JAKARTA, humaniora.id – Ketua MPR RI sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar serta Dosen Tetap Pascasarjana Universitas Borobudur dan Ketua Dewan Pembina Perkumpulan Alumni Doktor Ilmu Hukum Unpad (PADIH Unpad) Bambang Soesatyo berhasil menyelesaikan ujian kompetensi dasar profesi advokat yang diselenggarakan Kongres Advokat Indonesia (KAI). Diawasi langsung oleh Presiden KAI Tjoetjoe Sandjaja Hernanto, serta Sekretaris Dewan Etik KAI Prof. Faisal Santiago.
Mengingat Bamsoet masih memegang jabatan publik, maka pengangkatannya sebagai advokat menunggu hingga selesainya masa jabatan dirinya sebagai Ketua MPR RI pada Oktober 2024.
“Menjadi advokat merupakan cita-cita lain yang akhirnya bisa diwujudkan. Melalui peran sebagai advokat, saya bisa lebih masif mengajak kawan-kawan advokat terlibat dalam aktifitas pro bono dan juga legal aid (bantuan hukum). Sebagai implementasi amanah UU No.18/2003 tentang advokat yang mengamanahkan bahwa setiap advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma (pro bono) kepada pencari keadilan yang tidak mampu,” ujar Bamsoet usai menyelesaikan pendidikan khusus dan ujian profesi advokat, di kantor KAI, Jakarta, Kamis (12/10/23).
Ketua DPR RI ke-20 dan mantan Ketua Komisi III DPR RI bidang Hukum, HAM, dan Keamanan ini menjelaskan, selain melakukan aktifitas pro bono, advokat juga harus lebih banyak terlibat dalam bantuan hukum (legal aid) sebagaimana diatur dalam UU No.16/2011 tentang Bantuan Hukum, Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum serta Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pedoman Pemberian Layanan Hukum bagi Masyarakat Tidak Mampu di Pengadilan.
Melalui berbagai ketentuan hukum tersebut, negara berkewajiban menyiapkan advokat secara gratis untuk pencari keadilan, dengan biaya yang dibebankan kepada anggaran bantuan hukum, baik yang disediakan oleh APBN maupun APBD.
“Setelah kurang lebih 20 tahun keberadaan UU No.18/2003 tentang Advokat, hingga kini penerapan jasa pro bono yang dilakukan oleh advokat masih belum terlaksana dengan baik. Begitupun dengan penerapan legal aid, yang undang-undangnya sudah lahir sejak tahun 2011. Hal ini bukan semata karena kealpaan para advokatnya, melainkan memang karena tidak adanya aturan hukum yang tegas dan jelas yang bisa memandu para advokat dan pencari keadilan yang tidak mampu untuk mengakses pro bono dan ataupun legal aid,” jelas Bamsoet.
Wakil Ketua Umum FKPPI dan Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila serta Kepala Badan Penegakan Hukum, Pertahanan dan Keamanan KADIN Indonesia ini juga mengingatkan kepada para advokat bahwa kemajuan teknologi telah menghadirkan era disrupsi yang merasuk dalam bidang hukum.
Sebagai contoh, di Amerika Serikat, artificial intelligence yang disebut lawgeex diadu dengan kemampuan beberapa advokat berpengalaman. Hasilnya, ketika dihadapkan pada 30 masalah hukum yang sama, rata-rata para advokat mampu menganalisa dan mengevaluasi persoalan hukum tersebut dengan tingkat akurasi 85 persen dengan waktu rata-rata 92 menit. Sedangkan lawgeex memiliki tingkat akurasi yang jauh lebih baik mencapai 94 persen dengan waktu rata-rata yang jauh lebih cepat, 26 detik.
“Fenomena tersebut mengisyaratkan advokat harus mampu memiliki literasi teknologi, sehingga mampu beradaptasi dengan perkembangan dan dinamika zaman. Di sisi lain, advokat juga harus menumbuhkan daya kreasi dan inovasi. Sehingga dapat memanfaatkan kemajuan teknologi sebagai sarana pendukung kinerja, dan bukan dimaknai sebagai ancaman yang dapat memarginalkan, atau bahkan menggantikan peran advokat di masa depan,” pungkas Bamsoet. (*)