humaniora.,id – Meskipun masih dalam proses penyelidikan dan penyidikan, namun kematian SR, siswi kelas 6 Sekolah Dasar Negeri yang nekat mengakhiri hidupnya dengan melompat dari lantai 4 di sekolahnya di daerah Tangerang beberapa waktu lalu, telah mengarah kepada dugaan rasa kecewa almarhumah karena merasa sering dirundung atau dibully oleh teman-temannya. Tragis memang, tetapi memang begitulah kenyataan pahit yang harus kita terima.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti kata perundungan adalah proses, cara, perbuatan merundung yang dapat diartikan sebagai seseorang yang menggunakan kekuatan untuk menyakiti atau mengintimidasi orang-orang yang lebih lemah darinya. Biasanya dengan memaksanya untuk melakukan apa yang diinginkan oleh pelaku. Arti lainnya dari perundungan adalah arti dari kata dalam bahasa inggris yaitu bully.
Sejatinya sampai kapanpun, kegiatan perundungan atau bullying yang dilakukan oleh anak-anak usia sekolah di Indonesia tidak akan pernah habis, karena tidak adanya penanganan preventif yang mendasar yang dilakukan oleh seluruh elemen yang terkait, seperti pihak keluarga siswa, sekolah, guru-guru siswa tersebut, pengawas, komisi perlindungan anak (KPAI), dinas pendidikan daerah, bahkan sampai kementrian pendidikan dan kebudayaan (Kemendikbudristek). Semuanya baru bereaksi, jika kasus perundungan atau bullying tersebut sudah terjadi.
Bahkan jika sudah mendapati kasus bullying di sekolahnya, para kepala sekolah dan guru biasanya akan mundur teratur untuk menanganinya, karena biasanya kasus-kasus bullying akan berakhir di ranah hukum, yang akan berurusan dengan kepolisian, KPAI, dan unsur-unsur lainnya yang terkait. Urusan-urusan yang bersentuhan dengan hukum inilah yang sangat dihindari dan ditakuti oleh para kepala sekolah dan guru-guru tersebut. Korban sudah jatuh, urusan sudah sampai ke ranah hukum, barulah semua pihak saling tuding siapa yang salah.
Sekalipun mereka para stakeholder tersebut mengaku telah memiliki berbagai macam peraturan tentang pencegahan tindakan bullying baik di lingkungan sekolah maupun di luar lingkungan sekolah, namun semuanya itu hanyalah peraturan yang sifatnya di atas kertas, belum menjadi sebuah aturan yang dapat diaplikasikan secara maksimal di lapangan.
Bahkan Kemendikbudristek sendiri melihat kasus bullying sebagai tiga dosa besar yang ada di dalam dunia Pendidikan Indonesia yang harus segera diselesaikan. Tiga dosa besar tersebut adalah kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan pendidikan, kasus bullying, dan bentuk intoleransi.
Sesungguhnya pada tahun 2015 yang lalu, kemendikbudristek pernah mengeluarkan peraturan mendikbudristek No.82/2015 tentang pembentukan satuan tugas (satgas) kekerasan dan bullying di sekolah-sekolah. Unsur-unsur satgas tersebut terdiri dari siswa itu sendiri, orangtua siswa, guru, komite sekolah, dan anggota masyarakat sekitar sekolah. Namun kelanjutannya dapat ditebak seperti biasa, aturan tinggal aturan, pada prakteknya permendikbud ini tidak pernah dilaksanakan dalam dunia pendidikan Indonesia.
KPAI sendiri pada tahun 2022 telah mengeluarkan laporan yang mengerikan untuk didengar oleh kita semua, bahwa Indonesia adalah negara kelima di dunia sebagai negara yang paling banyak terjadi kasus bullying, terutama di sekolah dasar. Sungguh sebuah ‘prestasi’ yang mengerikan memang.
Sementara dari hasil riset yang dilakukan oleh Programe for International Student Assesment (PISA), kasus bullying ini pernah menimpa siswa-siswa sekolah tingkat dasar dan menengah di Indonesia sebanyak 41%. Artinya hampir separuh siswa atau pelajar di Indonesia pernah mengalami yang namanya perundungan atau bullying.
Yang pasti teori tentang arti perundungan atau bullying ini sangat banyak sekali. Bentuk-bentuk bullying seperti bullying fisik, bullying verbal, bullying relasional, bullying secara elektronik, dan berbagai macam bentuk bullying lainnya pun sudah tersaji sangat banyak informasinya di internet.
Apa yang menyebabkan bullying dan bagaimana solusinya pun sudah tersaji lengkap informasinya dalam buku-buku pendidikan dan di dunia maya.
Bahwa bullying disebabkan oleh faktor tontonan dan tuntunan, serta penggunaan teknologi yang salah, faktor kelemahan iman dan porsi pembinaan keagamaan yang sangat kurang dalam keluarga, dan faktor lemahnya pengawasan guru-guru di sekolah, serta faktor ketidakmampuan pemerintah (Kemendikbudristek dan KPAI) dalam mencegah tindakan bullying ini, sesungguhnya merupakan alasan klasik yang dijadikan pembenaran atas berkembangnya tindakan bullying, yang semakin marak terjadi saat ini.
Tentu saja orangtua siswa di rumah juga memegang peranan yang sangat besar terhadap pendidikan awal para siswa tersebut. Penanaman akhlak memang sejatinya dimulai dari dalam keluarga. Hanya saja masalahnya, ketika orangtua ingin merasa ‘tenang’ untuk melepas anaknya belajar di sekolah, namun yang terjadi adalah justru anak-anaknya yang menjadi korban dari tindakan bullying tersebut.
Untuk mereka para orangtua yang memiliki rezeki berlebih, mungkin mudah saja untuk menghindari tindakan bullying tersebut, dengan mendaftarkan anak-anaknya dalam proses pendidikan HomeSchooling, atau bersekolah di sekolah-sekolah swasta mahal dan bonafide, yang memang sangat perhatian terhadap siswa-siswanya.
Namun bagaimana dengan kebanyakan para orangtua siswa di Indonesia yang mayoritas berpenghasilan pas-pasan cenderung kurang, dan tetap harus mengandalkan sekolah-sekolah negeri, sebagai sekolah mayoritas yang menjadi tempat anak-anak mereka belajar dan merenda masa depannya?
Yang menjadi pertanyaan besarnya sekarang adalah, sampai dimana kemampuan para stakeholder pendidikan yang telah saya sebutkan di atas tadi dapat menangani masalah ini. Terutama sekali kepada pemerintah melalui kemendikbudristek, pengawas Pendidikan daerah, kepala sekolah dan guru-guru, serta KPAI dalam mencari solusinya.
Apakah program sekolah kuat anti perundungan, kurikulum pengembangan karakter, program guru penggerak, siswa penggerak (dengan model ‘roots’), dan satgas anti bullying bentukan kemendibudristek tersebut cukup untuk mencegah perilaku bullying di Indonesia?
Jika ya, silahkan diteruskan, tetapi jika tidak harus dicari solusi yang lebih cepat dan lebih tepat. Gaji anda-anda semua sebagai aparatur sipil negara kan sudah besar, apalagi dengan segala macam fasilitas yang nyaman yang sudah anda terima. Dan anda semua dibayar oleh rakyat yang semakin miskin ini untuk mencari solusi, bukan?
Kita dan juga anda semua tidak ingin jika anak-anak Indonesia korban bullying menjadi anak-anak yang terus murung dan depresi, bahkan sampai nekat untuk mati satu per satu, akibat perlakuan bullying yang mereka terima, bukan?
Wallahu’allam bisshowab
Jakarta, 5 Oktober 2023
H. J. FAISAL, *Pemerhati Pendidikan dan Sosial/ Sekolah Pascasarjana UIKA Bogor/ Anggota PJMI