humaniora.id – “Mankind is a spiritual being in a physical body”. Kalau seandainya saya ditanya tentang defenisi manusia maka jawaban saya kira-kira seperti di atas. Bahwa manusia itu adalah wujud spiritualitas bersemayam dalam sebuah wujud fisikal.
Intinya adalah bahwa nilai (value) sejati manusia itu ada pada posisi ruhiyahnya. Kemuliaan, kehormatannya ditentukan oleh nilai spiritualitasnya.
Kalau sekiranya manusia bangga karena fisiknya maka sudah pasti gajah, kerbau atau sapi pantas lebih bangga darinya. Kalau kekuasaan menjadi pene tu kehormatannya boleh jadi seekor harimau akan lebih bangga kekuasaannya di hutan belantara sana.
Karenanya sekali lagi, nilai kemanusian (human value) manusia ada pada aspek ruhiyah kehidupannya.
Jika penciptaan jasad manusia terbuat dari tanah liat (thiin). Maka eksistensi “ruh” manusia langsung dari tiupan ruh Ilahi (nafakha fii min ruhina).
Oleh karena ruh adalah tiupan “ruh Ilahi” maka ruh inilah yang nanti pada akhirnya akan kembali ke asalnya, kembali menghadap Allah SWT (inna ilaihi rajiun). Sementara fisiknya akan kembali pula bersatu dengan asalnya di tanah (tsumma nu’idukum fiiha marratan ukhra).
Jika fisik berakhir dengan kebusukan dan kehancuran, maka ruh yang terjaga, mulia selamanya.
Hakekatnya sebagai pemberian Allah yang khusus kepada manusia, menjadikan ruh rahasia yang tiada tahu kecuali Allah SWT sendiri. “Dan katakan sesungguhnya ruh itu adalah urusan Allah” (Al-Quran).
Sedemikian mulianya ruh manusia maka Islam sebagai agama kehidupan, seluruh elemennya mengandung aspek “spiritual nourishment” (makanan ruh). Dari ibadah-ibadah ritual hingga ke aspek-aspek muamalatnya.
Ketika akan makan atau tidur misalnya, doa yang dipanjatkan semuanya bermuara kepada langit (Allah). Makan meminta “barokah”. Dan barokah itu ada di tangan Allah yang “Tabaaraka”.
Tidur juga atas namaNya Allah (bismika). Keduanya bukan sekedar aktifitas duniawi yang hampa ruhiyah. Tapi terikat dengan nilai-nilai samawi yang sarat dengan ruhiyah.
Jangankan makan dan tidur, hubungan suami isteri pun tidak lepas dari nilai-nilai ruhiyah itu. Sehinggga disebutkan bahwa hubungan yang tidak dimulai dengan doa perlindungan dari syetan, anak yang tercipta dari hubungan itu akan ikut terpengaruh syetan.
Bahkan keluar masuk WC sekalipun semuanya memiliki nilai-nilai ruhiyah karena bersentuhan langsung dengan nilai-nilai samawi (ruhiyah). Meminta perlindungan dari syetan “Allahumma inni auzdu bika minal khubutsi wal khabaaits”.
Apalagi aspek ritual agama ini. Dari sholat, puasa, haji dan ragam bentuk ibadah ritual, semuanya secara mendasar dimaksudkan untuk menumbuh suburkan nilai-nilai ruhiyah manusia. Karena pada semua amalan itu “dzikrullah” yang menjadi esensi dasarnya.
Sholat yang kosong dari dzikir (mengingat Allah) dikategorikan oleh Al-Quran sebagai sholat kemunafikan (laa yadzjuruna Allah illa qalila). Bahkan terancam dengan neraka “wael”.
Puasa secara khusus penuh dengan nilai-nilai spiritualitas (ruhiyah). Makan sahur itu bukan sekedar makan pagi. Tapi sebuah amalan ibadah yang padanya dijanjikan “barokah”.
“Makan sahurlah karena sesungguhnya pada sahur itu ada barokah” (hadits).
Barokah itu adalah nilai tambah karena bersentuhan langsung dengan Allah (Tabaraka). Sehingga dengan sendirinya merupakan “penguatan ruh” yang memang langsung dari Allah (ruhina).
Singkatnya semua amalan yang terjadi di Bulan Ramadan, sholat-sholat sunnah, baca Al-Quran, Tarawih dan qiyaam, hingga kepada sadaqah dan bahkan tidur sekalipun bernilai spiritualitas.
Puasa diakhiri dengan berbuka puasa (Iftar). Sebuah amalan yang bukan sekedar makan malam seperti biasanya. Tapi semua amalan yang sarat dengan nilai ruhiyah.
Karenanya doa berbuka dikaitkan langsung dengan ikatan Ilahi: “untuk Engkau Aku berpuasa, kepadaMu aku beriman, dan dengan rezekiMu juga aku berbuka puasa. Maka terimalah dariku. Sunnguh Engkau Maha mendengar lagi Maha melihat”.
Karenanya bulan Ramadan ini harus menjadi momentum yang baik dalam membangun kehidupan ruhiyah yang solid. Kerapuhan nilai-nilai spiritualitas menjadikan manusia terombang-ambing dalam pergerakan gelombang dunia yang tiada akhir.
Kehidupan materialistis, konsumeris dan hedonistis yang terbangun di atas paham kapitalisme menjadikan manusia semakin rakus dan kehilangan nuraninya.
Akibatnya dalam dunia yang kerap kali diakui sebagai dunia modern, manusia yang seharusnya lebih beradab (civilized), justeru seringkali berkarakter biadab. Bahkan lebih biadab dari hewan.
“Mereka bagaikan hewan. Bahkan lebih sesat dari hewan” (Al-Quran).
Semoga puasa kita menumbuh suburkan hati dan ruh kita sehingga dorongan dunia yang dahsyat ini mampu terimbangi. Dengan ajaran keseimbangan antara nilai-nilai fisikal dan ruhiyah inilah yang menjadikan Islam sangat unik dalam karakternya.
Agama yang membangun kebaikan pada dua aspek kehidupan. Hasanah fid-dunya wa hasanah fil-akhirah. Amin.
Jamaica Hills, 27 Maret 2023