humaniora.id – Sebuah pergelaran bertajuk Jogja Bertanjak, Kolaborasi Budaya untuk Bangsa digelar di Hall Pertunjukan Fakultas Seni dan Bahasa, Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Minggu (12/3/2023) malam. Pementasan ini menampilkan sejumlah karya seni budaya hasil kolaborasi antara Riau dengan Jogja atau dikenal dengan budaya Melayu dan Jawa.
Sebuah pergelaran bertajuk Jogja Bertanjak, Kolaborasi Budaya untuk Bangsa digelar di Hall Pertunjukan Fakultas Seni dan Bahasa, Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Minggu (12/3/2023) malam. Pementasan ini menampilkan sejumlah karya seni budaya hasil kolaborasi antara Riau dengan Jogja atau dikenal dengan budaya Melayu dan Jawa.
Kegiatan yang melibatkan para seniman dan mahasiswa kedua provinsi ini merupakan hasil kolaborasi antara Dinas Kebudayaan Provinsi Riau dan Dinas Kebudayaan DIY. Jogja Bertanjak digelar mulai Minggu (12/3/2023) hingga Selasa (14/3/2023) yang penyelenggaraan dititikberatkan pada dua tempat, yakni di Jalan Malioboro bersamaan dengan acara Selasa Wagen dan Auditorium FBS UNY.
“Kami mencoba memanfaatkan karya seni budaya untuk keluar dari Riau, dalam hal ini kami bawa ke Jogja. Tanjak ini sudah ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda, simbol itu kita jadikan bahasa isyarat bahwa perlu kolaborasi budaya agar menjadi warna dalam pengembangan budaya,” kata Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Riau, Raja Yoserizal Zen di UNY Minggu malam.
Raja Yose Rizal Zen mengatakan, Jogja Bertanjak merupakan event pertama kolaborasi budaya yang digelar di luar Riau. Dalam pementasannya merupakan perpaduan antara budaya Melayu Riau dan budaya Jawa melalui peristiwa budaya. Konkretnya seperti perayaan penggunaan pakaian khas yang disertai penyajian ekspresi seni. Tanjak dipilih sebagai ikon kegiatan karena tanjak dianggap memiliki ciri khas untuk mewakili identitas budaya masyarakat Riau yang berbaur bersama masyarakat Jogja.
Tanjak adalah salah satu aksesoris penutup kepala lelaki Melayu berbentuk runcing ke atas. Terbuat dari kain songket panjang yang dilipat, Tanjak seringkali berbentuk ikatan hiasan kepala dengan gaya tertentu.
Berdasarkan buku Destar Alam Melayu karya Johan Iskandar, Tanjak disebutkan sudah ada sejak tahun 1400.
Tanjak ialah ikat kepala lelaki Melayu dan menjadi cara orang Melayu memuliakan kepalanya secara fisik serta menjaga isi kepala atau pikirannya agar tetap berpikir positif.
“Dalam kegiatan ini kami dan Jogja sama-sama menyajikan kesenian masing-masing serta mempersembahkan pertunjukan kolaborasi. Dari Riau selain penggunaan tanjak di ruang publik Jogja, juga akan mengisi rangkaian kegiatan dengan menampilkan Tarian Zapin, Randai Kuantan, dan Pantun,” ujarnya.
Kepala Dinas Kebudayaan DIY Dian Lakshmi menambahkan kegiatan Jogja Bertanjak merupakan wujud kolaborasi antara kedua Provinsi dalam pengembangan budaya. Menurutnya sebagai salah satu pusat kebudayaan Melayu, Riau diharapkan terus bekerja sama dengan DIY, terutama dalam upaya untuk pemajuan Kebudayaan Nasional.
“Ini sebagai salah satu upaya kami di daerah untuk pemajuan kebudayaan nasional, karena itu pemajuan budaya tidak bisa sendiri. Kami di DIY bekerja sama dengan 34 provinsi, Riau dari awal sejak lama sudah memulai, Riau ini Bundo Melayu, sementara Melayu dan Jawa koneksi historisnya cukup berkaitan dengan kerajaan masa lalu,” katanya.
Kerja sama antar keduanya telah terjalin sejak lama melalui berbagai diskusi budaya. Ia meyakini kolaborasi antara Melayu dengan Jawa dalam hal ini Jogja akan menghasilkan karya yang menarik untuk disaksikan.
“Kami telah berkonsultasi dengan Gubernur Riau, Drs H Syamsuar MSi. Pada kegiatan ini tentu saja Riau menginginkan penyebarluasan informasi warisan budaya yang dimiliki, antara lain pantun yang telah menjadi Warisan Budaya Dunia dan penyajian mata budaya lain seperti Zapin, Kayat, dan lainnya,” tambah Raja Yoserizal Zen.
Di masa mendatang diharapkan terjalin hubungan kerjasama yang lebih baik antara Riau dan Yogyakarta. Bahkan tidak tertutup kemungkinan kolaborasi di daerah lain di Indonesia, sehingga komitmen pemerintah dalam upaya pemajuan kebudayaan dapat saling memberi penguatan dan dukungan satu sama lain.
“Kami sangat memahami bahwa Jogyakarta merupakan salah satu kota budaya yang menjadi rujukan daerah lain. Dan sebagaimana diketahui sudah sejak lama pula banyak masyarakat Riau yang menempuh pendidikan di Jogyakarta. Tentu saja hubungan persaudaraan dan pergaulan di sisi kebudayaan perlu dipererat lebih baik. Moga-moga kebudayaan Melayu mendapat tempat di hati masyarakat Yogyakarta,” tutur Kadisbud Riau Raja Yose Rizal Zen.
Comments 1