humaniora.id – Sudah berjalan 1,5 tahun menuju dua tahun pembahasan nasab Ba’alawi semakin ramai. Diskusi nasab habib di berbagai platform media sosial terus bergulir. Baik di WhatsApp, messenger, YouTube, Facebook, Instagram, Tik Tok dan lain sebagainya. Jarang sekali ada satu wacana bisa bertahan lama. Biasanya isu yang lagi viral kemudian lambat laun menghilang karena ada yang lebih viral lainnya. Diskusi masalah nasab akan ada dan terus ada, tidak akan tenggelam dengan hiruk pikuk pemilu legislatif (pileg), pemilu presiden (pilpres), perang yang ada di negara Rusia Ukraina, perang Palestina Israel dan lain sebagainya.
Isu nasab semakin bertahan dan terus mendapatkan perhatian khusus di hati masyarakat Indonesia. Semakin banyak yang faham karena perdebatan ini melibatkan logika akal sehat dan waras. Saatnya generasi muda NU khususnya, bekerja sehari-hari untuk memenuhi kehidupan tanpa harus berfikir bahwa di sekitar kita ada cucu Nabi Muhammad SAW.
Jarak kita dengan Kanjeng Nabi sudah sekitar 14 abad, lucu kalau sekarang ini masih percaya dengan cucu nabi yang terus koar-koar menjual nasab demi nasib hidup di negeri ini.
Para habib Ba’alawi ceramah sangat frontal, setiap ceramahnya selalu membawa-bawa kalau yang dipanggil habib itu orang yang mulia dibanding sesama pemeluk Islam di Indonesia. Atas perilaku habaib yang paling tersinggung seharunya para nahdliyyin warga NU. Ulamanya atau kiai tidak lagi sejajar dengan para habib. Kedudukan kiai sebagai penerus dzuriyah pendiri NU memiliki sanad keilmuan dari guru-guru yang terhubung dengan Kanjeng Nabi malah disepelekan oleh habaib dari Yaman.
Mengapa para habib hidup di Indonesia, makan dari hasil tanaman yang ditanam di Indonesia dan minum dari sumber yang ada di Indonesia tapi tidak sekalipun membanggakan Indonesia. Habib dan habibah selalu meyanjung negeri asalnya yaitu Yaman. Mereka mulai membuat cerita bahwa pulau Jawa adalah pintu masuknya negeri Yaman. Sejarah yang ada di negeri ini sedikit demi sedikit diubah menjadi sejarah yang dilakukan oleh para habib, kuburan leluhur mereka banyak di makamkan di Indonesia, kemudian menjual nasab Ba’alawi sebagai keturunan Rasulullah Muhammad SAW demi mengeruk keuntungan dari para pecinta habaib.
Kontroversi gelar habib terus dan akan terus menjadi kontroversi mana kala ada beberapa oknum habib yang terus berkata kasar, tidak sopan, membentak, arogan dan tidak mencerminkan kalau mereka keturunan Nabi. Para oknum habib yang mengaku keturunan Kanjeng Nabi Muhammad SAW terus bermunculan di media sosial seperti Facebook, Twitter, WhatsApp, Messenger, Tik Tok, Instagram dan lain sebagainya.
Mendengar ulah para oknum habib kuping rasanya gatal, apalagi yang merendahkan sesama jama’ah yang hadir di suatu majelis sebagai kelas kedua setelah habib. Mereka menyebut warga Indonesia terutama warga NU sebagai warga pribumi yang harus patuh dan nuruti apa yang diucapkan para habib.
Kontroversi masalah habib semakin mencuat ketika diterbitkan hasil penelitian nasab Ba’alawi yang berjudul “Menakar Kesahihan Nasab Habib di Indonesia” oleh KH. Imaduddin Utsman Al Bantani, pengasuh dan pendiri Pondok Pesantren Nahdlatul Ulum yang berlokasi di Kampung Cempaka, Desa Kresek, Kecamatan Kresek Kabupaten Tangerang Provinsi yang juga menjadi pengurus PWNU Banten dan Ketua Rabithah Ma’ahid Islamiyyah (RMI) Banten.
Terimakasih kami warga nahdliyyin yang mulai tercerahkan oleh para keturunan dari Kanjeng Sunan Gunung Jati. Dalam gamang jiwa yang gundah gulana karena kerinduan kami pada sosok Kanjeng Nabi Muhammad SAW yang nantinya bisa memberi syafaat saat kita di yaumil akhir. Ada ketakutan apabila nanti tidak diakui sebagai umatnya Kanjeng Nabi. Kemudian ada yang mengaku cucu Nabi. Para kiai terdiam tidak bisa menyuarakan kebenaran. Para pemimpin negeri ini membiarkan kontroversi nasab Ba’alawi bertarung sendiri.
Kemudian oleh cucu-cucunya Sunan Gunung Jati datang menyapa jiwa dan mengusap air mata, membuka tabir kepalsuan nasab Ba’alawi Yaman. Membangkitkan kesadaran, menentramkan perasaan. Akal mulai berbicara, dan hati terus berkata-kata menjernihkan pola pikir yang selama ini diberangus oleh para habib Ba’alawi yang mengaku cucu keturunan Kanjeng Nabi.
Pihak Robithoh Alawiyah menganggap cucu Walisongo tidak ada, kalaupun ada itu dusta. Pernyataan ini memantik protes keras dari dzuriyah Walisongo, terutama dari kesultanan Banten dan Cirebon. Kemudian para dzuriyah Walisongo lainnya ikut tergerak. Mereka membawa bukti manuskrip dan catatan keraton, catatan dari leluhur mereka dan bukti-bukti lainnya.
Efek pernyataan dari RA para dzuriyah Walisongo berkoordinasi satu sama lain dan membuat penelitian. Maka munculah tesisnya Kiai Imaduddin Utsman Al Bantani, yang berjudul “Terputusnya Nasab Habib Kepada Nabi Muhammad SAW.” Tesis ini merupakan penyempurnaan dari buku “Menakar Kesahihan Nasab Habib di Indonesia.” Yang diterbitkan oleh Maktabah Nahdatul Ulum Banten cetakan 1 tahun 2023. Tesis tersebut berbentuk PDF dan google drive. Tesis Kiai Imaduddin sudah beredar luas di masyarakat Indonesia bahkan sampai ke luar negeri.
Tidak mudah bagi Kiai Imaduddin Utsman untuk mempertahankan tesisnya. Banyak yang menghujat dan memfitnah dengan bahasa yang kurang enak didengar atau dibaca.
Alhamdulillah perjuangan Kiai Imaduddin Utsman Al Bantani, para cucu Walisongo beserta warga Nahdliyyin semakin banyak yang berhasil. Dulu yang mengidolakan para habib sudah mulai sadar dan memihak Kiai Imad. Para grassroot yaitu tokoh-tokoh akar rumput NU di berbagai daerah di Indonesia meluruskan bahwa para habib itu bukan keturunan Kanjeng Nabi dan itu dipelopori oleh Kiai Imaduddin.
Kiai Imad simbul grassroot dari perjuangan yang tidak tahu kapan akan berakhir. Karena disatu sisi banyak yang membela Kiai Imad tapi disisi lain banyak yang menghujatnya.
Kiai Imaduddin beserta dzuriyah Walisongo dan orang-orang yang menolak adanya habib di Indonesia membentuk suatu wadah perjuangan yang dinamakan Perjuangan Walisongo Indonesia – Laskar Sabilillah (PWI – LS). Kiai Imaduddin dan para pengurus PWI LS pusat terus meresmikan PWI LS yang ada di daerah-daerah di pelosok tanah air.
Semoga Kiai Imad dan para cucu dzuriyah Walisongo selalu diberikan kesehatan dan terus berjuang di jalan Allah SWT untuk terus menolak habib sebagai keturunan Rasulullah. Banyak dari para Ba’alawi yang sadar mulai melakukan tes DNA dan memang mereka bukan keturunan Kanjeng Nabi.
Nurul Azizah penulis buku Muslimat NU Militan Untuk NKRI, minat hub 0851-0240-8616