Jakarta, humaniora.id – Dalam edisi ke-34 Kajian Etika dan Peradaban, diskusi bertajuk “Otoritarianisme dan Kebebasan dalam Pembangunan di Negara-Negara Muslim” menarik perhatian banyak peserta di Hotel Ambhara, Jakarta. Acara yang digelar pada Senin (23/12/2024) ini menghadirkan dua pemikir terkemuka, Luthfi Assyaukanie, Ph.D dari Universitas Paramadina dan Dr. Sunaryo, untuk berbagi wawasan mendalam tentang dinamika otoritarianisme, kebebasan, serta model pembangunan di negara-negara Muslim.
Kebangkitan China: Alternatif Peradaban Barat?
Luthfi Assyaukanie membuka diskusi dengan topik menarik mengenai kebangkitan China sebagai alternatif peradaban Barat. Menurut Luthfi, meskipun China memiliki peradaban yang sangat tua dan sistem pemerintahan yang terorganisir dengan baik, keberlanjutan model otoritarianisme negara tersebut tetap menjadi bahan perdebatan yang hangat. Ia mengutip pandangan John Mearsheimer, yang menekankan bahwa meski negara otoriter sering kali terlihat kuat di luar, mereka rentan secara internal.
Luthfi juga mengapresiasi pandangan ekonom Keyu Jin, yang menawarkan perspektif unik terkait peradaban Timur dan Barat. Keyu Jin, anak dari seorang mantan Perdana Menteri China dan tokoh Partai Komunis, membawa pandangan segar mengenai perang dagang dan kebangkitan China di panggung dunia. Pandangan ini membuka wawasan baru mengenai bagaimana negara besar seperti China membangun kekuatan ekonomi dan politiknya di tengah ketegangan internasional.
Pembangunan Berkelanjutan: Keterbukaan Ekonomi Negara-Negara Muslim
Dalam diskusi tersebut, Luthfi menekankan pentingnya keterbukaan ekonomi bagi negara-negara Muslim sebagai kunci untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan. Ia merujuk pada berbagai strategi pembangunan nasional yang sudah dirancang oleh negara-negara seperti Vision 2030 dari Arab Saudi, Indonesia Emas 2045, serta Continental 2071 dari Uni Emirat Arab, yang menunjukkan bahwa visi ekonomi yang terarah dapat mengantarkan negara-negara tersebut menuju kemajuan yang lebih pesat.
Luthfi berpendapat bahwa keterbukaan ekonomi dan partisipasi aktif dalam perdagangan global merupakan langkah strategis untuk meningkatkan daya saing dan mendukung pembangunan yang berkelanjutan di kawasan tersebut. Dengan menciptakan ekosistem ekonomi yang terbuka, negara-negara Muslim dapat mengatasi tantangan besar yang dihadapi dalam memajukan perekonomian mereka.
Kebebasan Sebagai Inti Pembangunan: Pandangan Amartya Sen dan Soedjatmoko
Dr. Sunaryo, dalam bagian kedua diskusi, mengangkat pandangan filosofis dari Amartya Sen dan Soedjatmoko, yang menekankan pentingnya kebebasan dalam pembangunan. Dalam bukunya “Development as Freedom” (1999), Amartya Sen mengartikan pembangunan sebagai perluasan kapabilitas individu untuk menjalani hidup yang lebih bernilai. Menurutnya, pembangunan yang sesungguhnya bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga soal kebebasan untuk membuat pilihan hidup yang berarti.
Sementara itu, Soedjatmoko, dalam bukunya “Development and Freedom” (1984), menekankan pentingnya pembangunan yang demokratis dan mendukung kebebasan masyarakat untuk berpartisipasi dalam menentukan arah pembangunan. Bagi Sunaryo, kebebasan ini adalah kunci untuk menciptakan pembangunan yang inklusif dan berbasis pada aspirasi masyarakat.
Pentingnya Partisipasi Masyarakat dalam Proses Pembangunan
Dr. Sunaryo juga menekankan bahwa partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan adalah hal yang sangat penting. Ia percaya bahwa pendidikan merupakan fondasi utama untuk mewujudkan pembangunan yang humanis, dengan mengembangkan kapasitas penalaran dan memberikan arah yang jelas untuk masa depan negara. Selain itu, pendidikan yang berkualitas dapat menciptakan masyarakat yang kritis dan mampu membuat keputusan yang lebih baik untuk pembangunan yang berkelanjutan.
Dr. Sunaryo juga mengingatkan pentingnya sinergi antara negara dan masyarakat sipil dalam menentukan arah pembangunan. Ia mengingatkan kita untuk menghindari jebakan budaya yang bisa mendehumanisasi, seperti feodalisme, yang dapat menghambat kemajuan dan kesejahteraan masyarakat.