JANTHO, humaniora.id – Direktur Pembinaan Tenaga dan Kelembagaan Kebudayaan Kemendikbud DR Restu Gunawan bahwa Aceh adalah pintu gerbang masuknya peradaban yang inklusif. Aceh sudah terbuka sejak dulu. “Dan itu harus dilanjutkan,” kata Restu Gunawan ketika berbicara sebagai keynote speaker International Conference of Aceh Civilization – Kongres Peradaban Aceh (KPA) 2024 di Meuligoe Bupati Aceh Besar di Jantho, 6 Mei 2024.
Keterbukaan Aceh karena posisinya berada dalam jalur pelayaran yang dilalui pedagang dan pendakwah dari berbagai negeri. Menurut dia, literasi Aceh sudah cukup maju sejak dulu. Namun, pertanyaannya adalah mau di kemanakan semua yang sudah dicapai Aceh pada masa lalu itu di masa akan datang. “Mau diapakan semua ini?”
Ia lalu menyebutkan sejumlah program di Kemendibud yang bisa diikuti oleh generasi muda Aceh, seperti Program Desa Pemajuan Kebudayaan. “Desa Pemajuan Kebudayaan bisa mendorong meningkatkan indeks pembangunan kebudayaan yang di Aceh masih rendah dari rata-rata nasional,” ujar Restu. Selain itu, ada pula program pemberian beasiswa untuk kebudayaan melalui LPDP.
Satu hal lagi, ia mengingatkan, untuk urusan kebudayaan masyarakat dan semua pemangku kepentingan harus bersifat offensif. Ia melanjutkan, offensif dimaksud dilakukan dalam bentuk aksi, umpamanya kalau ke luar negeri tampilkan seni dan kuliner dari Aceh dan ceritakan ihwal karya dan kuliner itu kepada publik luar. “Bukan menampilkan di kalangan orang Aceh sendiri, kalau itu nostalgia saja namanya.”
Kongres Peradaban Aceh (KPA) 2024 berlangsung di Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Aceh di Jantho, Aceh Besar, pada 6-7 Mei 2024, membahas isu penguatan seni dan budaya. “Isu seni dan budaya menjadi sangat krusial di era kecerdasan buatan,” kata Rektor ISBI Aceh, Prof DR Wildan Abdullah di Jantho, Senin, 6 Mei 2024.
Kongres ini mengukuhkan tema Penguatan Seni dan Budaya di Era Kecerdasan Artifisial. KPA 2024 diperkuat dengan konferensi internasional dengan pembicara dari dalam dan luar negeri, antara lain, DR Restu Gunawan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Komjen Pol.(Purn.) Prof. H. Iza Fadri (Duta Besar Mnyanmar 2018-2023), dan Dr. Saparudin Barus, ST, MM (Pusat Sejarah Tentara Nasional Indonesia).
Ada pula Dr. James Bennett (Museum & Seni Northern Territory, Australia), Dr. Roostum Vansu (Universitas Srinakhairinwirot, Thailand), Dr. Muqtedar Khan (Universitas Delaware, Amerika Serikat), dan Prof. Dr. Khairul Azril Ismail (National Academy of Arts, Culture, dan Warisan, Malaysia).
Kongres juga dibahani dengan diskusi panel dengan narasumber DR Fachry Ali (cendekiawan), Dr. Mustafa Abubakar (Ketua Diaspora Global Aceh dan mantan Menteri BUMN), Ismail Rasyid (pengusaha nasional asal Aceh), dan Reza Idria dari UIN Ar Raniry Banda Aceh. Dalam kesempatan itu, ada pula pembacaan pidato Prof AD Pirous oleh arsitek asal Aceh di Bandung, DR Kamal A Arief.
Kongres Peradaban Aceh 2024 adalah kedua kalinya dan merupakan kelanjutan Kongres Peradaban Aceh pada 2015. KPA diinisiasi oleh sejumlah diaspora Aceh di Jakarta yang berkolaborasi dengan sejumlah tokoh muda di Aceh. KPA 2015 dimulai dengan diskusi terpumpun di Jakarta, lalu prakongres dan kongres di Banda Aceh. Kongres diinisiasi oleh diaspora Aceh di Jakarta.
DR Ahmad Farhan Hamid, salah satu inisiator kongres, menjelaskan bahwa KPA 2024 merupakan hasil kolaborasi pemikiran dan gagasan dari para penggagas awal seperti dirinya, seniman Fikar W Eda, Mustafa Ismail, dan tokoh-tokoh Aceh dari berbagai bidang seperti Prof Wildan, Prof Mohd Harun, Prof DR Kamaruzzaman Bustamam Ahmad, Yarmen Dinamika, Al Munzir, Piet Rusdi, dan DR Adli Abdullah. “Mereka duduk di tim pengarah dan telah memberi warna dan muatan penting kongres kali ini,” ujarnya.
Farhan berharap Kongres 2024 ini menghasilkan rekomendasi strategis untuk memperkuat seni dan budaya Aceh. “Kami mengharapkan peserta kongres berhasil memetakan berbagai persoalan seni dan budaya dan melahirkan solusi strategis untuk memajukannya.”