BANDA ACEH, humaniora.id – Kongres Peradaban Aceh (KPA) 2024 yang berlangsung di Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Aceh di Jantho, Aceh Besar, pada 6-7 Mei 2024. Membahas isu penguatan seni dan budaya. “Isu seni dan budaya menjadi sangat krusial di era kecerdasan buatan,” kata Rektor ISBI Aceh, Prof DR Wildan Abdullah di Jantho, Senin, 6 Mei 2024.
Kongres ini mengukuhkan tema Penguatan Seni dan Budaya di Era Kecerdasan Artifisial. Menurut Wildan, dunia digital dan kecerdasan buatan seperti mata pisau yang bisa menjadi alat untuk mendukung kesenian dan kebudayaan, tapi jika salah digunakan bisa menjadi mesin pembunuh kreativitas.
“Kecerdasan buatan kini bisa menjadi pencipta karya seni. Ini adalah tantangan bagi seniman dan budayawan,” tutur salah satu ahli bahasa Aceh itu.
Seniman dan pegiat kebudayaan, Wildan menambahkan, tidak boleh apatis terhadap perubahaan yang begitu dahsyat itu, melainkan perlu siap dan menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut.
“Jika tidak menyesuaikan diri, seniman dan budayawan akan ditinggalkan oleh perubahan,” ujar Wildan.
Kekuatan karya seni ciptaan seniman adalah olahan kreativitas. Wildan mengatakan, dengan kreativitaslah seniman bisa melampaui robot-robot cerdas dan mesin pintar.
“Seniman perlu lebih kuat dan intensif melakukan ekplorasi ide dan gagasan demi menciptakan kebaruan dalam karya-karyanya. Kebaruan itulah yang akan selalu menjadi nilai lebih.”
KPA 2024 akan diperkuat dengan konferensi internasional dengan pembicara dari dalam dan luar negeri, antara lain, DR Restu Gunawan (Direktur Kesenian Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan), Komjen Pol.(Purn.) Prof. H. Iza Fadri (Duta Besar Mnyanmar 2018-2023), dan Dr. Saparudin Barus, ST, MM (Pusat Sejarah Tentara Nasional Indonesia).
Ada pula Dr. James Bennett (Museum & Seni Northern Territory, Australia), Dr. Roostum Vansu (Universitas Srinakhairinwirot, Thailand), Dr. Muqtedar Khan (Universitas Delaware, Amerika Serikat), dan Prof. Dr. Khairul Azril Ismail (National Academy of Arts, Culture, dan Warisan, Malaysia).
Kongres juga dibahani dengan diskusi panel dengan narasumber DR Fachry Ali (cendekiawan), Dr. Mustafa Abubakar (Ketua Diaspora Global Aceh dan mantan Menteri BUMN), Ismail Rasyid (pengusaha nasional asal Aceh), dan Reza Idria dari UIN Ar Raniry Banda Aceh. Dalam kesempatan itu, ada pula pembacaan pidato Prof AD Pirous oleh arsitek asal Aceh di Bandung, DR Kamal A Arief.
“Prof AD Piorus sedianya akan menyampaikan pokok-pokok pikiran dalam pidato tentang peradaban Aceh di pembukaan Kongres. Beliau telah pula membuat naskah pidato itu. Namun Tuhan berkehendak lain dan telah memanggilnya belum lama ini,” kata Wildan.
Turut mewarnai KPA 2024 adalah kemah seniman, pertunjukan, pameran, dan aneka workshop seni. “Kegiatan KPA ini kolaborasi dengan insan kampus ISBI, seniman, pemerintah daerah, dan berbagai pihak di Aceh dan luar Aceh,” kata Ketua Panitia KPA 2015, Ichsan, MSn.
Ichsan, yang merupakan dosen ISBI Aceh itu, melanjutkan bahwa kegiatan ini melibatkan sekitar 500 peserta dari berbagai kalangan dan ribuan masyarakat sekitar sebagai penonton pertunjukan yang berlangsung selama tiga malam berturut-turut, 6-7 Mei.
Ada pula pasar rakyat yang berlangsung selama acara. “KPA menjadi ruang bersama untuk menghidupkan kesenian dan aktivitas masyarakat di Aceh Besar, khususnya Jantho, dan memajukan Aceh.”
Kongres Peradaban Aceh kali ini adalah kedua kalinya dan merupakan kelanjutan Kongres Peradaban Aceh pada 2015.
KPA diinisiasi oleh sejumlah diaspora Aceh di Jakarta yang berkolaborasi dengan sejumlah tokoh muda di Aceh. KPA 2015 dimulai dengan diskusi terpumpun di Jakarta, lalu prakongres dan kongres di Banda Aceh.
DR Ahmad Farhan Hamid, salah satu inisiator kongres, mengatakan bahwa KPA 2015 berfokus pada penguatan bahasa-bahasa lokal di Aceh. Salah satu rekomendasinya membuat ejaan bahasa Aceh dan bahasa-bahasa lokal lainnya di Aceh. “Forum KPA 2015 telah menyelesaikan penyusunan tata bahasa Aceh. Kami berharap draft tata bahasa Aceh itu bisa dikukuhkan pada KPA 2024 ini,” ujar Wakil Ketua MPR RI Periode 2009-2014 tersebut.
Farhan menambahkan banyak isu kesenian dan kebudayaan perlu menjadi perhatian. Salah satu tantangannya adalah teknologi dan kecerdasan buatan. “Kita perlu mempunyai sikap bijak dalam menghadapi kecerdasan artifisial ini. Kita bisa menggunakan teknologi dan kecerdasan buatan itu untuk memperkuat seni dan budaya Aceh,” kata Farhan yang merupakan ketua tim pengarah KPA 2024.
Menurut Farhan, KPA 2024 merupakan hasil kolaborasi pemikiran dan gagasan dari para penggagas awal seperti dirinya, seniman Fikar W Eda, Mustafa Ismail, dan tokoh-tokoh Aceh dari berbagai bidang seperti Prof Wildan, Prof Mohd Harun, Prof DR Kamaruzzaman Bustamam Ahmad, Yarmen Dinamika, Al Munzir, Piet Rusdi, dan DR Adli Abdullah. “Mereka duduk di tim pengarah dan telah memberi warna dan muatan penting kongres kali ini.”
Farhan berharap Kongres 2024 ini menghasilkan rekomendasi strategis untuk memperkuat seni dan budaya Aceh. “Kami berharap peserta kongres berhasil memetakan berbagai persoalan seni dan budaya dan melahirkan solusi strategis untuk memajukannya,” pungkas Farhan.