“Revisi tersebut urgen dilakukan karena RPJPN 2025 – 2045 segera disahkan menjadi Undang-Undang,” terang Managing Director Asa Dewantara Hamid Abidin, melalui siaran pers yang dikirim ke redaksi humaniora.id, di Jakarta, Kamis (19/10/2023).
Sementara para pihak, menurut Hamid, mengharapkan RPJPN 2025 – 2045, dapat menjadi rujukan dalam pengembangan visi, misi dan program presiden dan kepala daerah mendatang, serta jadi acuan dalam penyusunan RPJMN/RPJMD dan RKP (Rencana Kerja Pemerintah).
Rumusan sasaran atau target yang kurang tepat tersebut, kata Hamid lagi, dikhawatirkan berdampak pada tidak optimalnya pembangunan bidang pendidikan dalam 20 tahun mendatang.
Asa Dewantara, terang Hamid, adalah sebuah lembaga nirlaba independen yang concern pada peningkatan kualitas pendidikan yang bisa diakses oleh semua warga Indonesia, terutama kelompok underprivileged (marginal).
Tim peneliti Asa Dewantara melakukan telaah terhadap dokumen rancangan akhir RPJPN 2025-2045, khususnya sasaran/target pembangunan bidang pendidikan. Tinjauan difokuskan pada sasaran/target dari 4 indikator yang ditetapkan di bidang pendidikan.
Indikator tersebut, yakni Rata-rata Lama Sekolah (RLS) penduduk usia diatas 15 tahun, Harapan Lama Sekolah (HLS), Rata-rata nilai PISA (membaca, Matematika, Sains) dan Angka Partisipasi Kasar (APK) Pendidikan Tinggi.
Hamid Abidin menilai RPJPN 2025-2045 sebenarnya lebih lengkap, runtut dan detil dibandingkan dengan RPJPN-RPJPN sebelumnya. Perumusan visi, misi dan arah Pembangunan dalam RPJPN tidak terjebak pada jargon-jargon yang sulit untuk dievaluasi dan diukur capaiannya.
Kementerian PPN/Bappenas sebagai penyusun dokumen RPJPN mampu menjabarkan dan menurunkan visi Indonesia emas ke dalam misi, arah, dan indikator pembangunan masing-masing bidang dengan target/sasaran yang jelas dan terukur.
Sayangnya, menurut Hamid, sasaran/target bidang pendidikan yang ditetapkan dalam RPJPN 2025-2045 dinilai kurang tepat karena tidak singkron dan mendukung pencapaian misi atau agenda transformasi sosial yang menjadi rujukannya.
Hamid menyoroti sasaran/target Rata-rata Lama Sekolah (RLS) penduduk berusia diatas 15 tahun sebagai salah satu indikator untuk melihat kualitas pendidikan dalam indeks pembangunan manusia (HDI).
Dia menilai sasaran/target RLS dalam RPJPN 2025-2045, yakni 12 tahun atau rata-rata penduduk Indonesia di tahun ini sudah tamat SMA/sederajat, tidak singkron dengan misi yang akan dicapai, yakni “Mewujudkan transformasi sosial untuk membangun manusia yang sehat, cerdas, kreatif, sejahtera, unggul dan berdaya saing.”
Jika dibandingkan dengan negara-negara lain, Sasaran/Target tersebut tersebut sudah dicapai dan dilampaui pada tahun 2021 oleh negara-negara di asia Tenggara (Singapura: 11,9), serta negara-negara lainnya seperti Jerman (14,1), Swedia (13.9), Inggris (13.4), Amerika (13,5), Hongkong (13.4), Jepang (12,4), dan negara-negara lainnya.
Data di atas menunjukkan RLS yang mau kita capai di tahun 2045 sudah dicapai dilampaui banyak negara di tahun 2021. Artinya, meskipun sasaran/target untuk indikator RLS bisa dipenuhi, namun bisa dipastikan SDM kita tidak akan “unggul dan berdaya saing” dibanding negara-negara lain.
“Dengan kata lain misi pembangunan manusia unggul dan berdaya saing” yang dicanangkan dalam RPJPN 2025-2045 tidak mungkin tercapai,” katanya.
Nyimas Gandasari, Peneliti Asa Dewantara, juga menyoroti sasaran/target untuk indikator Harapan Lama Sekolah (HLS). HLS menunjukkan peluang anak usia 7 tahun ke atas untuk mengenyam pendidikan formal pada waktu tertentu.
Capaian HLS Indonesia pada tahun 2021 sebesar 13,7 tahun yang menunjukkan peluang anak Indonesia mengenyam pendidikan formal sampai dengan 13,7 tahun (setara semester 2 perguruan tinggi).
HLS juga menunjukkan upaya, rencana, langkah, dan strategi dalam pembangunan sistem pendidikan di berbagai jenjang pendidikan bagi penduduk di suatu negara. Mengacu pada dokumen RPJPN 2025-2045, sasaran/target HLS yang ingin dicapai Indonesia pada tahun 2045 adalah 14,8 tahun.
Target ini dinilai kurang tepat dan tidak singkron dengan misi yang akan dicapai. Karena, sararan/target HLS ini telah dicapai oleh Thailand, Brunei Darussalam, dan Singapura pada tahun 2021.
Sementara di level global, HLS yang ingin dicapai Indonesia pada tahun 2045 juga sudah dicapai dan dilampai oleh banyak negara lain pada tahun 2021.
“Dengan data perbandingan di atas, Indonesia mungkin bisa mewujudkan sasaran/target untuk indikator Harapan Lama Sekolah, tapi tidak bisa menjadikan SDM kita unggul dan kompetitif, sebagaimana yang dicita-citakan dalam pada RPJPN 2025-2045” ujar Nyimas Gandasari.
Nyimas Gandasari juga mencermati sasaran/target indikator PISA (Program for International Students Assesstment) dalam RPJMN 2025-2045. PISA adalah penilaian secara global yang dilakukan setiap 3 tahun sekali untuk menguji kinerja akademik anak sekolah yang berusia 15 tahun keatas dalam menggunakan pengetahuan dan keterampilan membaca, matematika dan sains untuk memenuhi tantangan kehidupan nyata. Skor PISA Indonesia saat ini (2018) adalah 371 untuk membaca, 379 untuk matematika, dan 396 untuk sains.
Skor Ini menempatkan Indonesia di rangking 75 dari 79 negara partisipan. Sementara sasaran/target skor PISA Indonesia yang ditetapkan dalam RPJPN 2025-2045 adalah 485 (membaca), 490 (matematika), dan 487 (sains). Sasaran/target ini juga dinilai tidak logis karena sudah dicapai dan dilampaui oleh negara-negara di Asean, yakni Singapura, Malaysia dan Tailand di tahun 2021.
Sementara negara-negara-negara di belahan dunia yang lain, seperti China, Inggris, Amerika Serikat, Jerman, Kanada, Jepang, Korea Selatan dan lainnya, juga sudah mencapai dan melampaui sasaran/target PISA itu di tahun 2021.
Dengan kata lain, sasaran/target PISA yang ingin dicapai Indonesia di tahun 2045 sudah dicapai dan dilampuai oleh banyak negara di tahun 2021. “Sehingga, bisa dipastikan sasaran/target yang ditetapkan tidak bisa mendukung pencapaian misi untuk menciptakan SDM Indonesia yang “unggul dan bersaing” dengan negara-negara lain dalam RPJPN 2025-2045.
Bahkan, untuk menjadi setara dengan nilai PISA negara-negara lain saja tidak dimungkinkan” katanya.
Nyimas juga menilai sasaran/target yang ditetapkan untuk indikator Angka Partisipasi Kasar Perguruan Tinggi (APK PT) kurang tepat dan tidak logis. APK PT menunjukkan jumlah penduduk yang masih mengenyam pendidikan tinggi tanpa memandang usia. Nilai APK Indonesia saat ini (2021) adalah 36,31, lebih lebih rendah dibandingkan beberapa negara lain di Asia Tenggara, seperti Thailand, Filipina, Malaysia dan Singapura.
Untuk meningkatkan APK ini, pemerintah menetapkan di RPJPN 2025-2045 sasaran/target APK kita adalah 60 di tahun 2045. Sasaran/target APK PT 2045 ini lebih kecil dibandingkan capaian APK PT Singapura tahun 2021. Sementara di level global, sasaran/target APK PT Indonesia Emas 2045 ini sudah dicapai dan dilampauai negara-negara lain, seperti Finlandia, Inggris, Amerika Serikat, Swedia, Jerman, Australia, dan lainnya pada tahun 2021.
Data ini mengindikasikan bahwa SDM kita tidak akan “unggul dan berdaya saing” seperti yang dicita-citakan dalam RPJPN 2025-2045, meski sasaran atau target APK PT tersebut terpenuhi.
Kembali menurut Hamid, data-data di atas menunjukkan bahwa berbagai sasaran/target bidang pendidikan yang ditetapkan dalam RPJPN 2025-2045 kurang tepat, tidak logis dan tidak singkron dengan misi yang ditetapkan, yakni “Mewujudkan transformasi sosial untuk membangun manusia yang sehat, cerdas, kreatif, Sejahtera, unggul dan berdaya saing”.
Tim penyusun RPJPN tampaknya tidak melihat dan membandingkan dengan capaian dan sasaran/target pendidikan di negara lain, sementara di dalam misi yang ingin dicapai bidang pendidikan kita termaktub kata “unggul dan berdaya saing” dengan negara-negara lain.
Target-target yang ditetapkan nampaknya mengacu annual growth atau rata-rata pertumbuhan setiap tahun. Misalnya, penetapan sasaran/target RLT (rata-rata lama sekolah) menjadi 12 tahun di tahun 2045 nampaknya menggunakan tren peningkatan selama 31 tahun sebelumnya (tahun 1990-2021) yang rata-rata peningkatan setiap tahunnya (annual growth) sebesar 0,17 tahun.
Berdasarkan annual growth ini, selama 20 tahun mendatang, sasaran rata-rata lama sekolah pada 2045 memang akan menjadi 12 tahun.
Asa Dewantara melihat sasaran pembangunan bidang pendidikan kurang ambisisius, bahkan terbukti jauh lebih rendah jika dibandingkan negara-negara lain. Sementara misi yang akan dicapai sangat ambisius dan ideal.
Sasaran ini mengindikasikan bahwa berbagai program yang akan dilakukan dalam pembangunan bidang pendidikan menganut prinsip “business as usual” atau berjalan seperti biasannya, tidak tergambar adanya terobosan dan akselerasi agar bisa sejajar dengan negara-negara lain.
Padahal, persoalan dan tantangan yang dihadapi sektor pendidikan sangat berat dan persisten. Berbagai sasaran/target pembangunan pendidikan belum menunjukkan upaya untuk berakselerasi mencapai berbagai capaian yang telah diraih oleh negara lain, bahkan mengunggulinya.
Asa Dewantara merekomendasikan agar target pembangunan bidang pendidikan tersebut ditinjau ulang dan direvisi sebelum RPJPN disahkan menjadi Undang-undang.
Jika target itu tetap dijadikan acuan, dikhawatirkan misi atau tujuan pembangunan bidang pendidikan yang ditetapkan dalam RPJPN 2025-2045 tidak tercapai.
Kalaupun sasaran itu terpenuhi, bisa dipastikan SDM kita tidak akan bisa unggul dan berdaya saing karena sasaran/targetnya tidak mengarah atau mendukung pada pencapaian misi tersebut.
Agar bisa setara dan unggul dari negara-negara lain, sasaran/target pembangunan bidang pendidikan itu harus diproyeksikan sama dengan sasaran/target yang akan dicapai oleh negara-negara yang bidang pendidikannya dinilai unggul dan berdaya saing.
Hal ini tentu berkonsekuensi harus dilakukannya kerja keras, teronosan dan akselerasi, pendekatan sistemik, serta meninggalkan pendekatan “business as usual” atau “cara-cara biasa” dalam pembangunan bidang pendidikan.
Terkait Asa Dewantara, adalah lembaga independen nirlaba yang didedikasikan untuk meningkatkan kualitas Pendidikan yang bisa diakses oleh semua warga Indonesia. Terutama kelompok underprivileged (marginal) melalui kajian/penelitian, advokasi kebijakan, peningkatan kapasitas pemangku kepentingan, serta pengembangan kemitraan lintas sektor untuk pemajuan sektor pendidikan./*