humaniora.id – Ada asa dalam bahasa. Ungkapan itu memiliki arti mendalam bagi Syifa Arya, seorang teman tuli yang menolak berhenti untuk melakukan hal-hal yang ia yakini. Bahasa yang digunakan Syifa bisa jadi berbeda dengan bahasa kebanyakan orang. Namun ia percaya, seperti apa pun rupa bahasa, yang terpenting adalah pesan yang terkandung di dalamnya; dan pesan yang selalu ingin ia sampaikan adalah tentang semangat serta kebahagiaan.
Cara Syifa merasa bahagia amatlah sederhana. Cukup dengan ia memiliki kesempatan untuk berkarya dan membuat orang-orang di sekitarnya tersenyum. Ia selalu ingin bertukar perasaaan suka cita. Itulah alasan yang membuatnya bergabung bersama Difabis, sebuah UMKM yang digerakkan oleh kelompok disabilitas. Ia ingin terus berkarya dan menebarkan pesan-pesan kebahagiaan.
Syifa merasa bahwa Difabis adalah tempat yang baik baginya untuk mengaktualisasikan diri. “Saya bergabung dengan Difabis sejak Januari 2021 lalu. Saya sangat tertarik bergabung untuk belajar, berkarya, sehingga saya tahu bagaimana cara membuka bisnis dan mencari nafkah. Saya sangat senang melakukannya,” ujar Syifa, Sabtu (16/6/2023).
Kedai Difabis telah memberi Syifa kesempatan untuk mengembangkan diri dan membuat dirinya merasa tak berbeda dengan orang-orang di sekitarnya. Ia merasa lebih percaya diri dan penuh semangat. “Saya tertantang untuk berjuang. Saya terus belajar bukan hanya untuk saat ini, tetapi juga untuk bekal di masa depan,” ucapnya.
Difabis merupakan sebuah usaha yang dibangun oleh Baznas (BAZIS) DKI Jakarta, berkat dukungan dana zakat, infak, dan sedekah masyarakat. Difabis tempat Syifa dan rekan-rekannya bekerja terletak di Terowongan Kendal, Dukuh Atas, Jakarta Pusat, dengan berbagai menu pilihan mulai dari jenis-jenis kopi, teh, dan beberapa kue.
Rasa bahagia karena dapat berkarya juga ditunjukkan oleh M. Ananda Rizky, yang akrab disapa Kiky. Ia merupakan seorang teman tuli yang penuh semangat, sama seperti Syifa. Mulanya, pada Desember 2022, Kiky bergabung dengan Difabis untuk mencari pengalaman. Namun kini ia mulai menikmati profesinya sebagai barista dengan sungguh-sungguh.
Kiky menganggap bahwa kopi yang ia sajikan merupakan salah satu caranya berkomunikasi. Ketika ia melihat raut wajah bahagia dari konsumennya, ia menilai bahwa pesan bahagia yang ia sampaikan dapat terbalaskan. Hal itulah yang membuat ia yakin dengan tagline Difabis, “Karena kita sama, dan punya rasa”. Ia merasa setara dengan orang lain berkat profesi yang ia jalani saat ini.
“Saya sangat senang. Banyak manfaat yang saya dapat terutama bertambahnya pengetahuan. Saya sangat ingin belajar dan berkarya di dunia kopi. Saya ingin tahu lebih jauh,” ujarnya. Ia pun mengaku suka berada di lingkungan yang saling mendukung, sehingga dirinya dapat bekerja dalam tim maupun mandiri secara pribadi.
Ruang hidup
Difabis bukan hanya tempat menyajikan minuman dan makanan, tetapi telah menjadi ruang hidup tempat orang-orang berinteraksi dan belajar satu sama lain. Di tempat ini sering kali diselenggarakan pelatihan bahasa isyarat. Kegiatan ini terbuka bagi siapa pun yang berminat. Tak hanya itu, Difabis juga membuka berbagai peluang kolaborasi dalam pemberdayaan rekan-rekan disabilitas.
Baru-baru ini, kolaborasi juga diselenggarakan antara Difabis dengan mahasiswa Pascasarjana Komunikasi Korporat Universitas Paramadina dalam hal peningkatan bisnis Difabis. Beberapa program yang diselenggarakan antara lain peningkatan pemasaran, keahlian soft skill barista, hingga dukungan sarana dan prasarana. Kolaborasi ini bertujuan memberi peluang Difabis untuk berkembang lebih jauh.
Koordinator Pemberdaya Difabis, Gigin, mengatakan bahwa kolaborasi dengan berbagai pihak sangat dibutuhkan untuk meningkatkan upaya pemberdayaan rekan-rekan disabilitas. “Teman-teman disabilitas lebih sulit mendapatkan pekerjaan dibandingkan dengan teman-teman yang non-disabilitas. Dengan adanya Difabis dan berbagai bentuk kolaborasi, semoga kita dapat lebih banyak mendukung mereka,” ujarnya, Sabtu (17/6).
Menurut Gigin, semangat yang ditunjukkan oleh rekan-rekan disabilitas membuatnya yakin bahwa Difabis dapat terus berkembang dan dan menciptakan pemberdayaan yang lebih luas.
“Mereka terlihat antusias. Kebetulan lokasinya juga mudah diakses, jadi kami tidak terlalu kesulitan untuk meyakinkan teman-teman untuk turut berkarya. Kami ingin rekan-rekan disabilitas dapat menjadi bagian pengisi ‘ruang ketiga’ di Jakarta, yaitu ruang di antara rumah dan tempat bekerja,” ucapnya.
Gigin menyambut baik bagi orang-orang yang memiliki perhatian terhadap pengembangan usaha Difabis. Menurutnya, semakin banyak orang yang peduli, maka rekan-rekan disabilitas semakin dapat diterima dan dimengerti. “Masih banyak yang belum tahu bahwa mereka yang bekerja di Difabis ini adalah disabilitas. Ada yang salah paham kemudian marah, ada pula yang berniat jahat memanfaatkan keterbatasan rekan-rekan disabilitas,” jelas Gigin.
Gigin pun berharap Difabis dapat selalu menjadi ruang hidup yang penuh dengan kehangatan dan semangat berkarya. “Kami berharap semakin banyak perusahaaan dan orang-orang baik yang mendukung kami untuk terus berkembang. Kami ingin rekan-rekan disabilitas lebih banyak mendapatkan kesempatan dan peluang untuk berkarya, bukan hanya di Difabis, tetapi di mana pun mereka berada,” tandasnya.