humaniora.id – Polemik nasab Ba’alawi ramai banget dibahas di WhatsApp group baik group Nahdatul Ulama (NU) atau group umum. Rata-rata generasi muda NU setuju kalau nasab Ba’alawi itu bukan keturunan Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Ini menurut penulis yang mengikuti paparan para tokoh dan Kiai NU milenial atau Gus-Gus yang sering muncul di YouTube. Mereka jumlahnya tak terhitung banyak sekali berseliweran di kanal YouTube dan platform media sosial lainnya. Nasab Ba’alawi sudah dibongkar oleh Kiai Imaduddin Utsman Al Bantani dengan tesis yang datanya diambil dari berbagai kitab, fakta sejarah dan sumber lainnya.
Ini masalah nasab atau darah keturunan, kita fokus pada darah keturunan Bani Ba’alawi apakah tersambung dengan Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Menurut Kiai Imaduddin kaum Ba’alawi nasabnya tersambung pada Ubaidillah. Sudah dijelaskan secara ilmiah oleh Kiai Imaduddin bahwa nasab habib Ba’alawi khususnya yang ada di Indonesia bukan sebagai keturunan Rasulullah Muhammad SAW karena Ubaidillah yang mereka sebut sebagai anak Ahmad bin Isa, ternyata setelah diteliti tidak terkonfirmasi dalam kitab-kitab nasab sezaman dengan mereka.
Sebenarnya masalah kontroversi nasab sudah dijawab oleh Kiai Imaduddin baik dalam bentuk tulisan atau ceramah secara langsung. Kalau kurang jelas coba ketik di google tulis : Menjawab Lutfi Rochmad Tentang Terputusnya Nasab Habib yang dimuat RMI Banten edisi 3 April 2024.
Penulis berusaha memberikan pencerahan kepada pembaca, bahwa Kiai Imad itu meneliti masalah nasab Ba’alawi bukan akhlak dan kemuliaan kaum Ba’alawi, catat itu.
Masalah nasab itu rujukannya apakah ada hubungan darah dengan seseorang yang menjadi kakek moyangnya. Kiai Imad merujuk pada data yang ada di kitab, fakta sejarah dan disempurnakan dengan tes genetika (DNA).
Perihal nasab tidak ada korelasinya dengan masalah penghormatan kepada habib karena ilmu yang dikuasai dan akhlaknya.
Masalah ketersambungan nasab jangan dicampur aduk dengan soal penghormatan, kemuliaan, kecintaan pada habib.
Contoh Saya Nurul Azizah punya kakek si H kebetulan seorang Kepala Desa, menurunkan bapak dan saya. Kalau ada pembantu si M mendedikasikan seluruh hidupnya untuk merawat saya sebagai cucu kakek H, kebetulan si M ini setia sehidup semati ikut keluarga dari penulis, bukan berarti simbak M itu nasabnya ikut kakeknya penulis, nasab ya nasab bukan yang lain. Kalau keluarga saya menghormati si M itu masalah rasa, etika dan moral. Karena sudah dianggap seperti keluarga sendiri.
Kalau dikemudian hari misalnya si M mengaku masih ada nasab dengan kakek H, itu salah besar. Karena di dalam tubuh si pembantu M tidak mengallir darah keturunan kakek H.
Jadi penelitian Kiai Imad itu soal nasab Ba’alawi bukan akhlak dan kemuliaan kaum Ba’alawi. Dua hal ini jangan dicampur aduk sehingga menjadi polemik berkepanjangan. Kalau ada yang tidak setuju dengan pendapat Kiai Imad ya sudah diam saja.
Kalau ingin tetap mengikuti apa yang dilakukan oleh para habib Ba’alawi ya silahkan itu hak asasi seseorang, tidak ada paksaan.
Ketika ada orang yang tidak setuju dengan pendapat Kiai Imad karena alasan bahwa habib di Indonesia kelakuannya baik dan ilmunya luas ya jangan dicampur aduk dengan penelitian nasab. Niscaya akan melahirkan kerancuan dan sulit untuk mencari titik temu. Yang ada malah saling menuduh, satu sebagai pengikutnya Kiai Imad yang satunya anti Kiai Imad.
Kiai Imaduddin itu simbul dari grassroot atau akar rumput dari Kiai muda Nahdatul Ulama (NU) dengan kepintaran dan ketelitian serta kemampuan membaca berbagai kitab dengan bahasa Arab. Orang yang mau membaca akan berterima kasih kepada Kiai Imad. Sudah dibukakan mata hatinya untuk memberi tahu ternyata ada banyak kitab yang bisa membuktikan nasab Ba’alawi yang ada di Indonesia khususnya.
Kalau ada yang mencintai habib karena yang bersangkutan hafal Al-Qur’an dan ribuan hadist serta beraklah mulia, ikuti saja. Penelitian Kiai Imad bukan ke ranah akhlak para habib, bukan kemulian para habib. Tapi penelitian Kiai Imad itu nasab Ba’alawi yang ternyata tersambung kepada Ubaidillah bukan kepada Kanjeng Nabi, faham ya.
Penulis terus terang tidak faham terhadap nasab Ba’alawi. Kalau ada Kiai NU milenial seperti Kiai Imad dan para Kiai muda lainnya yang juga membongkar nasab Ba’alawi ya ikuti saja. Jangan sibuk memframing masalah nasab yang terus dihubung-huhungkan dengan masalah lain.
Kiai Imaduddin sebagai simbul keberanian untuk membongkar nasab Ba’alawi siap untuk diskusi kalau ada pihak yang kurang berkenan. Karena masalah nasab tersebut sudah dishare ke publik. Tentunya Kiai Imad memiliki jawaban yang bisa dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT dan kepada masyarakat, melalui kajian-kajian ilmiah.
Seharusnya polemik nasab tidak lagi dijadikan ajang kebencian satu dengan yang lainnya. Alasannya apa kalau benci dengan Kiai Imad, lha wong beliau hanya meneliti nasab Ba’alawi kok dihubungkan dengan masalah lainnya yang tentu tidak relevan dengan penelitian Kiai Imad.
Kalau di kalangan ulama sepuh NU masih ada yang pro dan kontra terhadap penelitian Kiai Imad ya silahkan saja, karena beda pendapat itu diperbolehkan.
Yang lucunya ada seseorang tokoh di kalangan pengurus PBNU yang tidak percaya kepada penelitian Kiai Imad kemudian mencari pembenaran sendiri, ya silahkan. Tapi penelitian tentang nasab jangan dicampur aduk dengan masalah lainnya. Masalah nasab dan penghormatan kepada seseorang disangkutpautkan ya lucu saja. Inilah yang menjadi polemik nasab tidak pernah selesai.
Nurul Azizah penulis buku Muslimat NU Militan Untuk NKRI, minat hub 0851-0240-8616