Manhattan City, humaniora.id – “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut karena apa yang telah dilakukan oleh tangan-tangan manusia” (Al-Qur’an).
Tak dipungkiri lagi bahwa kerusakan-kerusakan yang terjadi di muka bumi hampir saja sempurna. Menyentuh seluruh aspek kehidupan manusia. Dari kerusakan dan pengrusakan material dan fisikal, kerusakan pola pikir, hingga kepada kebobrokan mental dan moralitas manusia. Kerusakan itu menjadi jelas di muka bumi, baik di daratan, lautan dan udara, seperti pada kutipan ayat di Surah Ar-Rum di atas.
Berbagai kerusakan fisik/material terjadi di mana-mana. Baik karena kejahatan langsung manusia. Maupun karena kemarahan alam atau bumi yang telah bosan dengan berbagai eksploitasi dan kejahatan manusia padanya. Peperangan-peperangan dan pembunuhan (killings) dalam banyak bentuknya telah menelan berjuta-juta manusia secara sia-sia. Bencana alam seperti gempa bumi dalam hitungan detik menelan ribuan korban, seperti di Turki dan Suriah baru-baru ini.
Pola pikir manusia juga semakin semrawut, sakit dan rusak. Seringkali realita terbolak-balik mengikut alur situasi. Yang hitam kadang dilihat putih. Yang putih dilihat hitam. Yang manis jadi pahit. Yang pahit jadi manis. Yang benar jadi salah. Dan yang salah jadi benar. Hubungan pria-wanita melalui institusi nikah jadi beban. Tapi ketika terjadi tanpa proses nikah jadi fun.
Kecenderungan mentalitas manusia juga semakin membingungkan dan destruktif. Membangun rumah tangga dan memiliki pasangan lawan jenis menjadi biasa saja. Sementara rumah tangga dengan sesama jenis menjadi luar biasa (extraordinary). Bahkan dilihat sebagai ekspresi kemanusiaan yang maju dan beradab.
Dari hari ke hari ragam in moralitas berubah seolah alami (natural) dalam kehidupan. Bahkan ragam immoralitàs itu dikampanyekan sebagai ekspresi nilai kemajuan dan modernitas. Manusia tidak saja biasa melakukan dosa dan penyelewengan. Bahkan kerap kali bangga dengan dosa-dosa dan penyelewengan itu.
Pertanyaan sederhana kemudian timbul. Kenapa semua itu bisa terjadi? Ada apa dengan manusia yang secara mendasar sejetinya baik (fitrah)?
Jawabannya kembali lagi kepada bagaimana memposisikan hawa nafsu manusia yang begitu penting. Penting karena hawa nafsu menjadi engine (mesin) kehidupan. Tanpa hawa nafsu sejatinya kehidupan manusia mengalami stagnasi dan kematian.
Masalahnya kemudian adalah ketika dorongan hawa nafsu itu kehilangan kendali. Manusia tidak lagi berada pada posisi mengendalikan hawa nafsu (subyek). Tapi berada pada posisi dikendalikan oleh hawa nafsu (obyek). Pada akhirnya manusia menjadi hamba dan korban hawa nafsunya sendiri.
Di sinilah puasa hadir sebagai keberkahan besar. Puasa yang kita kenal beresensi “imsak” (mengendalikan atau mengontrol) menjadi instrument penting dalam membangun kekuatan bagi manusia untuk mengendalikan hawa nafsunya.
Dan karenanya puasa sesungguhnya bukan sekedar menahan makan, minum dan kenyamanan duniawi lainnya. Semua itu hanya aksi simbolik dalam pengendalian. Esensi menahan atau imsak justeru ada pada menahan dorongan hawa nafsu yang begitu kuat dalam diri manusia.
Kegagalan manusia dalam menguasai (mengendalikan) hawa nafsunya menjadikannya liar. Bahkan lebih liar dari binatang di liat di tengah belantara hutan. Manusia yang tidak mengendalikan hawa nafsu akan melakukan kejahatan dan kerusakan bahkan jauh lebih besar dari kerusakan yang dapat diakibatkan oleh makhluk-makhluk Allah yang lain.
Dan karenanya kerusakan-kerusakan yang telah nampak di darat dan di laut itu akibat ulah tangan-tangan manusia. Tangan-tangan yang terkendalikan dan diperbudak oleh hawa nafsu yang tiada batas. Hawa nafsu jauh lebih besar dari batasan dunia. Dan hanya akan sadar batas ketika masuk ke dalam liang lahat (hatta zurtum al-maqaabir).
Berbagai eksploitasi alam dan sesama manusia, termasuk peperangan-peperangan tadi, bahkan dengan ragam justifikasi yang manis seperti kebebasan, HAM, demokrasi dan seterusnya semuanya kembali kepada hawa nafsu yang tak terkendali.
Realita ini yang diekspresikan di Surah An-Nazi’at: “Maka barangsiapa yang melampaui batas dan mengedepankan kehidupan dunia maka jahannam adalah tempat kembalinya”.
Semoga puasa kali ini benar-benar melatih kita dalam mengendalikan dorongan hawa nafsu. Kita pegang, kita kendalikan, kita arahkan, lalu kita maksimalkan dorongan hawa nafsu itu ke arah yang benar dan positif. Ke hal-hal yang sesuai dengan ajaran Allah dan dalam rangka meraih ridho-Nya. Insya Allah!
Manhattan City, 13 April 2023
Comments 1