Secarik surat dikirim oleh Presiden Sukarno kepada Panglima Sudirman, tertanggal 9 Agustus 1949.
J.M. Panglima Besar
Saudaraku,
Hari Nasional 17 Agustus sudah mendekat. Saja kira saudara ta’ mempunyai lagi uniform jang bagus. Maka bersama ini saja kirimkan bahan untuk uniform jang baru.
Haraplah terima sebagai tanda persaudaraan.
Merdeka!
Empat tahun setelah proklamasi kemerdekaan, ternyata pakaian seorang jenderal masih menjadi pikiran seorang Presiden. Terasa mengharukan. Tapi juga membesarkan hati. Bahwa persahabatan, dan kesederhanaan, menjadi bahasa karib yang menghangatkan gelora revolusi.
Kesederhanaan itu, laku hidup bersahaja, yang dihayati dengan sepenuh hati, diteruskan oleh seorang Hatta, bertahun-tahun kemudian, sampai ia wafat. Kisah ditemukannya guntingan iklan sepatu Bally yang terselip di dompetnya, menjadi amsal yang tak bosan untuk diceritakan. Ikhwal kesederhanaan tokoh terhormat yang lurus hati, yang sampai akhir hayat tak mempunyai cukup uang untuk membeli sepatu yang ia idamkan. Pun begitu dengan Rahmi, isterinya, yang bertahun mengimpikan mesin jahit, justru dikala Hatta masih menjadi Wakil Presiden.
Legenda tentang kesederhanaan itu, dapat pula dirunut dari jejak seorang Hoegeng Iman Santoso, sang jenderal polisi. Atau Haji Agus Salim, yang setiap hujan tiba sibuk menampung air dari atap rumah kontrakannya yang bocor.
Atau Muhammad Natsir. George Kahin, guru besar Universitas Cornell, Amerika Serikat, menuliskan kesaksian perjumpaan pertamanya dengan Menteri Penerangan itu ditahun 1946, dalam buku Natsir: 70 Tahun Kenang-kenangan Kehidupan dan Perjuangan. “Ia memakai kemeja bertambalan. Sesuatu yang belum pernah saya lihat diantara para pegawai pemerintah mana pun!”
Kita pun bisa membaca kisah kesederhanaan dari riwayat seorang Jaksa Agung, Baharuddin Lopa. Di Sumatera Utara, pernah pula ada seorang Gubernur yang berjalan kaki pulang pergi setiap hari, dari rumah ke kantornya, dan menolak memboyong mobil dinasnya ketika ia selesai menjabat. Yang membayar semua keperluannya ketika di Jakarta atau di mana pun, dengan dana perjalanan dinasnya, walau untuk secangkir kopi, selembar surat kabar, atau sebungkus nasi yang dibelikan oleh stafnya. Ialah E.W.P Tambunan.
Ada pula tokoh lain, yang bersepatu sandal, tak bermobil, yang dari kantornya turun sendiri membeli rokok di warung kaki lima. Ialah Ki Mohammad Said Reksohadiprodjo, tokoh perguruan kebangsaan Taman Siswa, murid Ki Ageng Suryomentaram dan Ki Hadjar Dewantara, cucu Bupati Semarang dan anak Wedana, yang pernah menjadi Deputi Menteri dan Anggota Dewan Pertimbangan Agung.
Amat banyak kisah keteladanan para pemimpin yang kebersahajaannya bisa membuat kita menggigil. Takjub. Dan menitikkan air mata. Kesederhanaan yang kini terasa langka, dan mungkin dipandang aneh. Tapi tidak bagi seorang Syafi’i Maarif, ulama, pemimpin organisasi besar Muhammadiyah itu. Yang gembira bersepeda ke mana-mana, meneguk teh di warung pinggir jalan, antri berobat di rumah sakit yang ia adalah warga utamanya. Atau duduk terkantuk-kantuk, bersesakan di gerbong kereta komuter.
Apakah menjadi sederhana itu muskil, atau mustahil? Sebenarnya tidak. Karena ia sejalan, bahkan bisa dibilang wujud dari filosofi dan budaya tradisi kita. Ia pun menjadi cermin religiositas kita. Sebagaimana ditunjukkan oleh Hatta, Lopa, Syafi’i Maarif, dengan sikap tawaduk, kafah, dan istiqamah. Para tokoh intelektual itu bukanlah orang kemarin sore, yang tiba-tiba nongol begitu saja di medan sosial politik. Mereka pun bukan dari kalangan sederhana yang terbiasa sederhana. Tapi bagi mereka, kesederhanaan adalah pilihan sikap, yang diterapkan dengan kesadaran dan disiplin yang tak bisa ditawar. Integritas sebagai manusia yang beradab, adil, berkepatutan, menjadi landasan pikir mereka. Dengan menjunjung tinggi prinsip demokrasi, dan hukum.
Di negeri yang masih morat-marit ini, sungguh aneh jika menganut pola hidup sederhana dianggap ekstrim, tidak wajar. Justru menjadi anomali, ketika kita sebagai himpunan bangsa yang masih bergulat dengan persoalan peningkatan taraf hidup, hidup sederhana dianggap tidak pantas dianut sebagai pilihan. Lalu gaya hidup hedonis dilazimkan. Korupsi dalam berbagai bentuk pun kemudian ‘dihalalkan’, guna menopang semangat hedonisme itu. Yang terbaca kemudian adalah ketidakjujuran pada diri sendiri. Imitatif. Artifisial. Manipulatif. Kropos jiwa, hampa, kosong, rapuh. Hipokrit, munafik, dengan pembusukan mentalitas yang berbiak masif bagai wabah virus.
Kesederhanaan itu canggih, cerdas, dan bijak. Tulus, rendah hati, dan luwes. Ia mengandung harga diri yang kuat. Membuat jiwa jadi merdeka, tanpa beban. Ia seperti sehelai sarung, pelengkap sarapan pagi dengan singkong goreng dan secangkir kopi, yang tak berbicara tentang table-manner dan hukum protokoler. Karena sarung adalah kemerdekaan cara duduk dan berbicara. Begitulah, kesederhanaan merupakan jiwa luhur yang berkibar di sepanjang waktu dan cuaca. Tentang cara hidup sumarah. Kesederhanaan, ibarat sehelai sarung, tak pernah memasung.
Pagebluk Covid-19 yang mengerikan, telah meninggalkan pesan kritis. Pentingnya paradigma ‘new-normal’. Definisi baru ikhwal sistem berpikir dan berperilaku homo sapiens seantero bumi yang tidak lagi eksploitatif. Yang memprasyaratkan pemuliaan pada kodrat alam, menjaga hutan, sungai, dan ekosistem, kepedulian pada sesama, kegotong-royongan menghadapi masa depan, tidak lagi hidup nafsi-nafsi yang memboroskan sumber daya energi. Pesan yang mestinya menjadi rujukan perilaku hidup, baik secara personal, maupun sebagai warga bangsa dan warga dunia.
Tren hidup frugal yang kini tengah menjadi fenomena di kalangan sebagian masyarakat dunia, harus dikembangkan. Momentum kesadaran baru harus dipertahankan. Berhemat dan bergaya hidup sederhana patut menjadi ideologi. Memerdekakan jiwa dari ‘penjajahan’ syahwat serakah dan bermewah.
Gaya hidup frugal bukan untuk memaksa hidup jadi menderita. Justru sebaliknya, menghadirkan kebebasan, kelegaan, dan kebahagiaan yang esensial. Yang manusiawi. Ramah lingkungan. Cerdik mengukur kemampuan finansial. Tidak besar pasak dari tiang. Taat asas. Tidak gampang diprovokasi dan ditunggangi oleh sesat pikir (logical fallacy) yang menghina akal sehat.
Kita ingat kemarahan Greta Thunberg, belia aktivis perubahan iklim yang kejernihan moralnya mewakili miliaran sebayanya di seluruh dunia itu, ketika berpidato dihadapan pemimpin dunia pada Konferensi Perubahan Iklim PBB: “Kalian mencintai anak-anak di atas segalanya, namun kalian mencuri masa depan mereka di depan mata mereka sendiri.” Greta berbicara tentang keserakahan, penghancuran habitat, atmosfer yang tercemar, lautan yang dipenuhi sampah plastik, dan efek gas rumah kaca dengan konsentrasi karbondioksida yang semakin mencemaskan, dan kita tengah meluncur menuju titik kritis iklim.
Satu-satunya cara pencegahan menurut Greta adalah bersedia bertindak dalam gerakan bersama, meninggalkan kebiasaan buruk yang memicu emisi karbon dan perubahan iklim, yang dampaknya kini menimbulkan efek gelombang panas di mana-mana. Ia pun mengkampanyekan pola hidup sederhana, meninggalkan gaya hidup konsumtif, yang ia jalankan dengan komitmen kuat.
Tapi jauh sebelumnya, Hatta, Hoegeng, Natsir, Maarif, para guru bangsa kita telah mencontohkan. Mewariskan teladan yang benderang tentang hidup yang bermartabat, dan merdeka. Bahwa merdeka itu sederhana. Dan kesederhanaan adalah prasyarat bagi kehidupan yang sehat, pemuliaan bagi masa depan anak dan cucu kita, masa depan bangsa, dan kebudayaan yang berkelanjutan.