Humaniora.id, Surabaya – Dari hasil saya berdiskusi ringan dengan teman teman di berbagai daerah, ada cerita dari desa-desa di Jawa. Yaitu munculnya fenomena demokrasi nyangoni.
Dewasa ini sebagian besar warga masyarakat itu enggan ikut beri suara dalam Pemilu ataupun Pilkada, karena mereka merasa tidak punya kepentingan langsung, dan kekecewaan terhadap keadaan yang buruk karena maraknya korupsi. Mereka mau pergi memberi suara jika ada pihak yg “nyangoni”, memberi uang jalan, atau ada yang ninggali rejeki pada mereka. Tanpa ada sangu (uang jalan), banyak warga memilih lebih baik tinggal di rumah atau pergi ke sawah dari pada datang ke TPS memberikan suara dalam Pilkada. Ada kecenderungan mereka enggan terlibat partisipasi urusan politik. Dengan itu terjadilah fenomena gerakan “jor-joran nyangoni dan ninggali warga”, yang dilakukan oleh para relawan tim sukses masing-masing paslon di tingkat desa.
Dengan maraknya gejala seperti itu, amunisi dana yang dimiliki partai dan tim sukses paslon menjadi sangat penting sebagai energi untuk menggerakkan fenomena politik ini. Jika calon memiliki kekuatan politik yg berlimpah dana, maka mereka memiliki kesempatan lebih besar dan lebih banyak dalam mendulang suara dari pada yang tidak punya dana atau dananya hanya terbatas.
Aktivitas nyangoni tersebut telah menjadi sebuah kebiasaan, bahkan tradisi sebagai “kegotong royongan” warga dalam praktek sosial politik di desa desa. Nyangoni menjadi tanda perhatian para elit di atas kepada rakyat kecil, yg penyaluran uang sangunya dilakukan aktivis aktivis partai di akar rumput. Para aktivis politik di desa itulah yang jadi ujung tombak mencari suara dari masyarakat desa yg makin pragmatis.
Maka sebenarnya siapa yang menang dalam Pileg, Pilpres dan Pilkada, sering terjadi bukan semata mata karena faktor personal kekuatan baik tidaknya figur calon yang berkontestasi. Bukan pula karena faktor dukungan partai identifikasi berdasar ideologi. Kemenangan politik calon dalam pemilihan itu banyak variabel yang menentukan atau mempengaruhi. Selain faktor personal figur sosok pemimpinnya, ada faktor komunikasi, faktor ideologi politik dan histori. Nah sekarang ini ditambah faktor dana amunisi untuk nyangoni agar warga bersedia pergi ke TPS lalu memilih figur yang menyeponsori.
Pengawasan, penegakkan hukum yang harusnya menjaga agar pemilihan bisa berjalan dengan jujur dan adil, nampaknya makin jauh dari kenyataan. Tak sedikit aparat pengawas pemilu dan oknum penegak hukum malah berperilaku tidak netral atau membiarkan praktek praktek gotong royong uang sangu dan ninggali tetap terjadi. Bahkan munculnya manipulasi suarapun juga berpotensi. Hanya di wilayah yang warganya memiliki kesadaran politik tinggi, hal demikian bisa terhindari. Terutama di Perkotaan seperti di DKI dan kota kota besar negeri ini.
Itulah demokrasi transaksional yang sekarang sedang terjadi, termasuk di kalangan akar rumput di beberapa daerah pedesaan negeri ini. Maka tidak heran jika gara gara demokrasi politik model begini menyebabkan kontestasi politik Pemilu dan Pilkada menjadi berbiaya sangat tinggi. Hanya mereka yang punya dana besar atau punya akses ke sumber sumber keuanganlah yang berani ikut kontestasi, hingga bisa berhasil dapat banyak dukungan partai, dan dukungan suara dari para pemilih yang makin perhitungan. Tanpa dana besar fenomena kartelisasi partai dan politik uang tak bisa dilakukan politisi.
Dengan keadaan politik demikian, hendaknya tidak usah terlalu bangga bagi mereka yang memenangkan politik Pilkada dalam demokrasi transaksi yang terjadi seperti sekarang ini. Bagi saya sistem demokrasi kita ini harus terus dikoreksi dan diperbaiki. Agar yang terpilih menjadi pemimpin itu betul betul karena berkualitas tinggi, bukan yang jadi pemimpin karena didukung kekuatan dana besar sebagai energi dan amunisi, atau tidak pula yg menggunakan uang uang haram atau dana korupsi, untuk membeli suara warga negeri ini.
Apakah di lingkungan desa Anda juga ada tanda tanda terjadi seperti ini? Monggo dikomentari.
Prof Dr Henri Subiakto pakar hukum komunikasi Unair Surabaya