Humaniora.id – Pusat Data Nasional (PDN) dibangun secara terburu-buru, hampir sama proyek besar lain di negeri ini juga dibangun secara tergesa-gesa. Pembangunan fisik yang dikebut, tentu berbeda karakter dan konsekuensinya dengan pembangunan sistem pusat data digital nasional.
Pembangunan yang harus cepat itu berdasar Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2022 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Pusat Data Nasional.
Ada beberapa poin di dalam Inpres ini :
1. Percepatan Pembangunan, agar kementerian dan lembaga mempercepat pembangunan infrastruktur Pusat Data Nasional hingga segera dapat dioperasikan.
2. Koordinasi dan singkronisasi kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah dalam pembangunan dan pengelolaan Pusat Data Nasional.
3. Penggunaan Teknologi Modern dan terkini dengan memastikan keamanan, kehandalan, dan efisiensi pengelolaan data.
4. Pentingnya keamanan data dalam Pusat Data Nasional, mengingat sensitivitas dan pentingnya data tersebut.
5. Penyediaan Anggaran.
6. Pelaporan dan Evaluasi dengan laporan secara berkala kepada Presiden dan memastikan proyek berjalan sesuai rencana dan target.
Karena Instruksi itu maka seperti biasa proyekpun dikerjakan dengan serba segera dan cepat. Sebenarnya PDN sudah direncanakan dan dimulai dikerjakan era Jhonny G Plate. Namun nampaknya banyak kendala hingga menkominfo kena kasus korupsi.
Pembangunan diteruskan, tapi tidak melanjutkan rencana awal Menteri Jhonny Plate melainkan membangun pusat data nasional sementara (PDNS) lebih dulu sebagai sarana transisi.
Pusat Data Nasional (PDN) direncanakan ada di 4 tempat, Batam, Cikarang, IKN dan Labuhan Bajo. Cikarang sempat dibangun tapi belum selesai, lalu muncul konsep transisi PDNS yang harus segera bisa beroperasi. Maka digunakanlah server milik Telkom Sigma di Surabaya untuk menjadi PDN Sementara. Targetnya Agustus 2024 ini bisa diresmikan Presiden.
Sebagai sebuah project yang sudah disiapkan dananya, tentu komponen Kominfopun gercep segera mewujudkan PDNS itu. Baku lincah membelanjakan anggaran sudah dilakukan untuk mengejar target sesuai instruksi Presiden.
Padahal sistem tata kelola, kelembagaan dan kultur menjaga data nasional secara handal, aman, dan harus beroperasi sebagaimana mestinya belum terbentuk. Belum siap secara detail. Apalagi soal kedaulatan digital, tak banyak dilakukan. Aktivitas Kominfo lebih banyak bergerak di hal hal teknis keseharian.
Jadilah pusat data sementara itu rapuh, sistemnya tak solid, keamanan tidak terjamin, tapi “dipaksakan” beroperasi.
Ibarat pusat data itu adalah rumah gudang penyimpanan harta, ternyata pagar pengaman digitalnya belum kuat, dan telah dimasuki orang, diacak acak, hartanya dirusak, dan dijual isinya. Kunci rumah itu dikuasai maling, si pemilik yg berhak tidak bisa masuk ke dalamnya. Saat pembobolan gak jelas siapa petugas yg menjaga, siapa satpamnya, siapa pemegang kunci utamanya. Serba belum jelas karena sistem belum matang dan teruji.
Hanya rumah itu sudah ada. Sudah dicat. Sudah diisi harta yg tak ternilai di dalamnya. Harta berupa data untuk kepentingan sekarang dan masa depan. Rencananya bulan Agustus 2024 mau diresmikan.
Agar jadi tonggak sejarah warisan, yang menunjukkan ada tokoh berjasa yang menyatukan dan mengamankan harta masa depan yaitu data nasional.
Namun apa daya, harta itu telah dicuri, diacak acak dan diambil kuncinya. Konon kunci sudah dikembalikan, tapi malah jd pertanyaan, apa target peretas sudah tercapai? Apa ada deal di balik itu semua?
Lalu apa yg harus dilakukan setelah reputasi digital pemerintah rusak? Siapa harus tanggung jawab?
Itulah hasil negeri yang dibangun dengan serba tergesa gesa. Dipimpin oleh presiden yang ingin semua dibuat serba cepat. Bangunan fisik mungkin bisa dibangun cepat, tapi sistem tata kelola data tentu membutuhkan tak hanya faktor fisik dan teknologi, tapi juga kultur, mekanisme hingga kapasitas dan integritas Sumber Daya Manusianya yang menangani.
Suksesi pemimpin nasional dan IKN masih bisa dibuat lewat jalur Fastrack, atau percepatan. Efek buruknya baru akan terasa nanti. Untuk Sistem Pusat Data Nasional tak semudah yang dibayangkan. Baru pusat data sementara saja sudah amburadul, kalau tetap dipaksakan di tangan yg bukan ahlinya ya tinggal tunggu hancurnya. Presiden Jokowi selama ini asal asalan menunjuk orang yang harus menangani urusan straregis bidang digital untuk masa depan ini. Maka menangani persoalan PDN harus dikembalikan lewat proses secara benar dan sesuai perundangan. Jangan biarkan bangsa ini “gedandapan” ingin serba cepat tapi justru merugikan masa depan. Jangan hanya karena mengikuti ambisi dan keinginan yg sedang ada di pucuk pemerintahan, lalu semuanya dikerjakan asal-asalan.
Prof Henri Subiakto, Guru Besar Unair Surabaya
Podcast dengan Rocky Ferung dan teman-teman PKS kali ini, kami membahas isu strategis itu. Di akhir podcast Rocky minta Menteri Kominfo mundur. Saya bilang bukan menterinya tapi Presidennya yg harus paling bertanggung jawab secara moral bahwa dia selama ini tidak paham betapa strategisnya persoalan ke Kominfoan.