humaniora.id – Di suatu sore yang cerah, di Basrah Iraq, Imam besar Al Hasan Al Bashri sedang duduk di dalam sebuah masjid. Saat itu adalah hari pertama di bulan suci Ramadhan.
Kemudian datanglah seorang budak mendekat kepada Al Hasan. Budak tersebut memberi salam dan memohon kepada sang Imam, agar sekiranya sang imam dapat memberikan ceramah atau nasihat kepada kaum muslimin tentang keutamaan membebaskan budak di bulan suci Ramadhan.
Setelah mendengar permohonan dari budak tersebut, sang imam sangat memahami apa maksud budak tersebut mengajukan permohonan seperti itu, tetapi imam Al Hasan hanya diam saja.
Keesokan harinya, budak tersebut kembali menemui imam Al Hasan di masjid yang sama, dan memohonkan hal yang sama pula kepada sang imam. Imam Al Hasan pun kembali diam.
Hari berikutnya pun demikian. Budak tersebut kembali mendatangi imam Al Hasan, masih memohonkan hal sama, dan imam Al Hasan pun tetap diam.
Imam Al Hasan Al Bhasri dilahirkan di Madinah pada tahun 21 Hijrah (642 Masehi). Beliau pernah menyusu dengan Ummu Salamah, isteri Rasulullah ‘alaihi wassalam. Pada usia 14 bulan, Al Hasan pindah ke kota Basrah, Irak, dan menetap di sana. Dari sinilah Al Hasan mulai dikenal dengan sebutan Hasan Al-Bashri. Hasan kemudian dikategorikan sebagai seorang Tabi’in (generasi setelah sahabat). Hasan al-Basri juga pernah berguru kepada beberapa orang sahabat Rasulullah ‘alaihi wassalam. sehingga beliau muncul sebagai ulama terkemuka dalam peradaban Islam.
Al Hasan Al Bashri berguru pada para sahabat Nabi, antara lain: Utsman bin Affan, Abdullah bin Abbas, Ali bin Abi Talib, Abu Musa Al-Asy’ari, Anas bin Malik, Jabir bin Abdullah and Abdullah bin Umar. Al-Hasan menjadi guru di Basrah, (Iraq) dan mendirikan madrasah di sana.
Akhirnya, bulan suci Ramadhan tahun itupun berlalu, dan ternyata tidak sekalipun imam Al Hasan berbicara atau berceramah tentang keutamaan membebaskan budak di bulan suci Ramadhan. Dan dapat dipastikan, sang budak tersebut pun menjadi sangat kecewa.
Setahun pun berlalu sudah. Akhirnya di tahun berikutnya, bulan suci ramadhan pun datang kembali.
Di malam tarawih pertama Ramadhan tahun itu, akhirnya imam Al Hasan memberikan ceramah dan nasihatnya, bahwa betapa utama dan mulianya seorang muslim jika mampu untuk membebaskan budaknya di bulan suci Ramadhan.
Maka, sudah dapat dipastikan, setelah mendengar nasihat imam besar tersebut, semua orang-orang kaya yang mempunyai budak di Basrah, akhirnya membebaskan budak-budak mereka.
Lalu datanglah kembali budak yang meminta imam Al Hasan untuk berceramah tentang keutamaan membebaskan budak di bulan suci Ramadhan tahun lalu. Budak itupun bertanya kepada imam Al hasan dengan penuh keheranan. “Wahai imamku, aku sudah meminta engkau untuk memberikan fatwamu tentang keutamaan membebaskan budak di bulan suci Ramadhan tahun lalu, tetapi mengapa baru sekarang engkau melakukannya?”
Imam Al Hasan yang mulia itupun menjawab dengan tersenyum, “Di bulan Ramadhan tahun lalu, ketika engkau menanyakan tentang hal ini, sebenarnya aku belum mempunyai uang. Alhamdulillah, tahun ini Allah mengkaruniakan aku rezeki-Nya, sehingga aku bisa membeli seorang budak sebelum bulan Ramadhan, dan aku pun membebaskannya di bulan Ramadhan tahun ini juga.”
“Aku tidak berani memberikan fatwa keutamaan membebaskan budak di bulan suci Ramadhan, sebelum aku sendiri melakukannya. Setelah aku melakukannya, baru aku bicara,” tambah sang imam.
Budak tersebutpun akhirnya diam dan menangis, kemudian dia meminta maaf kepada sang imam Al Hasan karena dia sempat mempunyai pikiran yang buruk kepada sang imam, yang menunda jawaban dari permohonannya tahun lalu.
Itulah contoh adab Islami dari sebuah pengajaran dan pendidikan, dari seorang guru yang sebenarnya. Itulah dahsyatnya sebuah keteladanan Islam yang mengawali sebuah pengajaran dan pendidikan. Keteladanan yang asli, yang berdasarkan kepada ilmu dan perbuatan nyata, bukan sebuah keteladanan semu tanpa ilmu, apalagi keteladanan yang palsu.
Menunda sebuah fatwa, sebuah nasihat, atau sebuah contoh dalam waktu setahun lebih baik daripada langsung mengatakannya hari juga, tetapi ternyata hanyalah sebuah retorika belaka.
Menjadi guru berarti menjadi seorang teladan.
Apakah kita masih terus ingin membohongi diri kita sendiri, jika kita ingin terus dipanggil sebagai seorang guru, atau ingin selalu dihormati oleh murid-murid kita, tetapi ternyata kita sendiri tidak mampu memberikan contoh kebaikan yang nyata, tidak cerdas, dan tidak bisa menjadi teladan bagi mereka?
Selamat Hari Guru Nasional 2021. Begerak Dengan Hati, Pulihkan Pendidikan.
Wallahu’allam bisshowab
Jakarta, 27 November 2021
*Penulis adalah Pemerhati Pendidikan/ Sekolah Doktoral Pascasarjana UIKA, Bogor/ Anggota Majelis Pendidikan Pusat Al Washliyah.