JAKARTA, humaniora.id – Pembangunan dalam sebuah negara merupakan keharusan, bangsa yang tidak melakukan proses pembangunan akan menjadi bangsa yang jumud dan terbelakang. Pembangunan mesti dilaksankan secara utuh, membangun manusia dan infrastruktur. Berhasil atau tidak pembangunan sangat ditentukan oleh konsep yang menjadi dasar pembangunan nasional. Konsep tersebut bertindak sebagai kompas yang mengarahkan bandul pembangunan, oleh sebab itu perumusan arah pembangunan nasional perlu dilakukan secara cermat agar Indonesia tidak menjadi negara auto pilot.
Bangsa Indonesia memerlukan sebuah arah pembangunan nasional yang tepat. Arah pembangunan nasional yang dapat menjadi pijakan bagi proses pencapaian kesejajaran dengan bangsa-bangsa lain. Semenjak merdeka, Indonesia memilih mengelola pembangunan dengan proses yang terencana dengan berbagai model, di antaranya; Plan Produksi Tiga Tahun Republik Indonesia (1947-1950), Rencana Produksi Tiga tahun (1948-1950), Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT) (1956-1961), Garis-garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana (1961-1969), Repelita I-VII dalam Garis-garis Besar Haluan Negara atau GBHN (1971-1998), dan Rencana Strategis Nasional dalam bentuk Rencana Pembangunan Jangka Panjang, Menengah Nasional (RPJP, RPJM Nasional) pada era reformasi (1999-sekarang).
Perkembangan global dengan gelombang industri barunya yang telah mencapai tahapan keempat bahkan kelima. Perkembangan tersebut membawa diskursus standar kemajuan baru yang turut memberi pengaruh terhadap cara menggerakkan pembangunan nasional. Banyak nilai intrinsik budaya asli Nusantara yang tidak lagi dipandang penting untuk menjadi elan vital dalam proses pembangunan. Citra manusia dan masyarakat Indonesia yang hendak dibentuk dalam proses pembangunan ini tidak terdefinisi secara tepat dan dapat dengan mudah dimplementasikan di Indonesia. Konsep arah pembangunan seyogyanya dapat mengantar manusia Indonesia yang lahir dan tumbuh di setiap era nantinya akan dapat menghayati Indonesia sebagaimana Indonesia yang diamanatkan oleh konstitusi dan alam pikiran para pendiri bangsa ini.
Pada era kepemimpinan Presiden Soekarno (Orde Lama), imaji kemandirian yang amat heroik, disimpulkan dalam konsep Berdiri di Atas Kaki Sendiri (Berdikari) mengharuskan program pembangunan secara fundamental terlebih dahulu diarahkan pada penciptaan human investment untuk mencapai tingginya kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Pemerintah percaya bahwa SDM yang unggul adalah warga negara terdidik yang memahami ideologi revolusioner Indonesia serta memiliki kompetensi tinggi sehingga memungkinkan mengelola Sumber Daya Alam (SDA) yang dikandung oleh bumi Indonesia.
Rencana pembangunan yang diberlakukan di era Demokrasi Terpimpin dibangun di atas landasan visi ideologis yang amat kuat. Tri Sakti, yakni bangsa yang berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan, dikumandangkan sebagai jargon penting. Garis-garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana (1961-1969) mengandung ambisi besar untuk menguatkan semangat antineokoloniaisme dan imperialisme (antinekolim) sebagai sebuah kampanye internasional yang dipandang akan menjadi fondasi terkuat, nyatanya sangat sulit dijalankan akibat tingginya reaksi Barat. Impian Berdikari tersandung dalam instabilitas politik.
Mungkin itulah sebabnya, era kepemimpinan Presiden Soeharto memilih rumusan rencana pembangunan yang lebih ramah bahkan akrab dengan Barat yang kapitalistik dan meninggalkan jargon perlawanan terhadap nekolim. Trilogi pembangunan yang bertumpu pada stabilitas politik untuk pertumbuhan ekonomi dalam rangka melakukan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya ditampilkan sebagai pengisi etalase penahapan pembangunan yang dikenal dengan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita).
Pada era kepemimpinan Presiden Soeharto itulah, diperkenalkan konsep manusia Indonesia seutuhnya. Pembangunan manusia ideologis, antinekolim, dan memegang teguh konsep Tri Sakti di era Orde Lama diganti menjadi konsep yang lebih bertumpu pada stabilitas politik. Konsep pembanguna manusia di era ini menegaskan pentingnya kualitas manusia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berilmu pengetahuan yang tinggi, terampil, dan cinta tanah air. Sosok manusia inilah yang dikenal dengan manusia Pancasila. Namun, selama tiga puluh dua tahun kepemimpinan Soeharto, program pembangunan tersebut gagal menghasilkan negara yang unggul di tengah bangsa-bangsa lain, bahkan negara ini di akhir era kepemimpinannya terjerembab ke dalam ketergantungan yang nyaris sempurna. Garis-garis Besar haluan Negara (GBHN) bahkan pernah dituding sebagai sebuah rencana pembangunan yang hanya mengabdi pada kepentingan segelintir pihak yang berada di lingkaran terdekat dengan Presiden Soeharto yang sangat powerful itu.
Upaya kebangkitan baru dan recovery ekonomi bangsa dalam proses transisi demokrasi di era reformasi juga mengalami kelambatan. GBHN dihapuskan. Penahapan pembangunan mulai diserahkan kepada visi presiden terpilih dalam proses demokrasi yang liberal. Sangat terlihat kurang siapnya infrastruktur ideologis kebangsaan untuk berdiri sejajar dengan bangsa lain. Rumusan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) belum secara tegas memperlihatkan sebuah visi besar mengenai kedaulatan politik dan ekonomi yang berdikari, serta keunggulan budaya dalam nilai-nilai luhur dalam kepribadian bangsa, sebagai kelanjutan visi besar bangsa pada masa lalu.
Fakta-fakta tersebut memperlihatkan bahwa sejak Indonesia merdeka belum ada konsepsi keindonesiaan yang dihayati dan benar-benar kuat memengaruhi cara berindonesia secara tepat. Tampaknya konsep perencanaan pembangunan secara paradigmatik perlu dirumuskan kembali. Ketika tiap-tiap periode pemerintahan di era reformasi merumuskan pola pembangunan berdasarkan visi presiden terpilih, sangat terasa pembangunan tidak memiliki arah yang tegas. Kecurigaan antar kekuatan politik membesar dan menjadikan munculnya distrust dalam berbagai program yang dicanangkan pemerintah. Semua itu disebabkan tahapan pembangunan tidak cukup menuntun segala proses yang berlangsung pada tiap-tiap sektor.
Konsep tahapan pembangunan nasional, dengan demikian, perlu diperjelas dengan prinsip-prinsip tujuan bernegara, arah, tahapan, hingga rencana sektoral dan kewilayahan. Kenyataan yang paling realistis untuk disikapi adalah bahwa negara ini sedang berkembang atau sedang berproses. Manusia yang harus dihasilkan adalah sosok warga negara yang rasional dan memercayai ilmu pengetahuan sebagai metode berkehidupan namun tidak meninggalkan akar moral luhur bangsa, menghargai budaya yang melindungi kearifan lokal, dan kesanggupan berkolaborasi dengan berbagai kekuatan sosial. Masyarakat yang harus diciptakan adalah masyarakat tangguh dalam keyakinan ideologi Pancasila melalui sistem pengelolaan kesejahteraan publik yang merata, dan kepribadian bangsa yang, sekali lagi, menghargai dan mengembangkan nilai-nilai luhur Nusantara dengan sungguh-sungguh.
Basis penting yang menjadi spirit dalam nilai-nilai luhur tersebut adalah penghargaan, kebersamaan, perlindungan, dan keberdayaan untuk mengembangkan diri dan bangsa. Beberapa nilai luhur tersebut di antaranya; Pertama, kesadaran akan keberagaman baik dalam ekspresi berkeyakinan maupun budaya dan etnik. Kedua, kemampuan menjalin interaksi yang guyub dalam perbedaan, membangun kebersamaan dengan semangat gotong royong dan persatuan. Ketiga, kesanggupan melindungi berbagai produk kebudayaan dengan penghargaan atas budaya lokal sebagai khazanah budaya nasional, serta memberi pengaruh positif dalam pergaulan antarbangsa. Keempat kemampuan menggali, membangkitkan, dan melindungi lingkungan hidup dan khazanah budaya maritim. Kelima, kebanggaan akan kehormatan dalam berperilaku dan bertutur secara santun dengan membudayakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pergaulan dunia masa depan.
Nilai-nilai luhur tersebut selanjutnya akan diorientasikan menjadi sepuluh fokus pembangunan manusia dan kebudayaan bangsa dalam visi pembangunan bangsa. Prinsip penting dalam pembangunan nasional masa depan adalah upaya menciptakan fondasi budaya yang rasional untuk menjadi bangsa yang maju dan bedaya saing dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Masyarakat yang tumbuh dalam proses pembangunan bangsa masa depan adalah masyarakat rasional yang telah melangkah lebih maju meninggalkan spekulasi-spekulasi, praduga, hingga takhayul, sehingga masyarakat dapat tumbuh secara sehat untuk membangun politik berdaulat, ekonomi berdikari, dan penghayatan yang sadar terhadap religiusitas serta budaya yang bermartabat tinggi.
Arah dan proses pembangunan tersebut digerakkan sebagai kesadaran bersama seluruh tingkatan sosial dengan kelembagaan negara yang kuat untuk satu raihan penting; bangsa yang maju, berdaya saing dan sejajar dengan bangsa lain. Indonesia masa depan adalah Indonesia yang tumbuh dalam kekayaan budayanya sendiri serta berada dalam pergaulan dunia yang setara, tidak terdominasi atau terhegemoni, dan mampu memberikan pengaruh positif dalam proses pembangunan dunia yang damai.
Harapan tersebut akan diwujudkan dalam suatu rencana pembangunan berjangka berupa kerangka pembangunan nasional berjangka yang meliputi; ideologi, arah, tahapan, dan program implementasi sektoral serta perimbangan pembangunan, dan perangkat pembangunan nasional. Kerangka tersebut dinamakan Desain Strategis Pembangunan Nasional Indonesia (Destrabangnas), Khittah Indonesia Unggul, atau sebutan lainnya.
Destrabangnas atau Khittah Indonesia Unggul mencakup pembangunan; Pertama, Pembangunan Ideologi Pancasila. Manusia Pancasila adalah pembentuk bangsa berideologi unggul di tengah ideologi dunia. Keunggulan ideologi masa depan akan menjadikan Indonesia tampil menjadi penyeimbang dan dalam batas tertentu menjadi pemandu peradaban dunia berdasarkan nilai-nilai universal kemanusiaan. Kedua, Arah Pembangunan Nasional menuju keunggulan dan kesejajaran kemajuan bangsa-bangsa dunia yang unggul dalam budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pembangunan dilaksanakan berjangka dan bertahap yang terukur, dan berkesinambungan. Ketiga, Tahapan Pembangunan Berjangka; panjang, menengah, dan pendek. Pembangunan jangka panjang dilaksanakan selama tiga puluh tahun, terdiri atas dua tahapan pembangunan jangka menengah, lima belas tahun. Masing-masing tahapan pembangungan jangka menengah terdiri atas tahapan pembangunan jangka pendek lima tahunan. Keempat, Implementasi sektoral dan perimbangan pembangunan berisi titik tekan keunggulan berbagai sektor, dan rencana pembangunan kewilayahan yang menganut sistem perimbangan pembangunan yang adil. Kelima, Pembangunan birokrasi yang kuat sebagai perangkat utama pembangunan yang berdiri di atas visi kebangsaan Indonesia, dan tidak terkooptasi kepentingan satu kekuatan politik tertentu.
Ikhtiar merumuskan arah baru pembangunan nasional merupakan bentuk kesadaran untuk melahirkan tata kelola berbangsa dan bernegara yang jauh lebih baik, juga sebagai evaluasi atas proses pembangunan yang masih mengandung kelemahan. Usaha sungguh-sungguh ini sepatutnya mendapat respon dari berbagai pihak, baik pro maupun kontra, agar konsep ini semakin mendapat pengayaan sehingga kematangannya semakin teruji.