humaniora.id – Masih saja ada orang percaya bahwa ada naskah abad ke-7 yang memuat nasab Ba’alwi. Padahal, telah berulangkali percobaan kedustaan dilakukan Ba’alwi untuk mempertahankan nasab telah terbukti. Mulai dari Al-Burqoh di abad sembilan yang mengutip banyak nama ulama yang semuanya tidak terverivikasi. Kemeudian kitab-kitab Ba’alwi lainnya seperti Al Gurar di abad 10 melakukan hal yang sama.
Belum lagi Al Masyra’urrawi juga demikian. Naskah yang dinisbahkan kepada Murtada Al Zabidi di abad 13 H. juga terbukti banyak berdusta. Tetapi sulit kita meyakinkan kepada mereka yang mempunyai “mental terjajah”.
Untuk dapat mempertahankan nasab Ba’alwi, Rumail, dalam bukunya menakar, menyebut beberapa nama kitab (yang hanya nama). Diantaranya, katanya, ada kitab karya Umar bin Sa’ad al Dzifari (w. 667 H.) yang berjudul “Al Arba’in, Al Musnad lil Imam Muhammad ibn Ali al Faqih al ‘Alawi.
Kitab ini tidak pernah ada. Faqih Muqoddam itu tidak disebutkan ulama muktabar manapun di abad 6-9 H. Tidak disebut sebagai ulama, tidak disebut sebagai ahli fikih, tidak disebut sebagai ahli hadits.
Lalu bagaimana ia mempunyai sebuah kitab “musnad”? jelas itu kitab wayang. Jika ia mempunyai kitab “musnad” dan seorang muhaddits, maka namanya akan dicatat sebagai perawi oleh Syamsuddin al Dzahabi (w. 748 H.) dalam “Mizan al I’tidal” atau oleh kitab “rijal” lainnya. Nyatanya tidak ada satupun kitab tentang perawi hadits dari di antara rentang hidupnya Faqih Muqoddam yang mencatat namanya sebagai ahli hadits.
Begitu juga beberapa klaim Rumail yang mempunyai koleksi pribadi tentang kitab-kitab hadits yang memuat keluarga Ba’alwi seperti Al Mawahib dan Al Arbaun, yang katanya karya Ali bin Jadid yang ditulis 611 H dan 636 H., katanya pula didalamnya menyebut nama Ubaidillah sebagai “nazil al Yaman”; Muhammad Ali Batahan (w. 630 H.) dalam kitabnya Tuhfat al Murid, yang katanya menyebut nama Faqih Muqoddam; Abdulhaq Al-kharrat (w. 581 H.) yang katanya menyebut Ahmad bin Isa sebagai “nazil al Yaman”; semua kitab-kitab itu tidak ada. itu dicatat dari ruang hampa. Jikapun, suatu saat, Ba’alwi berhasil menciptakan kitab-kitab itu, maka, seperti ilmu pengetahuan telah berhasil membongkar skandal ilmiyah mereka dari mulai tahun 895 H.-1445 H, ilmu pengetahuan pula akan berhasil membongkar dusta-dusta baru yang akan diciptakan.
Rumail Berbohong Tentang Naskah Al Syajarah al Mubarakah
Kitab al Syajarah al Mubarokah (597 H) karya Imam Fakhruddin al Razi (w. 606) adalah kitab yang menjadi bukti keterputusan nasab Ba’alwi secara sharih (tegas). Rumail Abbas mencoba membuat orang ragu bahwa kitab Al Syajarah al Mubarokah adalah karya Imam Fakhruddin al Razi. untuk apa Rumail membuat keraguan akan nisbah kitab ini kepada Imam Fakhruddin al Razi? jawabannya: agar angka tahun wafat Al Razi yang cukup tua itu, tidak memvonis keterputusan nasab Ba’alwi terlalu panjang. Jika, umpamanya , Al Razi itu buka Imam Fakhruddin al Razi, tetapi Al Razi lainnya yang cukup muda, maka keterputusan itu mungkin bisa diselamatkan.
Ulama yang mempunyai nisbat Al-Razi minimal ada empat sosok: pertama Abu Bakar Muhammad al Razi (w. 923 H.); kedua Al Qutb al Tahtani (w. 1368 H.); ketiga Muhammad bin Musa al Razi (273 H.); dan keempat Imam Fakhruddin al Razi (606 H.). jika, umpamanya, Al Razi penulis Al Syajarah al Mubarakah itu adalah Abi Bakar al Razi yang wafat 923 H, maka, selamatlah, dalam hitungan Rumail Abbas, keterpurusan nasab Ba’alwi, karena angka tahun tersebut lebih muda dari Al Burqat al Musyiqat 895 H. padahal tidak sesederhana itu.
Keterputusan nasab Ba’alwi adalah fakta sejarah yang sulit untuk diselamatkan walau dengan kedustaan. Dalam kesempatan lain penulis, mungkin, akan mengurai bahwa nasab Ba’alwi ini memang nasab palsu walau tanpa kitab Al Syajarah al Mubarakah. Tetapi, baiklah, kita akan uji terlebih dahulu usaha Rumail Abbas yang sekuat tenaga mencoba membuat orang ragu bahwa kitab Al syajarah al Mubarakah adalah karya Imam Fakhruddin Al Razi.
Rumail Abbas mengatakan:
“Dan banyak nama-nama ulama yang dinisbatkan dengan “Al Razi”, namun belum tentu ia menunjukan tokoh spesifik kecuali disebutkan pula nama lengkapnya, julukannya, atau petunjuk lainnya sebagai penguat” (Rumail Abbas, 2023).
Kalimat Rumail Abas itu suatu kesengajaan berdusta. Kalimat itu ia tujukan untuk orang-orang yang tidak mampu membaca kitab kuning, yang tidak mampu merujuk langsung kepada naskah kitabnya, agar mereka ragu: benarkah kitab itu ditulis oleh Imam Fakhruddin al Razi, sedangkan yang tertulis hanya “Al Razi”? bisa jadi itu adalah “Al Razi lainnya.
Sekarang penulis buktikan bahwa Rumail telah berdusta, seakan yang tertulis dalam naskah itu hanya kata “Al razi” kemudian diyakini sebagai Imam Fakhruddin al Razi. Naskah manuskrip yang tertulis di dalam naskah kitab Al- Syajarah al Mubarokah itu tidak hanya nama “Al Razi”, tetapi disebut lengkap nama aslinya, kunyahnya dan nisbatnya, teks aslinya sebagai berikut:
وهذا خط محمد بن عمر بن الحسين الرازي مصنف هذا الكتاب ختم الله له بالخير اثبته في غرة شعبان سنة سبع وتسعين وخمسمائة والحمد لله رب العالمين والصلاة على خير خلقه محمد واله اجمعين وكتبه الفقير وحيد بن شمس الدين سنة 825 . ( الشجرة المباركة ص. 228)
“Ini adalah tulisan Muhammad bin Umar bin al Husain al Razi, pengarang kitab ini, semoga Allah mengahirinya dengan baik, kitab itu ditetapkan pada awal Sya’ban tahun 579. Dan segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.
Dan salawat teruntuk sebaiknya makhluk-Nya, Muhammad, dan untuk seluruh keluarganya. Kitab itu ditulis oleh al Faqir Wahid bin Syamsuddin tahun 825” (kitab Al Syajarah al Mubarakah h. 228 )
Dari kalimat di atas kita dapat fahami, bahwa kitab Al Syajarah al Mubarakah itu adalah tulisan Muhammad bin Umar bin al Husain al Razi. Siapakah dia, apakah benar ia adalah Imam al-Fakhrurazi? Lihat dalam kitab ” Lisan al Mizan” karya Ibnu Hajar al Asqolani ia mengatakan:
…الفخر الرازي ” هو محمد بن عمر.
“…Al Fakhr al Razi, ia adalah Muhammad bin Umar” (Lisan al Mizan 7/165).
Ibnu Hajar al Asqolani, ulama abad ke-9 H, mengkonfirmasi nama Imam al Fakhrurazi memang Muhammad bin Umar.
Lihat juga dalam kitab “Kasyf al Dzunun” karya Haji Khalifah (w. 1067 H.) ia mengatakan:
وشرحها الإمام فخر الدين محمد بن عمر الرازي المتوفى سنة ٦٠٦ ست وستمائة
“Dan kitab itu disyarahi oleh Al Imam Fakhruddin Muhammad bin Umar al Razi yang wafat tahun 606 H. (Kasyf al Dzunun 2/312).
Jadi jelaslah bahwa nama Muhammad bin Umar al-Razi yang tertulis dalam kitab Al Syajarah al Mubarakah itu adalah Imam Fakhruddin al Razi. mau mengelak bagaimana lagi? Mau membohongi orang dengan cara apalagi?
Kata Rumail: Kitab Al Syajarah al Mubarakah Sudah Dijadikan Desertasi
Dalam podcast di Padasuka TV 8 April 2024, Rumail mengatakan:
“Muhammad Salih al Zarkan sebelas tahun sebelum Al Mar’asyi ke Turki itu sudah menemukannya (kitab Al Syajarah al Mubarakah) dan menjadikannya desertasi ‘Alfakhrurazi wa Ara’uhu al Falasifah’..”
Benarkah Muhammad Salih al Zarkan sudah menjadikan kitab Al Syajarah al Mubarakah sebagai desertasi ? Silahkan pembaca cek di internet judul tersebut, lebih lengkapnya karya Al Zarkan itu berjudul “Alfakhrurazi wa Ara’uhual kalamiyah wa al Falasifah”.
Pembaca akan menemukan dua kedustaan dari Rumail Abbas: Pertama, bahwa judul tersebut adalah sebuah desertasi. Jika pembaca mencari keterangan siapa sosok Al Zarkan ini, maka pembaca akan menemukan keterangan bahwa judul di atas bukan judul untuk desertasi Al Zarkan, tetapi ia adalah sebuah tesis program magister.
Kedustaan pertama ini bisa di ma’fuw (dimaafkan), jika hanya karena salah ingat, tetapi jika karena sengaja, maka sahih yang demikian itu disebut kedustaan; Kedustaan yang kedua adalah bahwa tesis itu berisi tentang kitab Al Syajarah al Mubarakah.
Seakan-akan kitab Al Syajarah itu adalah objek penelitian dalam tesis Al Zarkan itu. Ini adalah sebuah kedustaan, dan kedustaan ini jelas “deliberately lie” (kesengajaan berbohong) yang tidak bisa di ma’fuw. Kenapa demikian? Karena tesis Al Zarkan yang berjudul “Al Fakhrurazi wa Ara’uhu al kalamiyah wa al Falasifah” (Al Fakhrurazi dan Pendapat-Pendapatnya dalam Ilmu Kalam dan Filsafat), dari judulnya saja, kita tahu bahwa ia berbicara tentang pendapat-pendapat Al Razi dalam ilmu kalam dan filsafat, bukan bicara tentang kitab Al Syajarah al Mubarakah. Jadi, ketika Rumail mengatakan: “…menjadikannya desertasi…”, itu jelas tidak sesuai fakta alias berdusta, karena yang dijadikan objek tesis itu adalah pemikiran Al Razi dalam ilmu kalam dan filsafat, bukan kitab Al Syajarah al Mubarakah tentang ilmu nasab.
Rumail juga menyatakan, bahwa Al Zarkan meragukan kitab Al Syajarah Al Mubarakah sebagai kitab nasab karya Al Fakhrurazi. Jika kita membaca kitab Al Zarkan di atas, maka kita akan mengetahui, ketika ia membahas tentang kitab-kitab karya Al Razi, Al Zarkan mengkasifikasikan karya-karya itu ke dalam tiga kelompok:
Yang pertama kitab-kitab yang “sahihunnisbah” (sahih nisbahnya dengan yakin); masykukunnisbah (yang diragukan nisbahnya); dan yang ketiga “manhulunnisbah” (dinisbahkan kepada Al Razi padahal telah jelas itu bukan karya Al razi).
Ketika Al Zarkan mengklasifikasikan Al Syajarah al Mubarakah kepada yang diragukan nisbatkanya kepada Al Razi itu sangat wajar, karena ia belum melihat secara langsung manuskrip kitab Al Syajarah al Mubarakah.
Dalam kitab itu ia hanya mengatakan bahwa manuskrip itu ada dua: pertama terdapat di Jona (1755); yang kedua terdapat di perpustakaan Sultan Ahmad al Tsalis.
Keterangan itu bukan karena ia telah menemukan manuskrip itu, atau ia mengunjungi kedua perpustakaan itu, tetapi karena ia membaca sebuah kitab katalog manuskrip yang terdapat dalam kitab katalog berjudul “Fihris Ma’had al Makhtutat juz 2 hal 455, sebagaimana dijelaskan dalam footnoot kitab Al Zarkan tersebut.
Sangat wajar Al Zarkan meragukan kitab itu sebagai karya Al Razi, karena ia belum melihat bentuk fisiknya atau membaca mikrofilmnya, dan karena memang kitab itu baru ditahqiq oleh Syekh Mahdi al Roja’I dan diterbitkan pada tahun 1409 H.
Jika ia telah membaca manuskrip atau kitab tersebut dan membaca di akhir kitab itu, bahwa kitab itu ditulis berdasarkan salinan asli tulisan Imam Fakhruddin al Razi, maka ia akan mengklasifikasikannya dalam klasifikasi pertama, yaitu kitab-kitab yang sahih sebagai karya Imam Fakhruddin al Razi.
Rumail Tidak Faham Makna Mukhtasar Dalam Ilmu Nasab
Kitab Al Syajarah al Mubarakah diawali oleh kalimat “Hadza Mukhtasarun fi ‘ilmil ansab” ini adalah ringkasan dalam ilmu nasab. kata Rumail, “Jika penulis mengklaim naskahnya sebagai mukhtasar (ringkasan), apakah mustahil jika terdapat banyak nama yang tidak ia cantumkan, seperti Ubaidillah bin Ahmad al Muhajir, misalnya?”
Pertanyaan itu, mengindikasikan Rumail tidak memahami makna “mukhtasar” secara umum dan makna “mukhtasar” dalam ilmu nasab secara khusus. Suatu “mukhtasar” (ringkasan) tidak boleh mengurangi dari “murad al kalam” (maksud pembicaraan), ia hanya mengurangi dari “tatwilulkalam” (memperpanjang pembicaraan).
Seperti pada halaman pertama kitab Al Syajarah al Mubarakah tersebut, Imam Al Fakhrurazi menyebutkan “Anak yang berketurunan dari Sayidina Ali ada lima…” padahal, keseluruhan anak Sayidina Ali banyak, para sejarawan mencatat mencapai 18 anak.
Tetapi yang disebutkan oleh Imam Fakhrurazi hanya lima yang berketurunan saja, kenapa? Karena kitab Al Syajarah al Mubarakah adalah kitab ringkasan.
Kalau ia kitab itnab (bukan mukhtasar), maka akan disebutkan dulu bahwa anak Sayidina Ali berjumlah 18 yaitu: Hasan, Husen dan seterusnya, baru kemudian mengatakan: sedangkan anak yang berketurunan dari 18 itu hanya lima, mereka adalah dst.
Jika Imam Fakhrurazi mengetahui bahwa anak yang berketurunan dari Sayidina Ali berjumlah lima anak, lalu ia mengatakan tiga, maka itu bukan mukhtasar, tetapi sengaja berdusta.
Contoh lainnya Imam Fakhrurazi mengetahui sesuai dengan pengetahuannya bahwa anak yang berketurunan dari Ahmad bin Isa hanya tiga: Muhammad, Ali dan Husain, lalu ia katakana demikian, maka itu bukan mukhtasar, tetapi memang anaknya hanya tiga.
Tidak masuk logika awam, orang yang diketahui anaknya empat lalu dikatakan tiga dengan niyat meringkas kalimat. Jika kita melihat ada tiga ekor bebek berjalan lenggak-lenggok di depan kita, lalu teman di samping kita bertanya “ada berapa ekor bebek itu?” lalu kita berkata “bebek itu ada dua ekor”. Kok dua, kan ada tiga? Saya niyat mukhtasar (meringkas kalimat)! Ndak bisa. Kalau ia tidak buta, tidak bisa menghitung, atau ia sengaja berdusta untuk suatu tujuan.
Ketika Imam Fakhrurazi menyebut anak yang berketurunan ada tiga Muhammad, Ali dan Husain. Maka ada beberapa kesimpulan yang dapat kita fahami dari narasi itu.
Pertama, anak Ahmad bin Isa yang mempunyai keturunan sampai masa Imam Fakhrurazi hanya tiga; kedua, ada anak lain selain tiga itu, tetapi tidak berketurunan; ketiga, ada anak lain yang berketurunan, misalnya Ubaidillah, namun Imam fakhrurazi sengaja berbohong karena suatu motif tertentu.
Jika seandainya point ketiga itu yang terjadi, lalu apa motif Imam fakhrurazi tidak menyebutkan Ubaidillah? Kaum Ba’alwi atau Rumail harus dapat menginvestigasi apa motif Imam fakhrurazi tidak menyebutkan Ubaidillah. Apakah karena sentiment? Ada permusuhan? Atau apa?
Jelas tidak akan dietmukan motif-motif itu. Imam Fakhrurazi tinggal di Roy pada abad ke enam dank e tujuh. Ia sama sekali tidak mengenal Ubaidillah; iapun tidak pernah tahu nanti di suatu masa aka nada orang yang nyantol dalam nasab Ahmad bin Isa itu. Ia hanya mencatat sesuai ilmunya bahwa anak Ahmad bin Isa yang berketurunan ya Cuma tiga: Muhammad, Ali dan Husain.
Imam Fakhruddin al Razi dituduh Syi’ah
Fallacy yang coba dibangun oleh Ba’alwi untuk membuat keraguan terhadap kitab Al Syajarah al Mubarakah adalah bahwa penulis kitab ini terindikasi Syi’ah. Seperti kaum Wahabi, rupanya Ba’alwi ini benci sekali kepada Syi’ah. Berbeda dengan para keturunan Nabi di penjuru dunia, walaupun mereka Sunni, mereka moderat dalam memandang Syi’ah. NU memandang Syi’ah hanya sebagai bagian dari perbedaan pendapat dalam Islam, tidak seperti Wahabi yang memandang Syi’ah sebagai di luar Islam. Syi’ah dan Wahabi bagi NU sama saja: firqah dalam teologi Islam yang bukan Ahlussunnah wal Jama’ah. Ada dari ajaran Syi’ah yang sejalan dengan NU, begitupula ajaran Wahabi. Jika Syiah tampak terlalu mengagungkan Ahlubait Nabi (Ali, Fatimah, Hasan dan Husain), sehingga terkesan merendahkan sahabat Nabi, maka Wahabi tampak membela sahabat-sahabat tertentu yang berpolemik dengan Ahlubait, sehingga terkesan merendahkan Ahlubait. Sedangkan NU, dalam ajarannya , penuh seluruh mencintai keduanya: Ahlubait Nabi dan sahabat Nabi.
Jika demikian ajaran NU yang diwarisi dari ulama terdahulu termasuk Imam Al fakhrurazi, maka tuduhan Ba’alwi bahwa penulis kitab Al syajarah al Mubarakah sebagai Syi’ah hanya karena menyebut “alaihissalam” untuk para ahlibait dan keturunannya yang utama adalah tidak berdasar.
Menggugat Ali al Sakran Sebagai Kreator Nasab Ba’alwi: Al jauhar al Syafaf Dipertaruhkan
Penulis dalam berbagai tulisan dan kesempatan mengatakan bahwa Ali al Sakran (w.895 H.) adalah creator (pencipta) nasab Ba’alwi yang disambungkan kepada nasab Nabi Muhammad SAW melalui Ahmad bin Isa. Ba’alwi menggugat proposisi penulis tersebut dengan beberapa narasi: pertama, bahwa kitab Al-Jauhar al-Syafaf telah mencatat terlebih dahulu nasab Ba’alwi tersambung kepada Nabi. . menurut Ba’alwi, Al-jauhar al Syafaf ini adalah karya Al-khatib yang bukan bagian dari keluarga Ba’alwi. Jadi, Al Jauhar al Syafaf inilah yang mencatat pertama kali nasab Ba’alwi tersambung kepada Nabi Muhammad SAW.
Penulis katakan: kitab Al jauhar al syafaf ini kitab majhul. Manuskripnya baru ditulis 1410 H, baru 35 tahun yang lalu. Rumail mengatakan kitab Qiladatunnahar karya Ba’makhramah (w. 947 H.) banyak mengutip manuskrip Al jauhar al Syafaf, dan kutipannya identic dengan manuskrip yang ditulis 1410 H. itu.
Rumail terjebak skandal ilmiyah. Seharusnya peneliti tidak sesembrono Rumail yang mudah percaya terhadap setiap narasi dari sebuah klan seperti Ba’alwi. Klan ini memang sedang menyulam tangkai-tangkai bunga seroja sejarahnya dan ingin diletakan dalam permadani pengantin kesejarahan dunia. Ba’makhramah memang ulama abad ke-10, tetapi kutipan tentang Al-jauhar al-Syafaf itu tidak ada dalam manuskripnya. ia ditambahkan oleh pentahqiq. Mau bukti?
Lihat dalam muqaddimah di halaman 21 juz pertama kitab tersebut. Di sana dikatakan, bahwa metode pentahqiqan dari pentahqiq manuskrip ini tidak murni mencetak apa yang ada dalam manuskrip, tetapi ia menambahkan di dalam kitab ini keterangan yang perlu ditambahkan. Untuk membedakan versi manuskrip dan versi tambahan, pentahqiq menyematkan dalam kurung untuk kalimat tambahan itu. Untuk sebuah contoh, lihat juz lima halaman sembilan belas, pentahqiq menambahkan dua halaman dari kitab Al-jauhar al Syafaf yang tidak ada dalam versi manuskrip kitab Qiladatunnahar. Dua halaman itu dimulai dengan buka kurung dimulai kalimat “wa min awladi ubaid…sampai halaman duapuluh dengan kalimat terakhir “man wasafa” kemudian diakhiri tutup kurung. Tambahan itu dua halaman, dari mana diambilnya? Dari manuskrip Al-jauhar al syafaf yang baru ditulis 35 tahun lalu, atau 17 tahun sebelum kitab Qiladatunnahar ini dicetak. bagaimana kitab versi cetak semacam ini bisa dijadikan dalil dalam berdiskusi berdasar masa penulisnya yaitu abad 10 H, jika isinya banyak penambahan oleh muhaqqiqnya dari manuskrip palsu yang baru ditulis 17 tahun lalu?
Kitab versi cetak Qiladatunnahar, tidak bisa dijadikan bukti bahwa penulisnya pada abad 10 telah melihat mansukrip Al Jauhar al-Syafaf seperti versi manuskrip saat ini yang ditulis 35 tahun yang lalu. Kemungkinan manuskrip itu sudah ada di abad 10 Hijriah ada, tetapi jelas manuskrip Al Jauhar al Sayafaf versi yang dimiliki Rumail tidak bisa dipertanggungjawabkan. Dari situ, penulis mengabaikan kitab Al Jauhar al Syafaf ini, di samping, penulisnya sendiri adalah penulis yang majhul dan ahistoris. Maka penulis mengatakan bahwa Al al Sakran lah yang pantas didudukan sebagai sang creator nasab Ba’alwi bukan Al-Khatib yang katanya menulis Al-jauhar al-Syafaf.
Ada Puisi yang Mengurut Silsilah Abu Bakar al-Sakran sampai Baginda Nabi
Kata Rumail: (Bukti ketersambungan nasab keluarga Ba’alwi adalah) adanya puisi yang mengurut silsilah Abu Bakar al Sakran sampai baginda Nabi. Selain nama penulis puisi, seharusnya Rumail menyebutkan puisi ini untuk siapa?
Dari situ akan diperkirakan umur penulis puisi dalam diskursus keterputusan ini. Silahkan pembaca lihat kitab Al Burqat karya Ali al Sakran halaman 149-150, ia mengutip puisi orang yang bernama Muhammad bin Ahmad Gusyair al Hadrami yang memuji seseorang bernama Abdullah bin Abu Bakar.
siapa Abdullah ini? Tidak lain ia adalah kakak atau adik dari Ali al Sakran sendiri. Berarti umur dari penulis puisi itu sebaya dengan Ali al Sakran, bahkan bisa lebih muda, karena ia kemungkinan besar murid dari kakaknya.
Sangat besar kemungkinan juga, Ali al Sakran meminta Muhammad al Hadrami untuk membuat puisi sesuai nama silsilah yang ia berikan terlebih dahulu. Bahkan, bisa jadi puisi itu karya Ali al Sakran sendiri lalu diatasnamakan orang lain. Kecurigaan semacam itu, pantas diberikan untuk penulis dari klan Ba’alwi mengingat skandal ilmiyah yang sering kita dapatkan.
Narasi-narasi Ba’alwi dan Rumail Abbas tentang kitab-kitab abad ketujuh sebenarnya sia-sia, karena padamnya listrik di dalam rumah itu bukan hanya karena semrawutnya rangkaian kabel –kabel, tetapi karena instalasi listriknya memang tidak tersambung ke tiang listrik.
Sampai sekarang tidak ada yang bisa membawa dalil kitab abad ke 4-9 tentang hijrahnya Ahmad bin Isa ke Yaman; tidak ada yang mampu membawa dalil tentang bahwa Ubaid adalah anak Ahmad bin Isa; dan tidak ada yang mampu membawa dalil bahwa Jadid adalah saudaranya Alwi. Lalu berdasar apa anda mengaku sebagai cucu Nabi?
Penulis Imaduddin Utsman Al-Bantani