humaniora.id – Banyak cara mudah dalam pengelolaan bangsa yang rumusannya sudah tersedia dan disepakati. Namun sedikit dari kita yang justru memilih cara sulit. Cari jalan alternatif penuh risiko. Menempuh jalan yang tidak biasa.
“Saya bilang perjalanan kita mendaki. Kalau mendaki jangan harap sederhana. Mendaki itu harus ditempuh dengan perjuangan. Oleh karena itu jangan berkeluh kesah. Karena mendaki ini adalah pilihan kita,” papar Anies Baswedan menjawab pertanyaan Ketua Badan Budaya DPW Partai NasDem, Jawa Tengah, Ageng Kiwi.
Hal ini disampaikan bakal calon Presiden Partai NasDem tersebut pada saat acara silaturrahmi “Mengenal Lebih Dekat Anies Baswedan” yang berlangsung di kediaman Anggota DPR-RI, Drs. Sugeng Suparwoto, di Jakarta, Kamis (02/02/2023).
Hadir di acara ini sejumlah kader Partai NasDem, antara lain, Fadel Muhammad, Anggota DPR-RI, Drs. Sugeng Suparwoto, Ketua Bidang Perempuan dan Anak DPP Partai NasDem, Amelia Anggraini, serta Ketua Fraksi Partai NasDem DPRD DKI Jakarta Wibi Andrino, SH., MH,.
Hadir juga kader Partai NasDem dari kalangan artis, antara lain Ramzi Geys Thebe, Annisa Bahar, Tessa Kaunang, Vicky Shu, Imel Putri Cahyati, dan Intan RJ.
Sering diucapkan orang, ‘learning the hard way’. Ekspresi ini merujuk pada pilihan pembelajaran melalui jalan terjal. Atau cara sulit dan tak menyenangkan. Ekspresi tersebut tampaknya cocok untuk menggambarkan langkah-langkah yang ditempuh Anies Baswedan.
“Mau perjalanan nyaman dan enak, pilih jalan yang datar dan menurun. Tetapi jalan itu tidak akan pernah mengantarkan kepada puncak manapun,” ungkap Anies.
Di kesempatan yang sama Ageng Kiwi menyampaikan, jelang gelaran Pilpres 2024 perlunya menyusun kekuatan dari modal sosial yang ada. Membangun kembali rasa saling mencinta, saling peduli, dan saling percaya sesama warga bangsa.
“Interaksi positif. Memahami perbedaan. Membuka diri terhadap kritik. Tumbuhkan rasa saling percaya. Hindari saling merendahkan, dan saling menghujat,” ujar Ageng Kiwi.
Dalam kehidupan berbangsa, kata Ageng, bangsa ini terdiri atas ramuan yang begitu beragam, baik suku, ras, agama, maupun golongan (SARA). Penggunaan isu SARA dalam pergaulan sehari-hari, apalagi dalam berpolitik sangat berisiko bagi keutuhan bangsa.
“Hindari eksploitasi sentimen primordial. Dalam kondisi masyarakat seperti ini, situasi sosial-politik menjadi sangat rentan. Terutama jika sentimen-sentimen SARA digunakan untuk memobilisasi massa,” pesannya.
Ageng juga mengingatkan pentingnya Negara memberi ruang seluas-luasnya agar proses keterlibatan energetik untuk menumbuhkan spirit Bhinneka Tunggal Ika dapat terjadi./*
Comments 3