humaniora.id –
Kartini, Antara Inspirasi dan Beban Diri
Ketika Aku lahir hingga dewasa, jiwa Kartini sudah diperkenalkan.
Dari belajar makan, berjalan dan berbicara.
Sejak itu aku mengenal sosok Kartini pada diri seorang ibu.Gendhuk kamu harus belajar.
Gendhuk kamu harus punya cita-cita.
Gendhuk kamu jadi harapan orang tua.Betapa berat jalan yang harus aku tempuh.
Dalam proses penggemblengan jadi Kartini.
Wanita harus bersaing dengan lelaki.
Dalam segala hal, wanita berhak untuk lebih maju dari lelaki.Tanpa pikir panjang siapa itu lelaki.
Aku harus menjadi terdepan.
Yang jelas aku ingin wujudkan.
Bahwa wanita tidak boleh bodoh, cengeng dan lemah.Ketika sosok wanita sudah berkeluarga.
Beban tambah berat.
Wanita dan pria berdampingan.
Membentuk suatu keluarga.Peran ibu menjadi ganda.
Pendamping suami, mengatur rumah tangga.
Membesarkan dan mendidik anak.
Berkarya dan berkarier.Seberat apapun harus dijalankan.
Dengan bertaqwa dan ijin Tuhan.
Wanita harus tegar dan kuat imannya.Wanita akan lebih mulia.
Bila putra putrinya menjadi anak yang sholeh dan sholekhah.
Menjadikan suami iman dan betah di rumah.Tempat suami berkeluh kesah.
Tempat bersimpuh ketika anak resah.
Selamat berjuang wanita.
Kamu adalah penerus Kartini.Berakit-rakit ke hulu berenang renang ke tepian.
Bersakit-sakit dahulu.
Kemenangan diraih kemudian.
Menyibak mendung
Habis gelap terbitlah terang.
Inilah sekelumit puisi yang bisa penulis persembahkan saat ada momen memperingati hari Kartini, 21 April di setiap tahunnya.
Puisi ini mengingatkan pada sosok RA Kartini seorang yang hidup dalam kemewahan, tetapi dalam dirinya butuh pencerahan agama. Kartini tidak puas dengan hanya bisa membaca Al-Qur’an saja, maka beliau dipertemukan dengan seorang guru ngaji yaitu KH. Sholeh Darat. Kartini dikenal sebagai keluarga santri priyayi dan tekun dalam beragama serta dedikasi kuat dalam menjalankan pemerintahan.
RA Kartini adalah contoh santriwati Simbah KH. Sholeh Darat. Kartini tidak puas belajar Al-Qur’an hanya mengeja dan membaca saja, sepertinya terasa hampa.
Menurut Kartini, kalau belajar membaca Al-Qur’an dengan model mengeja dan membaca saja, akan menjadikan orang Islam tidak mengetahui mutiara hikmah yang terkandung dalam Al-Qur’an.
Ketika Kartini meminta kepada gurunya saat sebelum ketemu Simbah Sholeh Darat untuk mengajari makna hikmah yang ada di Al-Qur’an, Kartini malah dimarahi dan tidak diperkenankan. Saat itulah Kartini selalu gelisah dan terus gelisah.
Kartini memberontak, merasa dirinya belum tahu isi kandungan yang ada di dalam Al-Qur’an. Bahasa Inggris, Perancis dan bahasa Belanda saja ia bisa lalap dengan baik, tapi bahasa dalam Al-Qur’an bahasa agamanya yang berbahasa Arab tidak ia kuasai. Maka pertemuan Kartini dan KH. Sholeh Darat bisa menjawab kegelisahan hati. Sosok KH. Sholeh Darat adalah sosok guru yang selalu dia cari dan dambakan.
Itulah sekelumit kisah RA Kartini yang selalu menjadi inspirasi bagi penulis.
Nurul Azizah, penulis buku Muslimat NU Militan Untuk NKRI.