JAKARTA, humaniora.id – Indonesia merupakan negara demokrasi, sebuah negara besar yang memberikan kebebasan rakyatnya untuk menyampaikan aspirasi.
Kemajuan teknologi digital saat ini, khususnya media sosial harus dimanfaatkan oleh masyarakat untuk menyalurkan aspirasi. Tentunya aspirasi tersebut harus disampaikan dengan tetap menjunjung tinggi kaidah-kaidah yang berlaku.
Anggota Komisi I DPR RI Dapil Kalimantan Barat II, Krisantus Kurniawan, S.IP., M.Si mengatakan bahwa kehadiran media baru berbasis teknologi digital sangat potensial dalam mengubah kontur politik yang lebih partisipatif.
Menurutnya, perubahan tersebut membuat semakin terbuka arus informasi, sehingga dapat membuka akses lebih luas bagi warga negara untuk menyampaikan aspirasi.
“Dengan demikian media baru ini telah berhasil menciptakan partisipasi digital yang lebih luas seperti membangun komunitas digital,” kata Krisantus selaku narasumber yang diselenggarakan oleh BAKTI Kominfo RI bekerja sama dengan Komisi I DPR RI dengan tema ‘Media Sosial Sebagai Wadah Penyaluran Aspirasi Masyarakat’ secara virtual. Jakarta (01/03/2023).
Media sosial dikenal sebagai saluran partisipasi dapat dikatakan sebagai media publik untuk ikut berpartisipasi aktif dalam berbagai hal, terutama dalam menyikapi dan mengkritisi berbagai kebijakan dari pemerintah daerah setempat.
“Kemudian otokritik juga harus disampaikan jika sifatnya membangun, bukan yang sifatnya memecah persatuan dalam kerangka NKRI,” tutup Krisantus.
Sementara itu narasumber berikutnya, Dr. Ismail Cawidu, M.Si selaku Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menyebutkan bahwa berdasarkan UUD 1945 Pasal 28E ayat 3 dengan jelas menyatakan setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.
Kemudian, setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya,serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. (UUD 1945 PSL 28F).
“Berdasarkan 28E dan pasal 28F UUD 1945 tersebut maka kebebasan berserikat, berkumpul, berpendapat dan berkomunikasi, adalah hak dasar yang tidak dapat dikurangi,” kata Ismail.
Namun dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai, dan seterusnya sebagaimana yang telah dinyatakan pada Pasal 28J ayat 2.
“Dalam memanfaatkan media sosial sebagai media penyalur aspirasi, maka yang perlu diingat adalah kita harus menyampaikannya dengan bahasa yang sopan, tidak mengandung SARA dan kekerasan, terbukti kebenarannya, dan menghargai karya orang lain,” sebut Dosen UIN Syarif Hidayatullah tersebut.
Sementara itu narasumber terakhir, Silkania Swarizona, S.IP., M.IP selaku Dosen Universitas Negeri Surabaya mengatakan bahwa penyampaian aspirasi di media sosial bisa berdampak pada banyak orang.
“Pemanfaatan fitur seperti petisi-petisi online dapat menjadi wadah bagi suatu kelompok dalam mengemukakan pendapatnya, termasuk dalam hal mengkritisi suatu kebijakan,” kata Silkania.
Saat ini ada banyak fenomena viral dimana para netizen membahas dan berkomentar atas suatu kebijakan hingga akhirnya dari pembahasan tersebut membuat pengaku kebijakan melahirkan atau mengubah suatu kebijakan menjadi kebijakan yang bijak dan diterima oleh masyarakat.
Meski begitu dalam penyampaiannya, aspirasi harus diungkapkan dengan sebaik-baiknya. Hal ini tertuang pada Pasal 28 UUD 2945 yang menyatakan bahwa kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.
“Bedakan kritik dengan penyerangan pribadi, jika anda tidak suka dengan kebijakannya maka kritiklah kebijakannya, bukan orang yang membuat kebijakan,” tutup Silkania.