MU•SYA•WA•RAH
Musyawarah/mu•sya•wa•rah/ n, menurut KBBI, ialah pembahasan bersama dengan maksud mencapai keputusan atas penyelesaian masalah; perundingan; perembukan, bermusyawarah/ber•mu•sya•wa•rah/ v berunding; berembuk: semua pihak bersedia-;
Musyawarah Kesenian Jakarta, yang pertama kali dalam sejarah, yang persidangannya dipimpin oleh Joe Marbun, telah berlangsung pada tanggal 1-2 Nopember 2022. Selain merevisi Peraturan Gubernur Nomor 4 Tahun 2020 tentang DKJ dan AJ, menyusun rencana strategis kesenian, juga menyeleksi kandidat anggota Dewan Kesenian Jakarta Periode 2023-2026.
60 orang kandidat telah berhasil diseleksi dengan ketat oleh forum Musyawarah melalui sidang Komisi Bakat (Bakal Calon Kandidat) yang diketuai oleh Moktavianus Masheka, yang terdiri dari enam Sub Komisi: Sastra, Teater, Musik, Tari, Seni Rupa, dan Film.
Nama-nama 60 kandidat yang terpilih, berdasarkan peringkat 1 sampai 10 untuk masing-masing Komite, telah diajukan ke meja Akademi Jakarta, untuk disaring lagi melalui serangkaian wawancara (yang akan dilaksanakan pagi Senin dan Selasa siang, 13-14 Februari 2023 di sebuah tempat di kawasan Taman Ismail Marzuki).
Pengajuan nama-nama tersebut adalah amanat Musyawarah Kesenian Jakarta, yang pelaksanaannya berdasarkan ketentuan hukum, mengacu pada pasal dan ayat yang termaktub dalam Peraturan Gubernur Nomor 4 Tahun 2020.
Apakah musyawarah dan hasilnya bisa menjadi ‘kitsch’, menjadi sekedar hiburan dagelan lucu-lucuan?
Bisa saja, jika penyelenggaranya tidak amanah, tidak punya integritas, tidak berorientasi pada kepentingan dan permasalahan faktual obyektif yang dihadapi kalangan seniman, serta tidak berkomitmen pada aturan yang disepakati dan hasil keputusan yang dicapai.
KAN•DI•DAT
Kandidat/kan•di•dat/ n 1 menurut KBBI ialah calon; bakal:; 2 pengikut (penempuh) ujian.
Kandidat anggota Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) bukanlah pencari kerja. Ia adalah orang-orang dengan kapasitas, kapabilitas, dan kualitas yang dianggap mampu menghidupkan, menggerakkan, dan memajukan organisasi Dewan Kesenian Jakarta.
Ia tidak harus sastrawan mumpuni yang sudah menulis 100 buku, atau aktor hebat yang sudah 100 kali berpentas, atau perupa fenomenal yang sudah 100 kali berpameran. Atau mereka yang gelar akademisnya setinggi menara gading.
Untuk sebuah organisasi strategis seperti DKJ, kandidat yang dibutuhkan ialah yang bermental pejuang, manusia organisasi yang tangguh, yang bernyali, yang mampu bersikap dan berpikir kritis, berwawasan luas, jelas, dan bersungguh-sungguh ikhwal urgensi pemajuan ekosistem kesenian di Jakarta, paham membaca fenomena, serta memiliki kepekaan dan kepedulian yang tinggi terhadap persoalan yang mendera seniman dan keseniannya, dan berani mencarikan jalan keluarnya, serta berdedikasi pada kepentingan kemaslahatan para seniman dan kesenian mereka. Ia tidak elitis. Ia harus merakyat. Rendah hati, tidak tuli, tidak bisu, dan tidak buta.
Ia harus tahu persis persoalan kesenian di lima wilayah Jakarta, hingga ke akar rumputnya. Ia harus tahu bahwa ada gedung kesenian yang diobral untuk acara kawinan dan sunatan. Ia harus mampu membaca persoalan serius yang melanda Taman Ismail Marzuki. Ia tidak boleh mengamini komersialisasi yang dipaksakan di rumah besar seniman itu. Ia harus paham betapa musykilnya bagi para penyair untuk berpentas dan membayar sewa penggunaan Graha Bakti Budaya TIM, 70 juta perak (setelah diskon) per malam.
Apakah anggota DKJ yang dihasilkan melalui seleksi oleh Akademi Jakarta bisa menjadi ‘kitsch’, menjadi sekedar hiburan dagelan lucu-lucuan?
Bisa saja, jika penyelenggaranya tidak amanah, tidak berintegritas, tidak berorientasi pada kepentingan dan permasalahan faktual obyektif yang dihadapi kalangan seniman, dan tidak berkomitmen pada aturan yang disepakati dan hasil keputusan yang dicapai.
WA•WAN•CA•RA
Penyaringan kandidat anggota Dewan Kesenian Jakarta yang sudah diseleksi melalui forum Musayawarah Kesenian Jakarta dilakukan oleh Akademi Jakarta melalui serangkaian wawancara.
Wawancara yang dilakukan tidak boleh bersifat formalitas. Ia harus serius, karena hasilnya akan menentukan apakah DKJ yang akan datang diisi oleh orang-orang yang kompeten atau tidak, apakah diisi oleh orang-orang yang bersemangat atau tidak, apakah diisi oleh orang-orang yang punya sikap, pemikiran, dan kepedulian tentang persoalan seniman, ruang hidup seniman, dan keseniannya atau tidak.
Wawancara yang bersifat formalitas adalah penghinaan terhadap integritas dan intelektualitas pewawancara, dan yang diwawancara.
Wawancara tidak boleh menghasilkan rombongan pembebek atau tukang stempel kebijakan yang tidak memihak kepentingan umum.
Apakah proses wawancara untuk memilih anggota DKJ itu bisa menjadi ‘kitsch’, menjadi sekedar hiburan dagelan lucu-lucuan?
Bisa saja, jika penyelenggaranya tidak amanah, tidak berintegritas, tidak berorientasi pada kepentingan dan persoalan faktual obyektif yang dihadapi kalangan seniman, dan tidak berkomitmen pada aturan yang disepakati dan hasil keputusan yang dicapai./*