humaniora.id – Kematian adalah pengingat bagi kita. Bagaimanapun hidup adalah persiapan – di sebuah waktu yang akan mempertemukan kita dengan Sang Maha Pencipta.
Mungkin pada waktu ini kita masih dapat berdiri di sini. Atau mungkin saja esok raga kita akan terbujur kaku – seperti para syuhada yang kini dalam pembaringan di Petilasan Tarikolot, di Kelurahan Jatisampurna Kota Bekasi, tempat saya berdiri sekarang.
Sahabat budaya, Kamis, 28 September 2023 hingga menjelang tengah malam (purnama), seratusan orang berkumpul di Petilasan Tarikolot.
Mereka memanjatkan doa bagi leluhur. Bertawasul; berwasilah mendekatkan diri kepada Allah, serta sekalian memperingati Hari Maulid Nabi Besar Muhammad SAW.
Ada tiga tokoh berpengaruh di makamkan di petilasan ini. Baik berpengaruh dalam hal kehidupan sosial budaya, maupun dalam penyebaran agama Islam.
Ketiganya adalah; Mbah Priadi Jaya Sampurna, Mbah Raden Mas Wajah, atau Mbah Sempak Wajah Penatagama, atau nama aslinya Syeh Nur Alif, dan Aki Sajian.
Mbah Priadi Jaya Sampurna, dan Mbah Raden Mas Wajah, keduanya adalah Awliya; Walijah asal Cirebon yang ikut menyebarkan ajaran Islam di Nusantara.
Syiar Islam Mbah Priadi Jaya Sampurna, dan Mbah Raden Mas Wajah di wilayah ini diperkirakan sekitar 450 tahun lalu. Pada masa awal perkembangan Islam di Cirebon yang disyiarkan Maulana Idhofi Mahdi atau yang dikenal Syekh Nurjati.
Syekh Nurjati merupakan guru dari Syekh Siti Jenar, dan Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Banyak tokoh masyhur belajar kepadanya. Sehingga kemudian Syekh Nurjati kerap disebut guru para wali.
Sementara Aki Sajian merupakan penduduk asli di kawasan yang kini disebut Kampung Kranggan, Jatikarya, Jatisampurna. Beliau merupakan dermawan, dan pemuka masyarakat yang dulu telah mewakafkan tanahnya menjadi petilisan ini.
Tawasulan dan Mauludan yang digelar tepat di depan cungkup makam Aki Sajian merupakan bukti cinta kasih keturunannya, menjaga marwah dan amanah Aki Sajian. Mereka berkirim doa untuk para leluhur sanak berdasarkan nasab yang secara turun-temurun dijaga oleh keturunan Aki Sajian.
“Kami hanya menjaga amanah orangtua dan keluarga keturunan Aki Sajian dalam bentuk wakaf tanah sekitar 4,5 hektar ini,” terang Aming, Juru Kunci Makam Aki Sajian yang merupakan generasi ke-6 dari tokoh masyarakat berpengaruh di Jatisampurna ini.
Beberapa tempat yang pernah menjadi lintasan dakwah Mbah Priadi Jaya Sampurna dan Mbah Raden Mas Wajah, menurut Uyung, dikenal dengan sebutan ‘Jati.’
Uyung, adalah generasi ke-6 dari leluhur Aki Sajian yang juga juru kunci Petilasan Tarikolot, di Kelurahan Jatisampurna Kota Bekasi ini.
Beberapa tempat yang dikenal hingga kini dengan sebutan ‘Jati’ seperti Jatibening, Jatibening Baru, Jaticempaka, Jatimakmur, dan Jatiwaringin di Kecamatan Pondok Gede.
Selanjutnya Jatimelati, Jatimurni, Jatirahayu, dan Jatiwarna, di Kecamatan Pondok Melati. Kemudian Jatiasih, Jatikramat, Jatiluhur, Jatimekar, Jatirasa, dan Jatisari, di Kecamatan Jatiasih.
Terakhir Jatikarya, Jatiraden, Jatirangga, Jatiranggon, dan Jatisampurna, di Kecamatan Jatisampurna.
Menurut Uyung, Mbah Priadi Jaya Sampurna, dan Mbah Raden Mas Wajah telah menjalankan risalah dakwah Islam di wilayah yang diberi sebutan nama ‘Jati’ ini.
Melekatkan sebutan ‘Jati’ menjadi semacam strategi dakwah kedua Awliya ini untuk menengarai sejumlah tempat sebagai basis dakwahnya berkaitan dengan asal kedua ulama ini sama-sama dari Gunung “Jati” Cirebon.
Maka daerah “Jati” Sampurna ini merupakan finalisasi tugas dakwahnya yang dinilai paripurna; sempurna; ngudi kasampurnan jiwa dan raga. Sebuah jalan hidup yang berpijak pada cinta kasih dan kebijaksanaan.
Di wilayah Jatisampurna inilah tempat Mbah Priadi Jaya Sampurna, Mbah Raden Mas Wajah, dan Aki Sajian dimakamkan yang dikenal sebagai pemakaman Tarikolot.
*
Sahabat budaya, inilah nilai-nilai “Sangkan Paraning Dumadi.” Kaweruh (pengetahuan) dari para Awliya, nenek moyang kita. Mengajarkan tentang perlunya menyadari asal-usul (wujud). Ke mana menuju, dan ke mana kemudian menjadi; menyadari bahwa kita juga akan kembali menghadap Sang Maha Pencipta.
Maka sebagai kawula (hamba) terhadap Gustinya (Sang Maha Pencipta), kewajiban kita adalah mencapai harmoni; selaras dan seimbang, dengan apa yang ada di sekeliling kita. Antara alam nyata, masyarakat, dan alam adikodrati.
*
Sahabat budaya, ini adalah ekspedisi anthropology dalam rangka menemukan jejak budaya melalui berbagai peninggalan sejarah baik bersifat material, maupun non-material (metafisika).
Demikian perjalanan saya yang juga didampingi dua pengurus Yayasan Humaniora Rumah Kemanusiaan, Ari Susandi (Ketua Dewan Pengawas), dan Indri Retno Putranti (Fasilitator Bidang Pendidikan).
Teruslah membuat sejarah agar kita tidak dilupakan sejarah. Cintailah budayamu, dan hargai budaya orang lain. Salam humaniora!