humaniora.id – Selasa, 18 Juli 2023 malam, bertempat di Omah Wulangreh Kemang Jakarta Selatan, para penggiat budaya mengadakan peringatan malam tahun baru Suro (Muharam) dalam kemasan JAGONGAN yaitu silaturahmi budaya. Acara yang diselenggarakan secara sederhana tersebut dihadiri 75 orang yang terdiri dari penari dan penggiat budaya dari berbagai profesi.
Musisi Anda Wardana yang sekaligus pendiri Omah Wulangreh dalam sambutan pembukanya mengajak teman teman yang hadir untuk sejenak berhenti dari cepatnya jaman, lungguh anteng (duduk tenang), untuk selamatan sederhana sembari menyaksikan tari Bedhayan oleh Sahabat Omah Wulangreh dan Swargaloka. Menurutnya dalam perkembangan jaman, malam satu Suro banyak sekali dipandang sebagai hari yang menyeramkan, penuh dengan nuansa klenik dan hal hal yang kurang baik lainnya. Ya karena hal yang berbau “klenik”, isu ini di Asia laku sekali dan banyak peminatnya, baik yang pro maupun kontra. Padahal, peringatan Malam 1 sura justru punya nilai yang berbeda. Malam 1 Suro biasa digunakan untuk hening semalam, meditasi, tafakur atau sebutan lainnya yang menitikberatkan ke instropeksi diri disertai dengan harapan untuk beroleh berkah, keselamatan bagi semua makhluk. “Laku Prihatin”, bisa dikatakan adalah inti dari peringatan Malam 1 Suro, “Cegah dhahar lawan Guling” (mengurangi makan dan tidur). Sembari menyaksikan kesenian tradisi berupa wayang dan kesenian lainnya, sebagai media “ngelmu”/ mencari ilmu hidup menuju yang lebih baik. ngruwat, merawat diri supaya selamat, sambung Anda Wardana.
Kegiatan budaya di Omah Wulangreh yang berlangsung dari pukul 21.30 hingga jam 00.00 wib tersebut dipandu oleh pendiri Swargaloka, Suryandoro. Acara diawali dengan bertafakur dipimpin oleh Anda Wardana. Dalam bertafakur, seniman senior Dewi Sulastri melantumkan suluk bernuansa magis karya Sunan Kalijaga yaitu Pangkur Kalasinggah. Tembang tolak balak yang dilantumkan dengan penuh penghayatan tersebut membawa suasana acara JAGONGAN menjadi hikmad dan sakral. Kemudian disusul dengan sajian tarian “Bedhayan Wulangreh” yang ditarikan oleh siswa tari Wulangreh Omah Budaya dengan penata tari Dewi Sulastri dan penata musik KRT. Radyodipuro (Ki Suwito Radyo). Bedhayan Wulangreh yang diprakarsai oleh Anda Wardana ini mencerminkan sebuah ajaran luhur untuk menuju kesempurnaan hidup. Dalam tarian tersebut diungkapkan secara simbolik ajaran tentang berperilaku baik dalam kehidupan, yang menyiratkan hubungan baik antara manusia dengan manusia, juga hubungan yang harmoni antara manusia dengan Sang Pencipta.
Sajian berikutnya adalah tari “Bedhayan Angger-Angger Sewelas” yang ditarikan para siswa dari Swargaloka, dengan penata tari Dewi Sulastri dan penata gendhing Ki Joko Riyanto. Bedhayan “Angger-Angger Sewelas” berisi ajaran moral yang bersumber dari Romo Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo, atau yang dikenal dengan nama sebutan Raden Gunung. Ajaran tersebut berisi tujuh kewajiban dan empat larangan. “Angger-Angger Sewelas” mengajak kita semua untuk patuh kepada TuhanNya, berbakti kepada orang tua, bertanggung jawab, taat kepada aturan, peduli pada sesama dan menghindari perbuatan tercela. Dengan melaksanakan hal tersebut niscaya diakhir hayat kita akan meninggalkan nama baik dan selamat dunia akherat.
Setelah penampilan dua tarian Bedhayan, acara JAGONGAN dilanjutkan dengan dialog. Tia yang mewakili penari mengungkapkan bahwa saat membawakan tarian Bedhayan Wulangreh pada acara ini hatinya terselimuti rasa kebahagiaan, sehingga ia dan teman-teman penari lainnya merasa tentram dan damai. Sementara Indah dan Anin siswa tari yang ikut menonton ketika menjawab pertanyaan Dewi Sulastri sang pelatih tarinya menyampaikan alasan kenapa dirinya ikut belajar tari Jawa. Menurutnya sebenarnya hanya coba-coba namun ketika sudah mengenal dan merasakan tarian Jawa dirinya tercerahkan dengan gerak tari Jawa yang dalam menarikan perlu kesabaran, keuletan dan ketelatenan. Rasa gerak tari Jawa yang halus mempengaruhi dirinya untuk berperilaku lebih bertatakrama dengan selalu menjaga sopan santun dalam kehidupan. Anisa yang juga siswa tari di Wulangreh Omah Budaya menanyakan tentang tarian dan makna tari Bedhaya yang kadang sulit dicerna secara kasat mata untuk dapat menangkap cerita atau pesan yang disampaikan. Suryandoro, selaku pemandu acara menyampaikan bahwa untuk menangkap pesan dari tarian klasik yang simbolik diperlukan ilmu dan waktu untuk mempelajari tentang latar belakang tarian, makna koroegrafi dan makna gerak, gending yang mengiringi beserta makna syair tembang yang menyertai. Ketika melihat tarian klasik yang paling utama adalah bagaimana agar kita bisa membawa diri untuk dapat merasakan energi dalam tarian yang agung dan penuh filosofi tersebut.
Setelah dialog budaya, acara JAGONGAN dilanjutkan dengan mempergelarkan tari “Bedhayan Dewi Sri”, sebuah tari monumental karya Dewi Sulastri yang diciptakan 20 tahun yang lalu, dengan penata musik KRT. Radyodipuro. Bedhayan Dewi Sri berisi ajaran tentang ilmu Sangkan Paraning Dumadi yaitu tentang perjalanan hidup manusia dari lahir hingga wafat. Tarian ini menyiratkan tentang perlunya kita menghargai waktu. Karena didunia ini bila kita tidak dapat memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya maka kita akan dimakan oleh Bathara Kala, raksasa ganas yang membawa kita menuju kehancuran.
Makna tari dari Bedhayan Dewi menjadi renungan para peserta agar setelah acara JAGONGAN malam tahun baru 1 Suro 1445 Hijriah dapat menata kehidupan dengan lebih baik. Tepat pukul 00.00 wib, acara diakhiri dengan doa bersama dan pemotongan tumpeng. Doa dipimpin oleh pemandu acara Suryandoro. Doa dikemas dengan melantumkan Kidung Sarira Ayu oleh Dewi Sulastri. Kidung Sarira Ayu adalah doa ditengah malam, agar kita semua kuat dan terbebas dari segala penyakit. Terbebas dari segala petaka, Jin dan setanpun tidak berani mendekat. Segala jenis sihir menyingkir. Apalagi perbuatan jahat, guna-guna akan sirna. Api menjadi air, pencuri menjauh dan segala bahaya lenyap.
Semoga
Jakarta, 19 Juli 2023
SURYANDORO