humaniora.id – Menonton film perkara gampang. Apalagi film televisi (sinetron). Penonton tinggal pencet remot control, pilih channel dan gratis.
Namun membuat film ternyata tak segampang menontonnya. Untuk membangun satu adegan (scene) saja diperlukan waktu berjam-jam. Terlebih jika adegannya memerlukan detil gambar yang perfect.
Belum lagi jika berhadapan dengan kendala teknis. Seperti gangguan peralatan, menyangkut audio, video atau soal tata pencahayaan. Bisa juga terganggu oleh faktor alam, seperti hujan atau crowded oleh berbagai macam suara yang timbul di sekitar lokasi shooting.
Bahkan sampai ke hal paling sublim; dari kostum continuity yang tertinggal, hingga pernik-pernik aksesoris dan property yang tak lengkap. Pendeknya ribet.
Untuk membuat film berdurasi pendek saja bisa diperlukan waktu berhari-hari. Itupun jika shooting berjalan normal dan lancar. Dengan jam kerja yang tak teratur. Artinya shooting dimulai dari pagi dan bisa break (berakhir) menjelang dini hari esoknya.
Hal ini belum termasuk waktu yang dipergunakan untuk persiapan (pra produksi); dari mulai menggagas cerita, menulis skenario, mendisain produksi, hingga rekrutmen kru dan artis.
Upaya terakhir dari seluruh tahapan produksi, adalah pasca produksi; editing, isi suara (jika diperlukan) dan mengisi musik.
Disinilah pentingnya rancangan produksi. Perlu pengorganisasian (badan yang mengatur) dalam pembuatan film atau sinetron, baik artistik dan non-artistik (administrasi).
Kedua bidang ini berfungsi mengelola (manajemen) produksi agar tercipta sebuah karya film sesuai rancangan produksi dan dikerjakan tepat waktu.
Siapakah perancang produksi film tersebut? Mereka adalah pekerja film yang menggerakkan produksi berdasarkan fungsi, tugas, tanggung jawab dan kewenangannya yang kerap disebut crew.
Para pekerja film (crew) tersebut diantaranya tergabung dalam satu wadah Persatuan KFT (Karyawan Film Televisi) Indonesia, yang tengah menggelar Kongres Ke-XV di Gedung Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail (PPHUI), Kuningan Jakarta, Senin dan Kamis, 2 – 5 Desember 2024.
Kongres Ke-XV KFT tersebut diawali dengan kegiatan diskusi bertema “Kita Sehati Seprofesi: Menguatkan Kolaborasi dan Advokasi untuk Kesejahteraan Pekerja Film”.
Menampilkan tiga narasumber; Sonu Samtani (sutradara dan produser), Zee Zee Shahab (aktris), dan Rully Sofyan (sineas dan pengacara), dengan moderator Ahmad Fikri (sineas).
Selain para peserta kongres, diskusi tersebut juga dihadiri para sineas senior antara lain; Maruli Ara (sutradara), Karsono Hadi (sutradara), Embie C. Noer (penata musik), Adisurya Abdi (produser dan sutradara), Arturo GP (sutradara) dan para pembuat film lainnya.
Rumitnya Produksi Film Televisi
Sonu Samtani dalam pemaparannya menyampaikan, tentang rumitnya industri film televisi saat ini dengan berbagai format penayanganya. Dari mulai program tayangan FTV (Film Televisi), tayang weekly (mingguan), hingga pola format stripping alias kejar tayang yang sangat menguras waktu, tenaga dan pikiran.
“Stripping alias kejar tayang. Tidak ada pengendapan. Produser keluar duit. Pengeluaran duit tiap hari tapi dibayarnya lama sama TV. Problem yang sulit dipecahkan. Akibatnya juga berdampak terhadap pembayaran honor artis dan crew. Lingkaran setan,” ujar Sonu Samtani, sutradara yang juga produser pemilik rumah produksi PT Mega Kreasi Films (MKF) ini.
Film tumbuh dengan paradigma baru; revolusi interaktif multimedia. Film pun tidak hanya ditempatkan di ruang khusus (bioskop dan televisi). Tetapi menjadi bagian dari gaya hidup, di mal-mal, di kafe-kafe dan di ruang terbuka. Masuk di ruang publik dengan gaya hidup yang sama sekali baru.
Namun sayangnya kemajuan tersebut tidak memiliki efek (ekuivalen) dengan nasib para pekerja film. Problem yang dihadapi perfilman Indonesia sama saja sejak dulu. Keadaan naik turun dengan hebat, kesulitan susul menyusul.
Penghasilan pekerja film bahkan dinilai setara dengan pendapatan buruh pabrik kecap. Sangkaan; postulat ini tercetus sejak era tokoh perfilman Nasional Usmar Ismail dan Djamaludin Malik (tahun 1942) hingga kini belum banyak bergeser. Seakan menjadi representasi faktual – bahwa tak sedikit nasib para aktor, aktris, dan pekerja film hingga saat ini memprihatinkan.
Menanggapi masalah ini, sineas senior Embie C. Noer mengatakan, bahwa nilai upah dan system pembayaran untuk produksi film masih lebih baik ketimbang pekerja (crew) di televisi.
Menurutnya, televisi itu ibarat etalase super market yang memamerkan ragam produk (marketing tool). Sejalan dengan kebudayaan dunia dan ruang-ruang fiksi kita, yang telah dibangun menjadi sebuah gudang material untuk menyimpan harta benda.
Pendek kata, ruang publik kita memperlihatkan kecenderungannya yang bersifat rongseng, cengeng, pragmatis, rekreatif dan lebih menonjolkan bentuk keindahan luar.
Film Bagian Dari Kegembiraan
Menurut Zee Zee Shahab, membuat film bukan lagi menjadi upacara besar dan tak selalu dengan dukungan modal besar. Film bisa dikelola oleh kelompok-kelompok kecil (independent film makers) yang lebih demokratis.
Film kemudian menjadi semacam renjana bagi para penggiatnya, antusiasme; passion. Bagian dari kegembiraan; hobi, sekaligus menjadi bagian dari pasar kecil yang berhubungan satu sama lain.
“Di satu sisi kita bekerja cari uang, di sisi lain kita seniman. Jadi kadang-kadang dalam kondisi tertentu uang bukan motif. Lagi sakit sampai diinfus kadang enggak mungkin shooting, tapi begitu ada callingan tetap aja berangkat shooting. Balik lagi passion karena mencintai pekerjaan. Keburu in-love,” ujar aktris film dan sinetron yang juga penyanyi ini.
Tetapi Zee Zee Shahab sependapat, bahwa film secara industri tak sepenuhnya terbebas dari kepentingan kapital. Sehingga seringkali hak-hak atas kebebasan berekspresi dan hak-hak ekonomis dapat tenggelam di bawah kekuatan dan pengaruh komersil.
Karsono Hadi (sutradara) menyampaikan tidak setuju jika dikatakan produksi film Indonesia dalam lingkaran setan. Menurutnya lebih tepat jika dikatakan terperangkap dalam lingkaran kepentingan.
Industri film, kata dia, menghadapi tantangan baru yang membutuhkan respons cepat, efektif dan inovatif.
“Tapi perkembangan industri film bisa terhambat karena adanya lingkaran kepentingan yang dampaknya dapat dirasakan oleh para pekerja film,” ujar sutradara juga editor yang banyak menerima penghargaan ini.
Pentingnya Organisasi Profesi
Pekerja film adalah elemen penting dalam penentuan capaian kualitas dan pengembangan perfilman. Kesadaran tersebut harus terus ditumbuh kembangkan dengan serius dan sistematis.
Peserta Kongres Ke-XV KFT menekankan pentingnya organisasi profesi sebagai kekuatan penyeimbang. KFT dapat meningkatkan perannya dalam pemberian saran secara aktif dalam penyusunan kebijakan pemerintah yang berkeadilan.
KFT sempat mengalami masa keemasan, di mana organisasi ini berhak merekomendasikan anggota kepada pihak perusahaan film. Hal ini dikuatkan dengan peraturan dari Departeman Penerangan, bahwa produksi film tidak akan berjalan jika tidak ada rekomendasi dari KFT.
Tahun 1975 hingga tahun 1987 ada Peraturan SK 71, di mana para importir film wajib memproduksi film nasional. Dengan komitmen para pekerjanya atau kru produksinya dari anggota KFT.
KFT didirikan di Jakarta, tanggal 22 Maret 1964. Pengurus KFT untuk yang pertama kali, Ketua Umum terpilih adalah Sumardjono (Tahun 1964-1978). Sekretaris dan Bendahara (R. Sutrisno), Ketua Departemen Film (MD Alif) dan Ketua Departemen Televisi (H.M.E Zainudin).
Selanjutnya yang menjabat sebagai Ketua Umum adalah Misbach Yusa Biran (1978 s/d 1984 – 1987 s/d 1991), Fritz G. Schadt (1984 s/d 1987), Sophan Sophian (1991 s/d 1995) Slamet Rahardjo (1995 s/d 2003), Enison Sinaro (2003 s/d 2007) dan Adityawarman (2007).
Setelah itu Ketua Umum KFT dijabat oleh Berty Lidya (2009-2014), Febryan Adithya, S.E., M.Sn (2015-2019), dan Gunawan Paggaru (2019 – hingga sekarang).
Di penghujung acara Kongres Ke-XV KFT peserta akan menentukan Ketua Umum yang baru melalui pemilihan Ketua Umum KFT, yang dilaksanakan di Gedung Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail (PPHUI), Kuningan Jakarta, Kamis, 5 Desember 2024.
Hal ini sesuai amanat Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD dan ART), bahwa kepengurusan dapat dipilih kembali melalui kongres, setelah masa kepengurusan KFT Periode 2019 – 2024 telah berakhir.
Panitia Penyelenggara Kongres Ke-XV KFT 2024 telah menetapkan dua kandidat calon Ketua Umum KFT (Karyawan Film Televisi Indonesia) Masa Bakti 2024 – 2028, yaitu Budi Sumarno, CFDoc, CFMIP, nomor KTA : 2683/B/14/XIV/2024 dan Indrayanto Kurniawan, M.Sn., CFD, nomor KTA : 2658/B/13/XIV/2024.
Di tangan Ketua Umum yang baru diharapkan KFT dapat tumbuh kembang secara produktif, profesional, dan mandiri. Anggota berharap terpilihnya seorang Ketua Umum yang memiliki kepemimpinan visioner. Memiliki pengaruh terhadap budaya organisasi, komitmen organisasi dan kinerja pengurus dan anggotanya.
KFT dalam sejarahnya memiliki kontribusi besar terhadap upaya menumbuhkan dan memajukan perfilman Indonesia. Sebagai organisasi filmmaker KFT banyak mencetuskan ide dan gagasan, memprakarsai, memberi inspirasi dan ikut mendukung berbagai aktivitas kehidupan perfilman Indonesia.
Para tokohnya banyak menjadi pemimpin, pemikir dan figur inovatif bagi perfilman secara nyata. Terselenggaranya Festival Film Indonesia (FFI) adalah salah satu bukti nyata keikut sertaan orang penting KFT.
Bahkan piala Citra yang menjadi lambang supremasi peraihan pencapaian prestasi tertinggi di bidang perfilman Indonesia adalah dibuat oleh insan KFT./*