humaniora.id – Untuk saat ini Sistem Informasi Rakapitulasi (Sirekap) banyak diperbincangkan masyarakat, terkait keberadaan servernya. Penempatan server sirekap-web.kpu.go.id milik Komisi Pemilihan Umum (KPU) ternyata berada di luar negeri. Hal ini penulis kutip dari majalah Tempo edisi 19/2/2024 menurut Arif dari penelusuran Cyberity, “server KPU ternyata berada di luar negeri.”
“Sistem pemilu2024.kpu.go.id dan sirekap-web.kpu.go.id menggunakan layanan cloud yang lokasi servernya berada di RRC, Perancis dan Singapura,” kata Arif.
Dugaan server sirekap milik KPU berada di luar negeri juga disampaikan oleh pakar komunikasi informasi dan politik Prof Henri Subiakto guru besar Unair Surabaya saat podcast bersama Rudi S Kamri di YouTube Kanal Anak Bangsa, Selasa (20/2/2024). Dalam tajuk “mengapa data server sirekap KPU ada di luar negeri.”
“Siapa yang bertanggung jawab terhadap data warga negara Indonesia yang berada di luar negeri,” tanya Rudi S Kamri sebagai host.
“Presiden Jokowi selalu bilang, data itu kedaulatan kita, kalau data berada di luar negeri berarti orang asing bisa mengakses data warga negara Indonesia,” papar Prof Henri Subiakto.
“Kalau data pemilu ada di luar negeri, harus dipertanyakan ke KPU, juga Presiden bertanggung jawab karena selain sebagai kepala pemerintahan, presiden juga bertanggung jawab atas terselenggaranya pemilu.”
Rudi mendesak apakah ini disengaja sebagai bentuk kecurangan secara TSM atau kebodohan. Yang dimaksud kecurangan secara TSM adalah istilah pelanggan “terstruktur, sistematis, dan masif.” Kecurangan pemilu TSM dikhawatirkan dapat mencederai demokrasi dan menghasilkan pemimpin yang tidak dipilih secara sah. Kalau kebodohan mengapa dilakukan secara berjamaah dan kolektif. Ini memperkosa akal sehat kita sebagai warga negara.
Pasca pemilu 14 Februari 2024, terdapat perbedaan penjumlahan suara melalui formulir C1 dengan data tabulasi pada sistem sirekap-web.kpu.go.id dan pemilu.2024.kpu.go.id.
“Sirekap mau tidak mau dalam sistem pemilu kita itu sangat penting, walau bukan data resmi, karena data resmi ya rekap manual dari KPU atau data hasil real count. Data manual dari TPS diupload untuk memberikan layanan secara cepat kepada masyarakat, artinya kalau data dari sirekap salah, data yang diberikan kepada masyarakat juga salah, padahal masyarakat punya hak untuk memperoleh informasi tentang hasil pemilu,” jelas Prof Henri.
Jangankan sirekap yang datanya berasal dari real count, baru quick count saja angka sementara yang belum final sudah ditanggapi dengan suka cita hingga sukuran oleh pihak 02. Apalagi sirekap jelas sangat berpengaruh terhadap opini dan sikap masyarakat luas.
“Kalau sudah menggunakan teknologi informasi digital harus mengikuti regulasi yang ada, salah satunya Undang-Undang ITE, nomor 14 tahun 2008 tentang keterbukaan informasi publik. KPU harus jamin bahwa sistemnya itu andal dan aman bisa berfungsi sebagaimana mestinya. Bagaimana bisa aman kalau datanya ada di luar negeri, bagaimana bisa aman kalau aparat hukum tidak bisa mengakses. Kalau ada hacker, yaitu melakukan peretasan untuk mencuri data, merusak jaringan dan merugikan sistem, siapa yang akan tanggung jawab.
Kalau ada yang mau merubah data itu tugas dari penegak hukum. Server sebaiknya di Indonesia agar para penegak hukum bisa memantau dan apabila ada hacker bisa dicari pelakunya. Bagaimana bisa memantau kecurangan kalau datanya ada di luar negeri. Untuk itu data-data yang berhubungan dengan masa depan negaranya sebisa mungkin diakses di dalam negeri.
“Jadi server yang berhubungan data pemilu ya seharusnya berada di dalam negeri,” jelas Prof Henri Subiakto.
Hal ini sudah diatur dalam PP 71 Tahun 2019 pasal 20 ayat 2 yang berbunyi:
“Penyelenggara sistem elektronik lingkup publik wajib melakukan pengelolaan, pemrosesan, dan atau penyimpanan sistem elektronik dan data elektronik di wilayah Indonesia.
Kalau pengelolaan data pemilu 2024 berada di luar negeri ini perlu diselidiki apa alasannya dan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi harus mendesak kepada pemerintah agar memberikan penjelasan yang sebenarnya terjadi. Jangan sampai diera digital ini masyarakat terus dibodohi dengan sistem data yang tidak sesuai. Masyarakat jangan terus dianggap bodoh dan tidak mampu mengakses data. Seakan-akan masyarakat Indonesia dianggap primitif yang akan terus diam kalau penyelenggara pemilu dalam hal ini KPU melakukan kecurangan.
Masyarakat berharap pemilu 2024 dilakukan secara jujur dan mencerminkan pesta demokrasi rakyat yang sesungguhnya.
Nurul Azizah penulis buku Muslimat NU Militan Untuk NKRI.