humaniora.id – Dunia kesehatan sejak lama menghimbau agar masyarakat menghindari plastik mengandung BPA yang digunakan untuk kemasan makanan dan minuman.
Hal ini dapat mengganggu kesehatan seperti pertumbuhan hormonal hingga kanker. Terutama bagi bayi, balita dan ibu yang sedang hamil.
BPA (Bisphenol-A), adalah senyawa yang berfungsi menghasilkan plastik polikarbonat. Bertujuan membuat jenis plastik kuat, ringan, dan terlihat bening. Namun berdasarkan penelitian ditengarai mengandung racun.
Di beberapa Negara, seperti di Eropa — sebagian peraturan federal Negara Amerika, Negara Asia telah melarang penggunaan kemasan plastik yang mengandung BPA melalui regulasi yang berkaitan dengan bayi dan balita.
Ketua PWI Jaya, Sayid Iskandarsyah, mengakui dalam dua tahun belakangan ini berita yang beredar didominasi tentang isu pentingnya makanan dan minuman yang sehat. Hal itu wajar mengingat menyangkut hajat hidup orang banyak.
Segala hal yang menyangkut obat – obatan dan makanan pasti akan menyedot perhatian publik. Seperti kasus etilen glikol beberapa waktu lalu.
“Masyarakat langsung aware sehingga persoalan lebih cepat diatasi,” ujar Sayid Iskandarsyah saat ditemui di kantornya di Jakarta Pusat, Selasa (8/8/2023).
Sayid sependapat dengan pandangan Ketua BPOM Pusat, Penny K Lukito semestinya jangan sampai terjadi baru bertindak. Akan lebih baik jika dilakukan pencegahan.
Seperti pada upayanya untuk melakukan labelisasi pada galon guna ulang itu langkah yang tepat. Apalagi didasarkan pada kajian ilmiah baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
“Menurut saya, hal menyangkut makanan, minuman dan obat obatan harus hati hati. Lebih baik mencegah dari pada menunggu sampai ada korban baru bertindak. Jika upaya labelisasi itu tujuannya untuk mencegah terjadinya korban itu sangat baik,” papar Sayid.
Menurut Sayid, BPOM pasti tidak bekerja sendiri. Berdasarkan informasi peneliti dari berbagai universitas negeri Indonesia mendukung pelabelan tersebut.
“Itu langkah konkrit sebagai tindakan perlindungan kesehatan pada masyarakat,” ujar Sayid.
Sayid mengatakan, masyarakat lebih suka tindakan konkrit BPOM untuk pelabelan tersebut. Tentu saja langkah tersebut sudah dikaji dan dilakukan seminar berkali – kali. Melibatkan berbagai elemen terkait, utamanya para peneliti, tokoh agama, LSM dan institusi lainnya.
“Soal bahaya BPA sudah kita dengar sejak 5 tahun silam ya. Hasil riset dunia kesehatan international, kajian para ahli Indonesia dan informasi tentang bahaya BPA sangat berlimpah. Benar juga, Jangan sampai menunggu ada korban. BPOM sudah tepat melakukan tindakan preventif, agar tidak sampai jatuh korban, ” tandas Sayid lagi.
Memang tidak mudah melakukan pelabelan pada galon guna ulang. Pasti ada pihak yang tidak setuju terutama mereka yang secara industri sedikit terusik. Padahal kalau mencermati langkah BPOM sudah tepat dan tidak mengganggu sama sekali.
Sayid menambahkan bahwa soal pelabelan BPA di luar negeri hampir semua kemasan sudah free BPA. Misal produsen AMDK Danone, misalnya, di Perancis sudah melarang menggunakan kemasan yang mengandung zat berbahaya BPA. Begitu juga berbagai negara maju lainnya.
“Pelarangan penggunaan BPA pada kemasan pangan dilakukan di negara Perancis, Brazil, Colombia dan negara bagian Vermont (Amerika Serikat). Sementara negara bagian California mencantumkan label bahaya BPA,” tandas Sayid.
Sayid menegaskan, pelabelan BPA itu harus segera dilakukan jangan berlarut – larut. Sudah bertahun – tahun diwacanakan tapi belum juga dilakukan. Jangan sampai menunggu jatuh korban.
Potensi bahaya BPA terhadap kesehatan dapat mengganggu sistem reproduksi, sistem kardiovaskular, penyakit ginjal, kanker, diabetes, obesitas dan gangguan perkembangan otak. Terutama pada usia rentan yaitu janin pada ibu hamil dan anak – anak di bawah 5 tahun.
BPOM wajib melindungi anak- anak sebagai generasi penerus bangsa Indonesia dengan menyempurnakan peraturan yang sudah ada mengenai penggunaan kemasan plastik BPA seperti yang telah diberlakukan di negara maju./*