humaniora.id – Kata “syukur” nampaknya sederhana dan sangat populer. Tapi sesungguhnya memiliki makna yang dalam dan penting, baik dalam agama maupun kehidupan. Tanpa Syukur beragama akan salah kaprah. Dan tanpa syukur kehidupan akan menjadi hampa.
Jika dikaji sedikit lebih dalam lagi Islam yang salah satunya dimaknai sebagai “ketaatan” (al-itho’ah) dalam pengabdian (ubudiyah) sesungguhnya berorientasi kepada kesyukuran. Dengan kata lain, ibadah-ibadah yang kita lakukan dalam ketaatan kita kepada sang Khaliq sejatinya sejatinya adalah bentuk rasa terima kasih dan apresiasi (syukur) kita kepadaNya.
Rasulullah SAW menyimpulkan ini dalam respon yang beliau sampaikan kepada isterinya ketika ditanya: “dengan kenyataan bahwa beliau dijaga dari dosa dan kesalahan, seorang Rasul dan nabi, dan dijamin masuk syurga. Untuk apa melakukan semua ibadah-ibadah itu?”.
Jawaban beliau jelas dan tegas: “افلا اكون عبدا شكورا؟” (tidakkah seharusnya saya menjadi hamba (Allah) yang bersyukur?).
Semua ibadah yang kita lakukan, dari Sholat, puasa, Zakat, Haji, dzikir dan tasbih, dan lain-lain, merupakan ekspresi kesyukuran kepadaNya. Logika sederhananya adalah karena semua itu dapat kita lakukan juga karena kasih sayang Allah kepada kita semua. Kasih sayang (rahmah) terbesarnya adalah bahwa Allah memberikan hidayah “taufiq“ kepada kita untuk melakukan ibadah-ibadah itu.
Syukur kemudian menjadi penting dalam kehidupan karena realitanya kehidupan dunia ini sangat-sangat terbatas dalam segala aspeknya. Baik keterbatasan dalam memenuhi keinginan (hawa nafsu) manusia yang tiada batas. Maupun keterbatasan dalam eksistensinya (كل من عليها فان).
Ketika manusia yang secara alami memiliki keinginan-keinginan (desires) atau “ahwaa” hanya bersandar kepada dunia maka hidupnya akan berakhir pada kekecewaan. Dunia ini semakin diburu akan semakin menuntut. Dan ketika tuntutan itu diperhadapkan dengan dunai yang sangat terbatas maka yang terjadi hanya kekecewaan, bahkan kemarahan dan frustrasi.
Inilah salah satu penyakit besar yang dihadapi oleh Umat manusia masa kini. Dalam Al-Quran ada dua penyakit utama yang disebutkan. Yaitu kesedihan (hazanun) dan kekhawatiran (khaufun). Kedua penyakit ini lebih dikenal dengan penyakit mental (mental sickness) yang saat merongrong dunia modern dengan segala kehebatan dan kemajuannya.
Di sinilah letak keberkahan puasa, menghadirkan atau membangun rasa syukur atas segala karunia yang Allah karuniakan kepada manusia. Dengan puasa kita disadarkan bahwa dunia (materi) bukan segalanya dalam kehidupan ini. Kita kesampingkan sementara makanan, minuman, dan ragam kenikmatan duniawi untuk menemukan kembali esensi kehidupan dan kemanusiaan kita.
Ketika kita mampu membangun kesadaran bahwa dunia (materi) bukan segalanya maka kita tidak perlu mengalami kesedihan dan/atau kekhawatiran berlebihan atas segala hiruk pikuk pergerakan duniawi ini. Tidak perlu kehilangan pijakan di bumi karena sedang “upper hand” (baik-baik saja). Sebaliknya tidak perlu merasa seolah dunia telah berakhir ketika sedang di “lower hand” (di bawah).
Hidup berubah naik turun. Kadang putih-kadang hitam. Kadang menyenangkan, kadang pula menantang, bahkan ke level yang sangat sulit. Tapi satu hal yang pasti bagi orang yang sadar syukur adalah hitam atau putihnya kehidupan itu hanya pergerakan yang Allah sunnahkan. Dan pada kedua keadaan dalam kacamata batin atau iman adalah baik dan membawa keberkahan. Insya Allah!
Jamaica Hills, 6 April 2023
Comments 1