humaniora.id – Menyoal industri perfilman nasional tak cukup bicara tentang eksistensi rumah produksi (production house), gedung bioskop dan industri pertelevisian.
Menyoal dunia perfilman berarti sekaligus berbicara mengenai eksistensi organisasi profesi dan lembaga perfilman.
Sejak diakui adanya dunia perfilman Indonesia, berangsur tumbuh berbagai lembaga atau organisasi independen yang membawahi bermacam spesialisasi profesi para insan film. Salah satu diantaranya adalah KFT (Karyawan Film Televisi Indonesia).
Tentu masih ada lembaga atau organisasi dunia perfilman Indonesia lainnya, baik yang terdata maupun belum.
Pada intinya pembentukan semua wadah ini lebih dilandansi atas dasar kesadaran — meski masing-masing lembaga atau organisasi profesi insan perfilman berbeda — tetapi mempunyai tujuan yang sama; “Bagaimana memajukan dan menyikapi berbagai permasalahan dunia perfilman nasional.”
KFT (Karyawan Film Televisi Indonesia) segera menggelar Kongres Ke-XV yang dilaksanakan di Gedung Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail (PPHUI), Kuningan Jakarta, Senin – Kamis, 2 – 5 Desember 2024.
Hal ini sesuai amanat Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD dan ART), bahwa kepengurusan dapat dipilih kembali melalui kongres, setelah masa kepengurusan KFT Periode 2019 – 2024 telah berakhir.
Berdasarkan Surat Keputusan Pimpinan KFT Nomor 023/SK-KONGRES XV/PO-KFT/VI 2024 Tentang Penetapan Panitia Kongres ke-XV, telah terbentuk Panitia Kongres Ke-XV KFT Tahun 2024, dengan tema penyelenggaraan “Kita Sehati Seprofesi, Yes !”
Menetapkan Naswan Iskandar selaku Ketua Steering Committee (SC), dan Ronny Mepet sebagai Ketua Organizing Committee (OC) Kongres Ke-15 KFT (Karyawan Film Televisi Indonesia).
Menjelang pelaksanaaan Kongres Ke-XV KFT tersebut, telah terdaftar dua kandidat calon Ketua Umum KFT (Karyawan Film Televisi Indonesia) Masa Bakti 2024 – 2028, yaitu Budi Sumarno, CFDoc, CFMIP, nomor KTA : 2683/B/14/XIV/2024 dan Indrayanto Kurniawan, M.Sn., CFD, nomor KTA : 2658/B/13/XIV/2024.
Menurut sutradara senior Maruli Ara, sebagai organisasi tertua KFT memiliki pengaruh besar dalam membentuk standar profesionalisme dan etika kerja untuk industri film.
“KFT aktif menjaga keberlanjutan budaya film Indonesia melalui pendidikan dan pengembangan bakat baru. KFT perfilman menjadi sektor penting dalam budaya dan ekonomi Indonesia,” ujar sutradara yang pernah dinobatkan sebagai Sutradara Terpuji Festival Film Bandung tahun 2001 ini.
KFT (Karyawan Film Televisi Indonesia) salah satu organisasi profesi beranggotakan ribuan pekerja di industri film dan televisi di Indonesia.
Menurut Naswan Iskandar, sebagai Ketua Steering Committee (SC) Kongres Ke-XV, KFT berkontribusi menciptakan ekosistem perfilman lebih dinamis, berkualitas, dan berdaya saing di tingkat global.
“KFT punya komitmen kuat sebagai wadah kolaborasi, advokasi, dan peningkatan kapasitas pekerja di sektor film dan televisi. Kami mendorong standar profesionalisme, meningkatkan kompetensi, dan berupaya mengembalikan marwah KFT,” ujar Naswan Iskandar.
Menurut Ketua Organizing Committee (OC) Kongres Ke-XV KFT, Ronny Mepet, KFT aktif mengadvokasi berbaga kebijakan Pemerintah.
“Termasuk mendukung produksi film dan televisi, dan para sineas, termasuk sutradara, produser, aktor, penulis naskah, teknisi, kameramen dan pekerja lainnya. KFT juga menjadi mediator antara kita dan pihak-pihak produksi agar merasakan kondisi kerja yang adil dan layak,” ujar Ronny Mepet.
KFT : Pekerja Film, Elemen Penting Pencapaian Estetika
Karyawan Film Televisi Indonesia (KFT), adalah organisasi pembuat film Indonesia yang anggotanya antara lain sineas profesional, meliputi; Penulis Skenario, Sutradara, Penata Kamera, Penata Cahaya, Penata Artistik, Penata Suara, Penata Musik, Editor, Produser, Manejer Produksi dan profesi lainnya yang masih terkait dengan industri perfilman.
KFT didirikan pada tanggal 22 Maret 1964, di sebuah ruangan di lantai 4 Gedung Pola, Jl. Pegangsaan Timur No.56 Jakarta. Pada waktu itu berkumpul beberapa orang film dan televisi, guna merumuskan berdirinya sebuah organisasi insan perfilman hingga disepakati berdirinya KFT.
Insan film dan televisi tersebut, diantaranya; Asrul Sani, Sumardjono, D.Djajakusuma, MD. Alif, Amura, Max Tera, R. Sutrisno, H.T Djamil, H.M.E. Zainudin, Sutomo Gandasubrata, J. Marzuki, Chalid Arifin, Rahman Ramali, Lie Gie San, Trisno Juwono, R. Suyadi, SK. Syamsuri dan Pietrajaya Burnama. Salah satu komitmen KFT saat itu, organisasi ini tidak berafiliasi ke salah satu partai politik tertentu.
Gedung Pola, Jl. Pegangsaan tempat KFT dideklarasikan, di tempat itu pula peristiwa bersejarah teks Proklamasi dikumandangkan oleh Presiden RI Pertama, Ir. Soekarno bersama Bung Hatta, dalam rangka Kemerdekaan Republik Indonesia. Maka KFT juga dilahirkan dengan semangat yang sama “Untuk Hidup Merdeka.” Dalam konteks kekinian, kemerdekaan adalah kebebasan berkarya dan berekspresi, dengan iklim yang sehat, kondusif, layak adil dan demokratis.
Anggota KFT adalah para sineas Indonesia yang sudah memiliki kemampuan dan hasil karya, baik di dalam negeri maupun Internasional. Jumlah anggota KFT waktu itu sekitar 800 orang dari berbagai kelompok profesi.
Pengurus KFT untuk yang pertama kali, Ketua Umum terpilih adalah Sumardjono (Tahun 1964-1978). Sekretaris dan Bendahara (R. Sutrisno), Ketua Departemen Film (MD Alif) dan Ketua Departemen Televisi (H.M.E Zainudin).
Selanjutnya yang menjabat sebagai Ketua Umum adalah Misbach Yusa Biran (1978 s/d 1984 – 1987 s/d 1991), Fritz G. Schadt (1984 s/d 1987), Sophan Sophian (1991 s/d 1995) Slamet Rahardjo (1995 s/d 2003), Enison Sinaro (2003 s/d 2007) dan Adityawarman (2007).
Setelah itu Ketua Umum KFT dijabat oleh Berty Lidya (2009-2014), Febriyan (2015-2019), dan Gunawan Paggaru (2019 – hingga sekarang).
Seperti organisasi insan perfilman lainnya, dalam sejarahnya KFT juga memiliki kontribusi besar terhadap upaya menumbuhkan dan memajukan perfilman Indonesia. KFT sebagai organisasi filmmaker banyak mencetuskan ide dan gagasan, memprakarsai, memberi inspirasi dan ikut mendukung berbagai aktivitas kehidupan perfilman Indonesia.
Para tokohnya banyak menjadi pemimpin, pemikir dan figur inovatif bagi perfilman secara nyata. Terselenggaranya Festival Film Indonesia (FFI) adalah salah satu bukti nyata keikut sertaan orang penting KFT. Bahkan piala Citra yang menjadi lambang supremasi peraihan pencapaian prestasi tertinggi di bidang perfilman Indonesia adalah dibuat oleh insan KFT.
Potensi Kreatif Perfilman
Pekerja kreatif, sineas atau filmmaker adalah suatu elemen penting dalam penentuan capaian kualitas dan pengembangan perfilman. Kesadaran akan hal ini harus terus ditumbuh kembangkan dengan serius dan sistematis. Seberapa kuat modal yang disiapkan untuk membuat film, tetapi bilamana tenaga pekerja kreatif yang tersedia kurang memenuhi persyaratan professional, maka usaha pembuatan film tidak akan optimal.
Karena itu, asas dan prinsip pengaturan bahwa dalam pembuatan film Indonesia harus dilakukan oleh tenaga keratif yang diakui dan terpertanggungjawabkan dalam ukuran yang jelas perlu diwujudkan dan didukung secara serius. Organisasi KFT pada perkembangannya bahkan sudah cukup maju dengan membuat “akreditasi” dengan mengeluarkan “lisensi profesi” untuk para kreator film yang diakui dan bertanggungjawab.
KFT- Asosiasi Sineas Indonesia (ASI)
KFT sempat mengalami masa keemasan, di mana organisasi ini berhak merekomendasikan anggota kepada pihak perusahaan film. Hal ini dikuatkan dengan peraturan dari Departeman Penerangan, bahwa produksi film tidak akan berjalan jika tidak ada rekomendasi dari KFT. Ditambah lagi di tahun 1975 hingga tahun 1987 ada Peraturan SK 71, di mana para importir film wajib memproduksi film nasional. Dengan komitmen para pekerjanya atau kru produksinya dari anggota KFT.
Oleh karena itu, untuk meningkatkan profesionalisme para anggota dan menunjang berbagai kebijakan tersebut, KFT menyelenggarakan pendidikan sinematografi. Tahun 1979 dibentuklah Kursus Elementer Sinematografi, yang saat ini bernama Kursus Pendidikan Umum (KPU) Sinematografi.
Kursus tersebut meliputi pendidikan penyutradaraan, pengetahuan teknik film, manajemen produksi dan lain-lain. Sebelumnya KFT sempat menyelenggarakan Kino Workhsop Sinematografi yang diadakan pada tahun 1974.
Di era reformasi yang cenderung ke pasar bebas, kemudian menyadari KFT sudah tidak memiliki kekuatan rekomendasi untuk menghimpun anggotanya – maka sejak rapat paripurna Persiapan Kongres, muncul aspirasi untuk mengartikan karyawan menjadi pekerja film atau Film Maker.
Nama KFT selanjutnya ditambah ASI (Asosiasi Sineas Indonesia). Penambahan tersebut sebagai jawaban atas keinginan sebagian besar anggota angkatan muda yang menginginkan kata ‘Film Maker’ atau ‘Pekerja Film.’ Hal ini sesuai dengan kesepakatan pada rapat kongres Panitia AD HOC.
Sebagai organisasi yang independen, sejak reformasi KFT-ASI tidak mendapat subsidi pendanaan dari Pemda DKI Jakarta. Sehingga untuk menggulirkan roda organisasi KFT menjadi tertatih-tatih. Keberadaan KFT pun semakin meredup, apalagi produksi film nasional sepi. Ditambah lagi dengan dihapusnya sistem rekomendasi dan dibubarkannya Departemen Penerangan. Secara perlahan fungsi KFT melemah.
Munculnya para pekerja film yang bukan anggota KFT justru semakin membuat organisasi menjadi tidak penting buat para produser. Hal ini yang menyebabkan tidak ada lagi yang dapat mengontrol kualitas pekerja film atau sinetron. Sehingga banyak film dan sinetron yang hasilnya tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Namun demikian apa yang menjadi visi dan misi KFT-ASI tetap harus dijalankan. Yaitu menjadikan KFT-ASI sebagai organisasi profesi para sineas di Indonesia yang profesional. Selanjutnya KFT-ASI dapat lebih memberdayakan, melindungi karya dan kekaryaan Anggota KFT-ASI yang profesional untuk mencapai kesejahteraan./*