuran, kecuali pimpinan mereka berbuat sangat tidak layak dan tidak jujur.
Saya percaya, there are no bad soldiers, only bad commanders. Tidak ada prajurit yang jelek, hanya ada para komandan yang jelek.
Karena itu, dulu saat saya baru dilantik jadi Danjen KOPASSUS, tepatnya hari kedua setelah dilantik, saya langsung ke Kartasura, Kabupaten Sukoharjo, markas Grup-2 Kopassus. Saya datang tanpa pemberitahuan, dan minta seluruh prajurit kumpul. Saya datang untuk pastikan sereka telah menerima seluruh hak mereka, termasuk uang lauk pauk, tunjangan gizi, insentif dan parako telah mereka terima tepat waktu dan tanpa potongan apapun.
Saya juga datangi barak prajurit dan cicipi makanan barak. Ternyata, pada waktu itu, nasi yang dimakan oleh prajurit masih ada kerikil dan kutu. Sayur yang dihidangkan masin ada ulatnya. Mengetahui hal ini, saya langsung minta Kepala Perwira untuk beli makanan paling enak di Kota Solo, lengkap dengan kue, jagung, singkong dan kacang-kacangan untuk seluruh prajurit. Saya juga terus pastikan makanan prajurit selalu berkualitas baik.
Saya percaya, seorang komandan harus keras tapi mendidik, agar para prajuritnya jadi terhormat dan memiliki harga diri. Seorang komandan harus selalu bergerak mencarikan solusi untuk mengatasi berbagai masalah yang dialami oleh prajurit. Jika komandannya baik, pasti prajuritnya baik dan berprestasi./*