humaniora.id – Agama adalah sistem yang mengatur kepercayaan serta peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kaidah yang berhubungan dengan budaya, dan pandangan dunia yang menghubungkan manusia dengan tatanan kehidupan. Diturunkan oleh Tuhan untuk memerdekakan manusia. Sehingga keberadaan agama itu ditujukan untuk manusia sebagai anugerah dari Tuhan yang Maha Kuasa.
Dengan demikian umat manusia harus menyadari bahwa agama dan kekuatan agama merupakan suatu komunitas dan menjadi realitas, baik di Indonesia maupun dibelahan dunia manapun.
Agama dan spiritualitas merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan manusia. Ritual di dalamnya diajarkan secara turun-temurun dalam beragam kebudayaan. Selain sebagai sarana untuk mengingat Sang Pencipta dan mendekatkan diri kepada-Nya, agama juga ternyata punya manfaat. Bahkan dalam penelitian ditemukan bahwa orang yang memiliki keyakinan atau agama tertentu dan menjalaninya dengan baik cenderung berpola pikir positif atau optimis. Punya lebih banyak teman, dan lebih dekat dengan keluarga. Sehingga dengan menghadiri acara keagamaan, seseorang juga akan merasa menjadi bagian dalam suatu kelompok dan berinteraksi dengan umat yang seiman.
Terdapat enam agama yang diakui di Indonesia yakni Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu. Keenam agama itu memiliki kitab suci masing-masing yang memuat ajaran-ajaran tentang panduan kehidupan umat beragama dalam menjalani hidup. Inti dari ajaran agama tersebut adalah agar semua umatnya dapat mewujudkan ketaatan atas segala perintah Tuhan dan menjauhi segala larangannya. Isi pokok suatu ajaran agama yang tertulis dalam kitab suci biasanya berkisar tentang Ketuhanan, Hukum, tatacara beribadah, hubungan sosial antar manusia dan mahluk lainnya, serta sejarah atau hikayat manusia atau kejadian sebelumnya.
Dalam konteks memahami agama islam, terdapat dua panduan untuk dijadikan pegangan terhadap rujukkannya. Pertama, adalah dalil Naqli yang bersumber dari Al Quran maupun As Sunnah, yang memuat tentang kekuasaan Allah atas penciptaan alam semesta ini serta hal-hal lainnya yang terdapat didalamnya. Kedua, adalah dalil Aqli yang merupakan dalil-dalil bersumber dari akal manusia yang cenderung bersifat ilmu pengetahuan untuk mengungkapkan kebenaran itu melalui akal pikiran manusia yang objektif serta tidak dipengaruhi oleh keinginan, ambisi, atau kebencian dan emosi terhadap sesuatu hal dalam mengungkap sesuatu, baik yang tersurat mau pun yang tersirat.
Pada akhirnya dalil Aqli itu akan berkesesuaian dengan dalil Naqli dalam pengungkapan kebenarannya. Seperti pada kata “Wasy-syamsu tajrii limustaqarrin lahaa” Artinya: Dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Hal ini terdapat pada dalil Naqli, sehingga melalui sain dan teknologi, manusia dapat mengetahui hal itu yang memang terbukti bahwa fakta tersebut benar adanya, yang mana pengungkapannya tentu diupayakan oleh akal manusia dengan menggunakan pengetahuan untuk mendudukkan dalil Aqlinya secara benar.
Namun memahami kitab suci tidak boleh secara sendiri-sendiri dan memerlukan para ahli yang mampu menafsirkan Al Qur’an tersebut secara komprehensif.
Belakangan ini timbul penafsir ayat-ayat yang secara langsung ditujukan untuk sengaja membenturkannya dengan budaya dan kesenian di tengah masyarakat, bahwa bangsa ini telah terikat tradisi dan etos dari sejak NKRI ini masih belum terbentuk. Bahkan jauh sebelum segala penjajahan itu datang, bangsa Indonesia pun telah memilikinya yang diwariskan secara turun temurun. Hingga para Wali Songo pun ikut merawat dan melestarikan budaya dan seni tersebut tanpa menyentuh dan menekan keberadaannya sedikit pun. Akan tetapi, para pendakwah karbitan itu selalu menganggap diamnya kelompok ini seakan telah sirna di muka bumi tanah air kita.
Maka tak heran, jika saat ini perlawanan ke arah pergeseren budaya dan tekanan terhadap kesenian bangsa kita semakin bangkit diberbagai belahan seantero negeri ini. Mereka menuding bahwa ada pihak-pihak yang sengaja mengambil sempalan kewenangan yang tidak sepatutnya menonjolkan diri demi memunculkan budaya asing melalui platform keyakinan yang sama atas mayoritas penganut agama Islam di Indonesia. Mereka tidak rela jika budaya dan keseniannya disingkirkan begitu saja melalui indoktrinasi dalil-dalil yang sebenarnya belum menjadi kesepakatan sebagai ijma para ulama dan tokoh-tokoh adat istiadat budaya Nusantara kita.
Memahami sisi agama dan menjadikan dalil-dalil yang bersumber dari kitab suci tersebut untuk dipegang secara teguh memang harus diutamakan. Akan tetapi fitrah manusia untuk menjadikan dalil Aqli / akal (imu pengetahuan) sebagai upaya menyesuaikan keadaan yang menumbuhkan kembangkan harmonisasi kehidupan bagi merawat toleransi /tasamuh juga sama pentingnya bagi keberagaman dan saling menerima antar sesama umat beragama dan budaya-budaya nasional serta kesenian asli sebagai kearifan lokal pun tidak bisa dikesampingkan begitu saja.
Fakta inilah yang harus dikedepankan bagi kelangsungan bagaimana sikap berbangsa dan bernegara secara baik dan bijaksana.
Negara dengan segenap kewenangan dan kedaulatannya memang menciptakan UUD45 dengan segenap aturan konstitusi yang ada untuk menjadi tegak dan kokoh serta terlindungi, menjaga kewibawaannya dari gangguan pengaruh asing dan bangsanya sendiri. Namun bukan berarti negara tersebut menggunakan hukum untuk mencari-cari alasan guna menghukum siapapun demi pengaruh dan penegakan hukum yang diberlakukan tanpa alasan yang kuat sehingga menciptakan kekacauan baik secara internal atau pun eksternal. Oleh karena tugas hukum hanya menjaga keadilan dan prilaku setiap warga negara untuk tidak menciptakan pelanggaran dan dipatuhi sebagaimana mestinya.
Sehingga pemberlakuan dalil-dalil Naqli sebagaimana yang dikumandangkan oleh para pendakwah yang melihat sisi persoalan budaya dan kesenian yang dianggap bertentangan hanya melalui tafsir dangkal dari kedangkalan pemahaman dalil yang disampaikan oleh para pendakwah tersebut hendaknya merujuk pada Ijma ulama agar lebih mengedepankan penyesuaian iklim kehidupan bagi masyarakat Indonesia.
Kita memang membutuhkan agama dalam tatanan berbangsa agar memperoleh moralitas masyarakat yang beretika dan memiliki kesantunan dalam adab dan prilakunya. Namun jangan sampai keberadaan agama justru menciptakan kegaduhan yang menjadi kontra produktif bagi pembangunan bangsa dan negara ini./*
Andi Salim, adalah pemerhati masalah sosial budaya, dan kerukunan antar umat beragama.