humaniora.id – Para ilmuwan dari University of California pernah melakukan penelitian tentang rasa malu seseorang. Bagian otak di sebelah kanan depan yang disebut ‘pregenual anterior cingulate cortex’, adalah sebagai penyebab kunci rasa malu manusia.
Sambil minum kopi, aku bertanya-tanya sendiri, apakah seluruh manusia di muka bumi punya otak jenis itu?
Pertanyaaan ini dengan sendirinya muncul ketika aku melihat Gibran diwawancarai wartawan usai namanya diusulkan jadi cawapres Prabowo.
“Terimakasih keluarga besar Golkar, saya mengapresiasi keputusannya, dan akan menindaklanjuti,” kata Gibran yang tampak percaya diri.
Tapi entah kenapa membuat aku malu sendiri melihatnya. Mungkin lebih tepatnya geli. Bahkan aku sempat memalingkan muka sebentar untuk mengatur napas.
Benar, mencalonkan diri mau jadi cawapres atau capres itu memang hak politik Gibran. Enggak ada yang mempersoalkan itu. Masalahnya, seluruh masyarakat di negeri ini sudah tahu kalau Gibran dan keluarganya sudah menggarong konsitusi. Ia sudah membegal MK, mengakalinya untuk kepentingan keluarga.
Tapi ajaibnya Gibran tidak terlihat malu sedikitpun. Bahkan terkesan bangga. Ini kan sama seperti seorang koruptor yang sudah ketahuan korupsi, tapi malah bangga: “Terimakasih ya masyarakat Indonesia karena sudah mengijinkan saya korupsi.”
Gibran masih muda, dan mestinya ia bisa menjadi harapan bagi perpolitikan tanah air dengan membawa gagasan-gagasan yang segar. Ia sebagai anak muda yang punya privilege mestinya mudah untuk memberi contoh yang baik. Mengajarkan arti berproses, menempa diri, mematangkan pikiran dan emosinya.
Namun ternyata ia justru mempertontonkan kepada publik tentang politik yang tamak, membabi buta dan menghalalkan segala cara.
Dengan menghalalkan segala cara artinya sebuah kekuasaan itu memang sudah menjadi segala-galanya.
Anda tahu, manusia purba sudah mengenal kekuatan rasa malu. Sebuah mekanisme yang memaksa mereka berperilaku dengan cara-cara yang patut dan diterima di kelompok.
Gibran adalah manusia modern yang hidup hari ini. Rentu saja sebenarnya ia sangat paham mana yang etis dan yang tidak etis.
Namun nafsu yang besar dan menggebu-gebu, barangkali membuat ia kehilangan rasa malu./*