JAKARTA, humaniora.id – Ketua MPR RI sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar Bambang Soesatyo mengingatkan salah satu tantangan kebangsaan yang saat ini masih dihadapi bangsa Indonesia adalah belum optimalnya penegakan hukum. Berdasarkan data World Justice Project yang dirilis pada bulan Oktober 2022, indeks negara hukum Indonesia memiliki skor 0,53, atau ‘hanya’ meningkat 0,01 poin selama kurun waktu tujuh tahun, dari tahun 2015 dengan skor 0,52.
Selain itu, hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada bulan Februari 2022, mencatat bahwa 33,7 persen responden menyatakan penegakan hukum di Indonesia ‘buruk’ atau ‘sangat buruk’. Angka ini tidak jauh berbeda dengan hasil survei Indikator pada bulan Agustus 2022 yang mencatat bahwa 37,7 persen responden menilai bahwa penegakan hukum di Indonesia dinilai ‘buruk’ atau ‘sangat buruk’.
“Tantangan kebangsaan di bidang hukum tersebut, semakin menyadarkan kita akan urgensi untuk menghadirkan hukum yang berkeadilan di tanah air. Hukum harus menjadi common platform, menjadi kesepakatan dan komitmen kolektif, serta memberikan manfaat bagi seluruh masyarakat selaku subyek hukum, tanpa diskriminasi dan tanpa kecuali,” ujar Bamsoet dalam acara Sosialisasi Empat Pilar MPR RI yang diselenggarakan Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (PERMAHI) secara daring di Wisma Kopo Puncak, Bogor Jawa Barat, Senin (6/3/23).
Ketua DPR RI ke-20 dan mantan Ketua Komisi III DPR RI bidang Hukum, HAM, dan Keamanan ini menuturkan, untuk itu perlu dilakukan pembaharuan hukum yang sejalan dengan kemajuan teknologi. Saat ini, penerapan e-court dan e-litigation, atau persidangan secara elektronik, sudah tidak lagi menjadi ‘barang baru’. Selain itu, ada pula aplikasi smart contract, dimana perjanjian kontrak secara elektronik dilakukan dalam sistem basis data block chain, yang menjalankan klausul kontrak secara otomatis.
Kelahiran produk kecerdasan buatan (artificial intelligence) di bidang hukum bernama COIN (Contract Intelligence) yang memiliki kemampuan menganalisa perjanjian kredit dalam waktu yang singkat, dan dengan tingkat akurasi yang optimal, juga turut menandai era di mana teknologi robotik telah menyentuh ranah hukum.
“Aplikasi teknologi dalam ranah hukum tersebut, harus disikapi dengan bijaksana oleh segenap insan hukum. Karena secanggih apapun teknologi robotik, tidak akan pernah bisa sepenuhnya menggantikan peran sumber daya manusia. Baik dari aspek profesionalisme, dedikasi, kemampuan negosiasi, kebijaksanaan dalam pengambilan putusan, serta sentuhan nilai-nilai kemanusiaan yang semuanya itu tidak akan mungkin tergantikan oleh kecerdasan buatan,” kata Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila dan Kepala Badan Hubungan Penegakan Hukum, Pertahanan dan Keamanan KADIN Indonesia ini menerangkan, hal lain yang perlu diperhatikan adalah pembangunan hukum dalam konteks Indonesia Emas 2045. Salah satu pilar pembangunan Indonesia Emas 2045, adalah pilar pemantapan ketahanan nasional dan tata kelola kepemerintahan, dimana salah satu unsur penopangnya adalah pembangunan dan penguatan sistem hukum nasional.
“Visi Indonesia Emas 2025 merekomendasikan bahwa pembangunan hukum diarahkan bagi terwujudnya masyarakat berbudaya hukum, melalui penegakan hukum yang berkualitas dan berlandaskan HAM, peningkatan kesadaran hukum masyarakat, serta penguatan sistem hukum nasional melalui penataan regulasi. Pada tahun
2045, diharapkan hukum warisan kolonial sudah digantikan seluruhnya oleh hukum nasional,” urai Bamsoet.
Ketua Umum Ikatan Motor Indonesia dan Ketua Umum Pengurus Besar Keluarga Olahraga Tarung Derajat ini memaparkan, kebutuhan hukum masyarakat akan selalu mengikuti dinamika dan perkembangan zaman. Karena itu, produk-produk hukum warisan kolonial Belanda yang telah berusia lebih dari ratusan tahun, tentunya perlu disesuaikan dan diselaraskan dengan kebutuhan masyarakat masa kini. Salah satunya dengan disahkannya RUU KUHP menjadi Undang-Undang pada tanggal 6 Desember 2022. Selain menggantikan regulasi yang telah usang, Undang-Undang KUHP ini juga mengharmonisasikan seluruh undang-undang yang mengatur tindak pidana di luar KUHP.
“Di sisi lain, kita juga harus membuka diri bagi hadirnya masukan dan aspirasi dari segenap elemen masyarakat, terkait UU KUHP yang telah disahkan tersebut. Berbagai masukan dan aspirasi tersebut, tentunya menjadi bahan pertimbangan untuk penyesuaian, atau bahkan perubahan parsial, dalam proses transisi sebelum pemberlakuan UU KUHP tiga tahun lagi,” pungkas Bamsoet. (*)