humaniora.id – Mundur dari kabinet itu bagi Prof Mahfud MD adalah persoalan pilihan moral daripada taktik politik. Tanpa mundurpun dia sebenarnya tidak apa-apa. Bahkan kedudukannya tetap kuat dari sisi kewenangan, pengaruh, dan kesempatan.
Namun Prof. Mahfud sebagai Menkopolhukam sejak awal sudah menekankan pada jajarannya agar selalu bersikap netral, jujur dan adil.
Kenyataannya justru pimpinannya yaitu Presiden Jokowi yang terang-terangan tidak netral dan tidak adil dalam Pilpres 2024.
Hal ini menyebabkan Prof. Mahfud berada pada posisi sulit. Tentu jajaran aparat di bawah koordinasinya akan lebih melihat ke sikap Presiden. Maka, Prof. Mahfud tidak bisa menjamin netralitas, sehingga lebih baik baginya mundur dibanding bertahan sebagai menteri. Dengan mengundurkan diri tanggung jawab moralnya sebagai Menkopolhukam, jika benar-benar mencuat kasus-kasus ketidakadilan dan ketidaknetralan aparat di lapangan, itu bukan lagi menjadi tanggung jawab Prof. Mahfud MD sebagai menteri koordinator. Conflict of interest terhindarkan.
Namun sebagai bawahan yang menghormati Presiden yang memilihnya, Prof. Mahfud nampaknya akan melaporkan sikapnya ini dengan tetap menghormati presiden Jokowi. Itulah mengapa Prof. Mahfud minta izin langsung pengunduran dirinya. Bagi Prof. Mahfud mengundurkan diri bukanlah sikap pembangkangan, bukan pula sikap lari dari tanggung jawab.
Sebagai gerakan moral, mundurnya Prof. Mahfud dari kabinet, punya makna mengingatkan pada menteri-menteri lain, bahwa ada masalah moralitas jika tetap bertahan di pemerintahan yang presidennya sudah mengabaikan etika, mengabaikan kepatutan moral, bahkan merekayasa regulasi UU lewat keputusan di MK, serta mengabaikan rasa keadilan di masyarakat dalam berpolitik.
Dengan mundur, Prof. Mahfud tidak mendukung pelanggaran adab bernegara yang sudah dan sedang berlangsung. Ini pesan untuk rakyat sekaligus pesan untuk menteri-menteri lain, khususnya yang berbeda posisi politik dengan Pemerintah Jokowi. Termasuk pada menteri-menteri dari PKB, anak buah Cak Imin, misalnya.
Sejak awal dikatakan, paslon Anies-Imin itu simbol Perubahan. Tapi sampai sekarang menteri-menteri dari koalisi perubahan tersebut masih menikmati kekuasaan sebagai anak buah Jokowi di pemerintahan. Itu terkesan tak hanya inkonsisten, tapi juga oportunis. Begitu pula Menteri dari Nasdem, tetap menjabat, tak beda dengan menteri-menteri pendukung Prabowo. Padahal Nasdem dan PKB itu sudah mendeklarasikan sebagai bagian dari antitesis Jokowi. Lalu apa bedanya dengan Prabowo dan menteri-menteri dari Golkar dan PAN? Kalau mereka mundur tokoh-tokoh Partai Demokrat atau yang lain bisa merasakan jabatan menteri di sisa waktu ini.
Kalau mengikuti pertimbangan moral yang dicontohkan Prof. Mahfud, seharusnya mereka dari PKB dan Nasdem juga mundur dari kabinet. Begitu pula untuk menteri-menteri dari PDIP, juga selayaknya mundur seperti Prof. Mahfud, karena partainya sudah dikhianati Jokowi. Walau PDIP tidak menyebut sebagai antitesis Jokowi. Namun sebagai pendukung paslon yang akan memperbaiki pemerintahan, sudah selayaknya secara moral menteri-menteri PDIP juga mendukung langkah mundur Prof. Mahfud dengan mengikutinya. Ini bukan alasan baper karena dikhianati Jokowi, tapi ini merupakan gerakan moral yang tidak lagi mendukung pengrusakan demokrasi yang dilakukan oleh Jokowi.
Persoalan moral dalam berpolitik itu bukan persoalan sederhana, tapi merupakan persoalan mendasar, terkait komitmen penghormatan pada norma agama, norma adab kepatutan dan tata krama berpolitik bagi bangsa besar ini. Ini yang sekarang sedang dicontohkan oleh seorang Mahfud MD.
Persoalannya maukah mereka meninggalkan jabatan yang empuk dan membawa banyak kenikmatan? Rakyat yang akan melihat dan menilai./*