JAKARTA, humaniora.id – Ketua MPR RI sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar Bambang Soesatyo menuturkan pimpinan MPR siap menerima DPD RI beserta Ketua Dewan Presidium Konstitusi Try Sutrisno dan sejumlah elemen masyarakat yang akan menyampaikan aspirasi kepada MPR Ri pada tanggal 10 November 2023. Dalam aspirasinya DPD dan sejumlah elemen masyarakat akan meminta MPR RI untuk mengkaji ulang UUD NRI 1945 yang telah diamandemen sebanyak empat kali dan mengembalikan kewenangan MPR RI sebagai lembaga tertinggi negara sesuai Azas dan Sistem Bernegara Pancasila yang dirumuskan Para Pendiri Bangsa.
“Amandemen UUD NRI 1945 yang telah dilakukan sebanyak empat kali dinilai tidak sesuai dengan sistem bernegara yang dirumuskan para pendiri bangsa. Karenanya, DPD dan sejumlah elemen masyarakat meminta agar MPR mengkaji ulang isi UUD NRI 1945 serta mengembalikan lagi UUD 1945 sesuai dengan naskah aslinya untuk kemudian disempurnakan melalui addendum,” ujar Bamsoet usai mengikuti Rapat Koordinasi Pemuda Pancasila, Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan dan Putra Putri TNI-Polri (FKPPI), Pemuda Panca Marga, UI Watch dengan Ketua MPR RI dan Ketua DPD RI di Jakarta, Kamis malam (26/10/23).
Hadir antara lain Ketua DPD RI La Nyalla Mattalitti, Ketua Umum Pemuda Pancasila Japto Soerjosoemarno, Ketua Umum FKPPI Pontjo Sutowo, Ketua Umum PPM Bertho Izaak Doko serta Ketua UI Watch Taufik Bahaudin.
Ketua DPR RI ke-20 dan mantan Ketua Komisi III DPR RI bidang Hukum, HAM, dan Keamanan ini menjelaskan, amandemen UUD 1945 menjadi UUD NRI 1945 dinilai masih banyak kekurangan terkait proses dan tata cara amandemen konstitusi beserta hasil akhirnya. Setidaknya ada empat hal yang disoal, yakni sistematika UUD 1945 yang tidak teratur, proses amandemen yang sangat dipengaruhi oleh kepentingan luar, sistem kamar yang tidak jelas dan keabsurdan sistem pemerintahan.
“Empat permasalahan tersebut dianggap terjadi karena para perumus amandemen UUD 1945 menjadikan momentum reformasi dan perubahan UUD 1945 sebagai transaksi politik yang sarat dengan kepentingan. Akibatnya, konsepsi amandemen UUD 1945 bukan menjawab permasalahan pada waktu itu. Namun, justru mendorong perubahan sistem bernegara yang jauh dari prinsip-prinsip dasar bernegara yang dibuat oleh para pendiri bangsa,” kata Bamsoet.
Ketua Dewan Pembina Perhimpunan Alumni Doktor Ilmu Hukum UNPAD dan Ketua Dewan Pembina Depinas SOKSI serta Kepala Badan Polhukam KADIN Indonesia ini menerangkan, alasan lain perlu dilakukan kaji ulang UUD NRI 1945 karena berdasarkan hasil kajian Komisi Konstitusi yang dibentuk melalui Ketetapan MPR No. I/MPR/2002, ditemukan tidak adanya kerangka acuan atau naskah akademik saat melakukan amandemen UUD 1945 di tahun 1999 hingga 2002. Sehingga, perubahan UUD 1945 tidak dilengkapi dengan pendekatan menyeluruh dari sisi filosofis, historis, sosiologis, politis, yuridis dan komparatif.
“Bahkan disebutkan, Guru Besar Ilmu Filsafat UGM Prof. Kaelan dan hasil kajian akademik yang dilakukan beberapa profesor di sejumlah perguruan tinggi, mengungkapkan ada sekitar 97 persen pasal yang diubah dalam empat kali amandemen tersebut. Kajian lain mengungkapkan, jumlah ayat dalam konstitusi setelah empat kali amandemen bertambah sekitar tiga kali lipat. Secara kualitatif, perubahan yang dilakukan dalam empat kali amandemen sangat banyak dan mendasar. Sehingga dapat disimpulkan bahwa UUD NRI 1945 hasil amandemen empat kali, telah meninggalkan Pancasila sebagai norma hukum tertinggi. Perubahan isi dari pasal-pasal dalam Konstitusi tersebut membuat UUD NRI 1946 justru menjabarkan semangat individualisme dan liberalisme,” pungkas Bamsoet. (*)