humaniora.id – Warna hidup manusia itu terbentuk oleh suasana hatinya. Segala gerak-gerik hidupnya adalah gambaran dari suasana hati. Dan karenanya hati adalah penentu hitam putih, sehat sakit atau baik buruknya prilaku manusia.
Hakikat inilah yang digambarkan secara sederhana oleh Rasulullah SAW: “Sungguh dalam tubuh manusia itu ada segumpal darah yang jika baik, baiklah seluruh anggota tubuhnya. Tapi jika rusak, rusak pula seluruh anggota tubuhnya. Itulah hati” (hadits).
Berbagai kerusakan yang digambarkan oleh Al-Quran ini: “telah nampak kerusakan di darat dan di laut karena apa yang dilakukan oleh tangan-tangan manusia” (ayat), realita dari rusaknya prilaku akibat dari rusaknya hati.
Pada sisi inilah puasa hadir dengan keberkahan yang sangat penting. Yaitu untuk membentuk (shaping) warna batin (hati) manusia. Bentukan batin itulah kemudian yang menentukan bentuk karakternya.
Ada dua alasan utama kenapa puasa begitu penting dalam membentuk warna batin manusia.
Pertama, karena puasa adalah bentuk ibadah yang bersentuhan langsung dengan “kata hati” yang paling dalam. Puasa adalah amalan yang benar-benar terbebas dari intervensi pihak ketiga. Puasa merupakan aktifitas ubudiyah yang ekslusif antara seorang hamba dan Tuhannya.
Koneksi hati seorang hamba dengan sang Khalik secara dekat ini (qariib) dengan sendirinya menyuburkan hati dan jiwa sang hamba tersebut.
Kedua, hati itu dasarnya suci (fitrah) rentang ternodai dan kotor. Karenanya hati bisa sakit, bahkan bisa buta dan mati. Hal itu karena Allah juga menciptakan satu elemen lain dalam diri manusia yang sangat diperlukan bagi keberlangsungan kehidupannya. Namun elemen jika tidak terkontrol akan menjadi instrumen destruktif bagi kehidupan. Itulah hawa nafsu manusia.
Kerusakan pertama yang akan terjadi oleh hawa nafsu yang tidak terkontrol adalah rusaknya kesucian hati manusia. Dan ketika hati mengalami kerusakan maka hati itu tidak lagi mampu memainkan peranan “furqan”. Sebuah cahaya batin (nurani) untuk memilah mana yang benar dan mana yang salah dalam kehidupan.
Di sinilah puasa yang memang esensinya “al-imsak” atau menahan, mengontrol atau mengendalikan disyariatkan untuk itu (mengontrol kecenderungan hawa nafsu yang buas. Puasa berperan menjaga hati agar tidak merusak kesuciannya. Pada posisi inilah puasa memang dikenal sebagai جنة (junnah) atau perisai (shield).
Puasa sebagai amalan yang sangat pribadi antara hamba dan Tuhannya menumbuhkan rasa kedekatan dan kebersamaan dengan Allah. Dengan rasa kebersamaan dengan Allah (al-ma’iyatullah) hati merasakan ketentraman dan kesembilan. Dengan perasaan ke bersamaan itu pula hati menjadi sehat, kuat dan tegar menghadapi tantangan dan/atau godaan hidup.
Inilah salah satu makna sabda baginda Rasulullah: “ketika Ramadan telah tiba pintu-pintu syurga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, dan syetan-syetan terikat (shuffidat)” (hadits).
Syetan-syetan terikat di sini tentu sebuah ungkapan illustratif. Artinya syetan selama Ramadan itu tidak memiliki kemampuan luas menggoda manusia. Karena manusia di bulan Ramadan memiliki koneksi yang sangat intim dengan Allah SWT.
Hati yang sehat melahirkan keikhlasan yang tinggi. Dan keikhlasan ini merupakan senjata yang paling ampuh untuk mengalahkan syetan. “Semua akan saya goda kecuali hamba-hambaMu yang ikhlas” (Al-Quran).
Dan yang terpenting juga adalah bahwa di hari Kiamat kelak, hanya dengan hati yang suci (qalbun saliim), seorang hamba akan menghadap Tuhannya dengan aman. “Di hari di mana harta benda dan anak-anak tidak lagi berguna. Kecuali siapa yang datang menghadap Allah dengan hati yang sehat (saliim).
Hanya dengan hati yang sehat inilah keridhooan Allah akan diraih. Dan dengannya pula seorang hamba akan masuk ke dalam syurga. “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kamu kepada Tuhanmu dalam keadaan ridho dan diridhoi. Masuklah ke dalam golongan hamba-hambaKu, dan masuklah ke dalam syurgaKu”. (al-Quran).
Sungguh besar keberkahan Ramadan pada sisi ini. Semoga Ramadan kita membawa keberkahan yang lebih banyak. Amin!
Jamaica Hills, 29 Maret 2023