humaniora.id – Sejarah Kerajaan Majapahit. Kejayaan Kerajaan Majapahit Ditinjau Dari Sistem Geopolitik Indonesia.
Majapahit dan Proses Kemerdekaan Indonesia
Sejarah Majapahit menjadi salah satu referensi bagi para founding fathers dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada Mei-Juli 1945 dalam merumuskan bentuk negara, dasar negara, hingga batasan wilayah negara Indonesia.
BPUPKI dibentuk pada Maret 1945, menyusul janji kemerdekaan yang dikeluarkan oleh Jepang menjelang akhir Perang Dunia II yang melibatkan negara Poros (Jerman, Italia, dan Jepang) dan Sekutu (Amerika Serikat, Inggris, dan lain-lain).
Ketika berpidato pada 29 Mei 1945, Muhammad Yamin menyampaikan gagasan tentang lima dasar negara Indonesia yaitu peri kebangsaan, peri kemanusiaan, peri ketuhanan, peri kerakyatan, dan kesejahteraan rakyat.
Mengenai peri kebangsaan, Yamin menyebut bahwa Indonesia yang akan didirikan merupakan “Indonesia ketiga”, setelah periode Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit yang disebutnya sebagai “Indonesia pertama” dan “Indonesia kedua” (Yamin, 1986, hal. 6).
Sedangkan tentang peri kerakyatan, Yamin menyitir Majapahit sebagai contoh dalam hal kesetiaan pada negara, serta mengenai kepercayaan negara pada
“tenaga rakyat”. Selain itu, Yamin mengambil Gajah Mada sebagai teladan dalam hal bakti pada keselamatan negara (Yamin, 1986, hal. 18).
Selanjutnya, pada pidato tanggal 31 Mei 1945 tentang “Daerah Negara – Kebangsaan Indonesia”, Yamin mengutip era kejayaan Majapahit di bawah Prabu Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada yang menaungi wilayah Nusantara (Sekretariat Negara, 1959, hal. 51-55).
Pembicara lain, Ir. Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 mengetengahkan gagasan tentang Indonesia sebagai “negara kebangsaan” atau “nationale staat”. Pada saat itu, Soekarno yang kelak menjadi Presiden Republik Indonesia (RI) pertama secara tegas menyebutkan Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit sebagai contoh nationale staat yang ia maksud.
Berdasarkan prinsip nationale staat itu, Soekarno menyebut kosa kata “geopolitik”, yang merujuk pada persatuan dan kesatuan manusia dengan tempatnya, yaitu dari “ujung utara Sumatera sampai ke Irian (Papua)”.
Adapun nationale staat yang dimaksud oleh Soekarno adalah kesatuan dari le desir d’etre ensemble atau “kehendak untuk bersatu” yang bulat dari daerah-daerah, seperti Jawa, Sumatera, Borneo, Sulawesi, Bali, dan lainnya (Sekretariat Negara, 1959, hal. 67-68).
Kebangsaan sendiri merupakan satu dari lima prinsip philosofische grondslag atau filosofi dasar negara Indonesia bersama-sama dengan prinsip internasionalisme atau kebangsaan, mufakat atau demokrasi, kesejahteraan sosial, serta ketuhanan.
Oleh Soekarno, kelima dasar negara itu disebut sebagai ‘Pancasila’ atau lima dasar (Sekretariat Negara, 1959, hal. 57-75).
Selain itu, dalam menentukan batas wilayah Indonesia, pada sidang resmi kedua BPUPKI di bulan Juli 1945 Soekarno juga merujuk pada wilayah Nusantara pada masa Majapahit yang memasukkan Papua sebagai bagian wilayahnya.
Hal itu untuk menangkal pandangan bahwa wilayah Indonesia kelak hanya mencakup bekas Hindia Belanda minus Papua agar tidak berbenturan dengan hukum internasional.
Dalam voting di BPUPKI pada 11 Juli 1945, mayoritas anggota BPUPKI memilih batas wilayah pada bekas Hindia Belanda, Malaya, Borneo Utara, Papua, Timor Portugis, dan pulau-pulau sekitarnya (Sekretariat Negara, 1959, hal. 140 dan 148).
Pasca dua kali persidangan resmi BPUPKI, pada 7 Agustus 1945 dibentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia, serta mengesahkan dasar negara dan undang-undang dasar (UUD), dengan ketua Ir. Soekarno dan Muhammad Hatta sebagai wakil ketua.
Akan tetapi, Jepang kemudian menyerah kepada Sekutu menyusul dijatuhkannya bom atom di dua kota di Jepang Hiroshima dan Nagasaki oleh AS pada 6 dan 9 Agustus 1945. Setelah didesak oleh golongan pemuda, Soekarno dan Muhammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Satu hari sesudah Proklamasi Kemerdekaan, PPKI bersidang dan menetapkan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) sebagai konstitusi Indonesia.
Walau tidak secara spesifik mencantumkan kata “Pancasila”, lima sila yang didiskusikan dalam sidang BPUPKI diadopsi sebagai dasar negara dan disebutkan dalam alinea ke-4 Pembukaan UUD NRI 1945:
“…..maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” (Sekretariat Negara, 1959, hal. 340).
Akan tetapi, pada sidang itu juga Soekarno mengungkapkan bahwa ia telah memberitahu panglima tentara Jepang di Asia Tenggara Jenderal Terauchi bahwa wilayah Indonesia hanya sebatas bekas Hindia Belanda (Sekretariat Negara, 1959, hal. 348).
Penganuliran itu kemungkinan terjadi untuk menghindari konsekuensi benturan dengan hukum internasional jika tetap memasukkan wilayah Semenanjung Malaya, Borneo Utara, dan Timor Portugis.
Adapun Bhinneka Tunggal Ika (berbeda-beda tetapi tetap satu) ditetapkan sebagai semboyan yang merupakan bagian dari lambang negara Indonesia melalui Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951. Hal ini diperkuat oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD NRI 1945) hasil amandemen ke-4 pasal 36A yang berbunyi “Lambang negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika”.
Kesimpulan
Kerajaan Majapahit memberikan bangsa Indonesia referensi mengenai geopolitik, terutama menyangkut aspek sejarah, batas geografis, dan falasafah bangsa. Pada tataran tertentu, Majapahit telah memberikan kontribusi bagi pemikiran atas dasar negara Indonesia, yaitu Pancasila yang tidak lain adalah nilai-nilai dan pandangan hidup bangsa Indonesia sejak dahulu hingga kini.
Sejarah Majapahit menunjukkan bahwa suatu negara dapat tumbuh dan jaya karena kemampuannya menciptakan persatuan, menciptakan kesejahteraan rakyat, dan mengantisipasi dinamika geopolitik. Sebaliknya, ketidakmampuan mengendalikan hal-hal itu mengakibatkan kemunduran, bahkan keruntuhan suatu negara.
Kejayaan dan keruntuhan Majapahit menjadi pelajaran bagi bangsa Indonesia saat ini agar terus menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, serta arif dalam menyikapi dinamika geopolitik. Apalagi, diskursus geopolitik sudah meluas dari sekedar ruang darat, laut, dan udara, tetapi juga ke ruang maya dalam era Revousi Industri 4.0. Untuk itu, bangsa Indonesia harus tetap berpegang pada Pancasila yang nilai-nilainya dibutuhkan untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Daftar Pustaka
Ashworth, Lucian M (2010). Realism and the spirit of 1919: Halford Mackinder, Geopolitics and the Reality of the League of Nations. European Journal of International Relations, 17(2). United Kingdom: Sagepub.Diakses pada 27 Agustus 2019. https://journals.sagepub.com/doi/pdf/10.1177/1354066110363501.
Cohen, Saul Bernard (2003). Geopolitics of the World System. Rowman and Littlefield.
Chen T. A., A.M (1967). Chinese Migrations, With Special Reference to Labor Conditions. Bulletin of the United States of Bureau of Labor Statistics (340). New York: Paragon Book Gallery.
Muhammad Yamin (1986). Gajah Mada: Pahlawan Persatuan Bangsa. Cetakan ke X. Jakarta: Balai Pustaka.
Muljana, Slamet (2005). Menuju Puncak Kemegahan: Sejarah Majapahit.Yogyakarta: LKiS.
Putri, Risa Herdahita. (tanpa tahun). Penyebab Lain Keruntuhan Majapahit. Historia. Diakses pada 27 Agustus 2019. https://historia.id/kuno/articles/penyebab-lain-keruntuhan-majapahitDEZ1x .
Sekretariat Negara Republik Indonesia (1959). Himpunan Risalah Sidang-Sidang Dari: Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) (Tanggal 29 Mei 1945-16 Juli 1945) Dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) (Tanggal 18 dan 19 Agustus 1945) Yang Berhubungan Dengan Penyusunan Undang-Undang Dasar 1945.
Soepandji, Kris Wijoyo dan Farid, Muhammad (2018). Konsep Bela Negara Dalam Perspektif Ketahanan Nasional. Jurnal Hukum & Pembangunan, 48 (3), 436-456.
Soepandji, Kris Wijoyo (2017). Ilmu Negara: Perspektif Geopolitik Masa Kini. Badan Penerbit FHUI.
Tantular, Mpu (2009). Kakawin Sutasoma. Dwi Woro Retno Mastuti dan Hasto Bramantyo (penerjemah). Depok: Komunitas Bambu.
Prof. Budi Susilo Soepandji, adalah seorang pencinta seni dan budaya. Mempunyai gagasan untuk selalu menjaga Persatuan dan Kesatuan Bangsa.
Sumber : Official website Komite Seni Budaya Nusantara ( KSBN ) https://www.ksbnindonesia.org/
Comments 1