humaniora.id – Prof. Abdul Hadi WM, penyair, sastrawan, wartawan, dan cendekiawan, bukan nama asing dalam kesusasteraan Indonesia. Kiprahnya sangat luas dalam bidang pemikiran sosial, filsafat, kejiwaan, dan terutama religiusme atau sesuatu yang berkaitan dengan tasawuf. Sebagai seorang sastrawan dan pemikir, Abdul Hadi membawa tasawuf lebih dekat kepada masyarakat umum dan bisa dijangkau.
Bagi almarhum Abdul Hadi, bukanlah pada tempatnya jika memisah-misahkan antara Jawa dan Islam, Minangkabau dan Islam, atau bahkan Sunda dan Islam. Menurut dia, itu adalah pandangan orientalis Barat, yang hanya hendak menonjolkan sesuatu yang bersifat kedaerah-daerahan.
“Pada saat ini, kita butuh sosok seperti Abdul Hadi yang membawa sesuatu pemikiran yang segar bagi masyarakat. Dia membawa suatu ide, gagasan, kemudian dilemparkannya sehingga siapa pun pada akhirnya menyambutnya,” ujar Anggota Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) Fadjriah Nurdiarsih (Mpok Iyah), dalam diskusi untuk mengenang penyair almarhum Prof. Abdul Hadi WM (1946-2024) yang dipandu wartawan senior Yusuf Susilo Hartono.
Diskusi yang berlangsung pada Sabtu, 3 Februari 2024, pukul 14.00 – 16.00 WIB, di Aula PDS HB Jassin, Lt. 4, Gedung A Sadikin, Taman Ismail Marzuki (TIM), itu diselenggarakan oleh Forum Wartawan Pecinta Peradaban dan Kebangsaan (Forum W), bersama Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin. Dibuka oleh Nugroho F. Yudho, presidium Forum W.
Sebelum dimulai diskusi didahului pembacaan beberapa puisi pilihan karya almarhum oleh para penyair ibu kota. Nuyang Jaimme membaca “Madura”. Remmy Novaris “Meditasi”. Linda Djalil “ Tuhan,Kita Begitu Dekat”, Ariani “Rini” Isnamurti “Barat dan Timur”, dan Jose Rizal Manua “ Doa untuk Indonesia” . Penyair Taufiq Ismail spontan membacakan puisinya sendiri “Mengejar Umur, Dikejar Umur”. Gayatri WM, salah seorang putri almarhum, mewakili keluarga turut memberikan testimoni melalui video.
Dua narasumber lainnya dalam diskusi bertajuk “Abdul Hadi WM dalam Pusaran Sastra, Kebudayaan dan Kebangsaan”adalah Presiden Penyair Sutardji Calzoum Bachri; akademisi, pengamat sastra dan Ketua Yayasan Hari Puisi Dr. Maman S. Mahayana.
Maman Mahayana mengatakan pemikiran Abdul Hadi WM—salah satu pelopor Angkatan 1970-an—sangat relevan saat ini, karena hampir semua pihak sekarang abai terhadap perkembangan puisi.
“Dari sejumlah tulisannya, Abdul Hadi mencoba menerapkan estetik. Dia juga menawarkan agar kita kembali ke akar budaya dan kembali ke sumber asli lahirnya kebudayaan dan sastra,” kata Maman S. Mahayana.
Sedangkan Sutardji Calzoum Bachri lebih banyak menceritakan pengalamannya saat bergaul bersama Abdul Hadi WM. “Dia adalah orang yang halus, tapi suka humor. Dia suka memuliakan teman, sehingga maqomnya lebih besar dari saya,” kata Sutardji.
Sutardji pernah bekerja bersama almarhum, dalam mengelola sebuah media cetak di Bandung. Abdul Hadi WM meninggal dunia pada Jumat (19/1/2024) dalam usia 77 tahun./*