NYC Subway, humaniora.id – “I am angry. I feel my life is just like a machine. Working around the clock” (Matthew).
Itu adalah penggalan keluhan seorang non Muslim ketika pertama kali hadir di kelas Mualaf saya di Islamic Cultural Center of New York. Sejak pertama saya menjadi salah seorang Imam di Masjid yang biasa disebut masjid Agung New York itu, salah satu inisiatif saya adalah membuka forum khusus untuk non Muslim.
Saya diminta menjadi Imam di Masjid itu hanya beberapa bulan pasca peristiwa 9/11 di tahun 2001. Sejak itu saya berpikir harus ada terobosan baru untuk mengurangi kesalah pahaman, kemarahan dan kebencian sebagian warga New York dan Amerika ke agama ini. Salah satu dari beberapa inisiatif saya ketika itu adalah membuka kesempatan kepada teman-teman non Muslim untuk bisa menerima langsung informasi tentang Islam yang sesungguhnya.
Saya sengaja menamai kegiatan itu dengan “Islamic Forum for non Muslims” atau Forum Islam untuk non Muslim. Saya sengaja tidak memakai kata kelas. Sebab kelas biasanya ada yang mengajar dan ada yang diajari. Saya tidak ingin seolah saya menggurui orang-orang Amerika. Saya justeru ingin kelas ini menjadi forum yang terbuka bagi warga Amerika untuk tidak saja mendapatkan informasi mengenai Islam. Tapi juga menjadi forum untuk mereka mengekspresikan diri, opini, bahkan perasaan mereka mengenai Islam yang mereka kenal selama ini.
Dan benar. Kelas yang berlangsung setiap hari Sabtu itu membludak dengan non Muslim. Ada yang datang memang serius ingin belajar Islam. Ada yang hadir untuk mencari-cari apa yang mereka asumsikan sebagai kesalahan Islam. Dan ada pula yang datang untuk sekedar mengekspresikan kemarahan kepada agama ini dan pemeluknya.
Salah satu peserta itu adalah Matthew yang saya kutip di awal tulisan ini. Matthew adalah seorang warga Amerika kulit putih, berumur sekitar 30-an tahun. Hadir di kelas siang itu dengan pakaian yang nampak tidak terurus. Rambutnya yang agak gondrong nampak juga tidak terurus. Dia duduk di kelas. Tapi nampak gelisah dan tidak tidak serius mendengarkan.
Di akhir presentasi saya yang singkat, sekitar 45 menit, saya menantang peserta untuk bertanya bahkan berdiskusi tentang apa saja mengenai Islam. Tak seorang yang angkat tangan untuk bertanya atau berbicara kecuali Matthew. Saya persilahkan berbicara. Ternyata dia tidak bertanya. Tidak Juga menyampaikan pendapat.
“Can I have some of your time after the class?”, katanya.
Saya mengiyakan. Setelah kelas selesai kita duduk hanya berdua di kelas itu. Saya kemudian bertanya: “what I can do for you?”
Saya terkejut ketika dia menjawab: “I am angry”.
Ketika saya tanya “kenapa marah?”. Dia menjelaskan bahwa dia telah mulai bosan dengan kehidupannya yang menurutnya bagaikan mesin yang berputar 24 jam tanpa henti.
“Every morning I leave my home to my work. Then back to my home at night”, katanya nampak kesal.
“On the weekend I spend most of time at night clubs”, (di akhir pekan saya habiskan waktu saya di rumah-rumah hiburan” lanjutnya.
“But I don’t know for what all this” (saya tidak tahu untuk apa semua ini), katanya dengan suara yang agak meninggi.
Saya kemudian memulai merespon dengan mengatakan: “I’m sorry for you”. Seolah saya ikut merasakan kebosanan hidup itu. Saya ingin dia merasa mendapat support dan motivasi.
Lalu saya tanya pekerjaannya. “What do you do?”.
Dia jawab: “I am an architect” (saya seorang arsitektur).
Dalam hati saya bertanya: kok bisa ya? Seorang Insinyur di kota New York pastinya pintar dan sukses. Pekerjaan sebagai Insinyur di kota dunia ini adalah salah satu pekerjaan yang prestigius (bergengsi). Tapi Kenapa anak muda ini marah pada hidupnya?
Singkat cerita Mathew masuk Islam. Tapi bukan ini yang ingin saya sampaikan kali ini. Justeru yang ingin saya sampaikan adalah realita seorang anak muda, terdidik dan sukses. Tapi pada saat yang sama justeru marah pada diri dan kehidupannya.
Kenyataan ini adalah gambaran betapa kepintaran akal dan kesuksesan dunia tidak menjamin kepuasan dan kebahagiaan hidup. Ada sebuah sisi penting dalam kehidupan yang terabaikan yang menjadikan kesuksesannya menjadi timpang.
Matthew dengan kepintaran dan kesuksesan dunianya sedang mengalami kebingungan dan kebimbangan yang sangat. Mathew tidak tahu untuk apa dia hidup dan akan kemana pada akhirnya di ujung perjalanan kehidupan ini.
Sesungguhnya situasi hidup yang dialami seseorang seperti Mathew inilah salah satu makna dari kata “kesesatan” (dholalah) dalam agama.
Maka diturunkannya Al-Quran di bulan Ramadan sebagai petunjuk (hudan) sesungguhnya adalah penyelamatan manusia (human salvation) dari kesesatan itu. Sungguh Ramadan sebagai bulan Al-Quran (Syahrul Quran) dan hidayah merupakan keberkahan yang begitu besar dan penting dalam kehidupan manusia.
Dan ini pulalah makna dari malam yang kita nantikan itu. Satu malam yang lebih baik dari seribu malam. Malam
Itu menjadi jauh lebih dari malam-malam biasa karena Al-Quran yang diturunkan di malam itu. Dengannya hidup manusia memiliki nilai (value) yang tinggi. Bahkan lebih baik (bernilai) dari seribu bulan kehidupan dalam kesesatan.
Semoga kita dikarunia keberkahan Ramadan. Lebih khusus lagi semoga kita dikarunia keberkahan laelatul Qadar itu. Amin!
NYC Subway, 14 April 2023