humaniora.id – Ramadan sebagai bulan Al-Qur’an (syahrul Qur’an) menjadi sangat penting untuk dijadikan sebagai momentum untuk melakukan apa yang saya sebut “reorientasi kehidupan”. Manusia hadir di atas dunia ini dengan orientasi (tujuan) yang jelas. Hanya saja dunia yang penuh dengan hiruk pikuk dan rutinitas yang tiada henti menjadikan banyak manusia mengalami disorientasi hidup.
Di sìnilah sejatinya Ramadan hadir menjadi momentum yang penuh keberkahan (keutamaan) dalam upaya manusia melakukan reorientasi hidup. Dengan puasa seseorang akan lebih mampu memerdekakan diri dari kungkungan atau distraksi dunia yang memang sangat keras.
Ketika seseorang dikungkung atau terdistraksi oleh hiruk pikuk dunia dia akan kehilangan arah hidup. Pada galibnya akan mengalami disorientasi hidup. Dia akan menjalani hidupnya secara rutin dan cenderung membosankan. Sehingga pada akhirnya ada dua kemungkinan:
Satu, mengalami kebosanan atau kejenuhan hidup. Biasanya orang seperti ini akan mengalami goncangan batin, semakmur apapun kehidupan dunianya. Dia akan goyah, gersang, bahkan geram pada diri dan hidupnya bahkan berujung kepada keputus asaan. Salah satu penyakit yang paling merebak di dunia Barat saat ini adalah “mental health problem” (penyakit mental). Rumah-rumah sakit penuh dengan pasien yang berpenyakit mental.
Dua, mencoba atau mencari hal-hal yang tidak normal (tidak alami) dalam upaya menemukan kepuasan hidup. Di dunia Barat salah satu penyebab banyaknya gaya hidup yang tidak alami, termasuk kecenderungan terhadap sesama jenis misalnya karena hal ini. Yaitu ketidak puasan hidup yang menyebabkan orang mencari hal baru atau hal aneh yang kadang menjijikkan bahkan destruktif pada diri dan alam.
Dengan mengesampingkan sementara ikatan (kungkungan) dunia ini seseorang akan mendapatkan kebebasan yang menjadikannya akan lebih mampu menguasai diri dan pikirannya. Ketika kesenangan dunia tidak lagi mengungkung maka hawa nafsu dapat dikontrol dengan baik. Ketika hawa nafsu terkontrol manusia harusnya akan lebih bijak dan logis dalam menyikapi hiruk pikuk kehidupannya.
Salah satu hal yang mendasar untuk disikapi oleh manusia adalah kesadaran tentang orientasi hidup. Bahwa keberadaannya di dunia bukan tanpa maksud dan tujuan (‘abatsa). Tapi untuk sebuah misi besar dan tujuan mulia yang tidak diberikan kepada makhluk lainnya. Inilah amanah yang semuanya melarikan diri darinya kecuali manusia (fahamalaha al-insanu).
Dalam pandangan Islam manusia diciptakan dan dihadirkan di dunia ini untuk sebuah tujuan mulia. Yaitu hadir untuk pengabdian kepada sang Pencipta langit dan bumi dan segala isinya. Pengabdian inilah yang dikenal dalam bahasa agama dengan ibadah.
Allah menggariskan hal ini dalam firmanNya: “dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah (kepada aku)”.
Ramadan hendaknya membangun kembali kesadaran ini. Bahwa hidup dan wujud kita dalam dunia ini bertujuan untuk memenuhi amanah ubudiyah itu. Mengabdikan diri semata kepada Allah dalam segala bentuk dan manifestasinya.
Semoga kesadaran tentang orientasi (tujuan) hidup ini menjadi bagian dari keberkahan (keutamaan) Ramadan kali ini. Sehingga selepas Ramadan nanti hidup kita lebih terarah, bernilai dan tentunya lebih barokah. Insya Allah!
Berlanjut ke bagian (04) : https://www.humaniora.id/memaknai-keberkahan-ramadan-04-oleh-imam-shamsi-ali/
New York City, 24 Maret 2023
Comments 2