humaniora.id – Istana Lima Laras mestinya dapat menjadi pembuka ingatan kita dari kehidupan sebelumnya. Darimana kenangan masa lampau ini berasal. Kemana kemudian kehidupan ini menuju. Istana yang semestinya dapat menjadi ruang kontemplasi bagaimana manusia dapat merenungkan keberadaannya.
Namun sayang, istana tua yang sudah berabad usia ini (1907-2023), tinggal menunggu masa robohnya. Terjadi pelapukan di sana-sini, kebocoran atap, hingga hilangnya sejumlah ornamen yang menyirnakan otentisitas bangunan megah ini.
“Robohnya istana kami,” inilah yang pantas dialamatkan bagi Istana Lima Laras. Sedih. Menangis. Mau bilang apa lagi! Istana ini bak dibiarkan musnah secara perlahan. Siapakah bertanggung jawab menerima tonggak estafet warisan budaya ini. Kemanakah gerangan manusia-manusia yang selalu mengaku berbudaya, yang selalu berslogan; “Jasmerah” (jangan sekali-kali melupakan sejarah), bangsa yang besar adalah bangsa yang selalu menghargai budaya dan sejarahnya; adalah omong kosong. Dimana campur tangan Negara? Semua “tong kosong nyaring bunyinya!!!”
Beberapa waktu lalu saya berkesempatan melakukan lawatan ke Istana Lima Laras ini. Istana yang menjadi salah satu situs peninggalan sejarah masyarakat Melayu pesisir. Terletak di Desa Lima Laras, Kecamatan Tanjung Tiram Kabupaten Batu Bara Provinsi Sumatera Utara.
Istana ini konon dibangun oleh Raja Kerajaan Lima Laras ke XII, Datuk Muhammad Yoeda pada tahun 1907 dan selesai 1912. Datuk Muhammad Yoeda bertahta pada tahun 1883 hingga 1919.
Meski sudah berabad usia, Istana Lima Laras tak sepopuler Istana Maimun yang letaknya di pusat kota Medan. Sementara posisi Istana Lima Laras sekitar 136 kilometer dari kota Medan. Dengan waktu tempuh sekitar empat jam perjalanan menuju kota Tanjung Tiram Batubara. Konon tinggal dua bangunan istana inilah yang tersisa, peninggalan kesultanan/kerajaan Melayu di Sumatera Timur/Utara. Namun Istana Lima Laras seperti dikucilkan dan kurang mendapat perhatian.
Lima Laras pada akhirnya hanya menjadi nama sebuah desa di Kecamatan Tanjung Tiram, Kabupaten Batu Bara, Sumatera Utara. Masa itu, di negeri yang sudah ada sejak tahun 1720 M ini, berdiam lima suku atau klan, yakni; Lima Laras, Tanah Datar, Pesisir, Lima Puluh, dan Bogak yang dipimpin oleh seorang Datuk (semacam kepala suku yang kedudukannya di bawah sultan atau raja). Masa itu pula, Batu Bara adalah bagian dari Kerajaan Siak dan Johor.
Selain suku asli, banyak warga pendatang dari suku Jawa berada di Batu Bara ini. Berdasarkan data statistik kependudukan tahun 2021, jumlah suku Jawa mencapai 43 persen dari jumlah penduduk Batu Bara yang hanya 413. 171 jiwa. Suku Jawa ini kemudian mengorganisir dirinya menjadi Pujakesuma (Putera Jawa Kelahiran Sumatera). Mereka merupakan keturunan dari para ‘koeli kontrak’ (Jawa Kontrak) yang bekerja untuk pengusaha perkebunan Belanda (Onderneming) pada akhir abad 19 dan awal abad 20.
Istana Lima Laras didirikan oleh Datuk Muhammad Yuda, yang biasa dikenal sebagai Datuk Matyoeda Sridiraja, raja dari Kerajaan Lima Laras XII. Secara garis keturunan, Datuk Matyoeda Sridiraja adalah anak dari Datuk Haji Djafar Raja Sri Indra. Datuk Matyoeda memiliki cucu bernama Datuk Muhammad Azminsyah, 72 tahun, yang sampai sekarang masih hidup dan menjadi “penjaga” sekaligus Pemangku Adat Melayu Istana Lima Laras.
Azminsyah masih menyimpan sebagian kecil harta benda peninggalan Kerajaan Lima Laras, seperti tempayan ukiran naga, barang pecah belah, pedang, dan tombak. Dari Azminsyah-lah orang bisa mendapatkan informasi seputar Istana Lima Laras. Sebab, sumber informasi literatur yang khusus membahas dan mengupas Istana Lima Laras dan Kerajaan Lima Laras boleh dikata sangat sedikit.
Di zamannya, bangunan yang didirikan oleh Datuk Matyoeda Sridiraja ini disebut ‘Istana Niat Lima Laras’. Nama ini lebih didasarkan pada sebuah niat, itikad, dan nazar dari Datuk Matyoeda Sridiraja manakala perniagaannya “selamat” — lolos dari ancaman Perserikatan Dagang Kerajaan Belanda untuk Hindia Timur (Vereenigde Oost Indische Compagnie, VOC) — sekembalinya dari Malaka (Penang) menuju Asahan, tepatnya Batu Bara. Pada masa itu, terjadi rivalitas perdagangan antara VOC dan Kerajaan Lima Laras. Pemerintah negara Kerajaan Belanda secara terang-terangan mengeluarkan maklumat agar Kerajaan Lima Laras menghentikan seluruh perniagaannya. Perniagaan Datuk Matyoeda adalah berupa kopra, damar, dan rotan. Hasil alam ini dibawa dengan kapal besar sampai ke Malaka, Singapura, Thailand.
Karena niat dan nazarnya terpenuhi, maka didirikanlah Istana Lima Laras. Istana ini berdiri di atas tanah seluas 102 x 98 meter dan lebar dari ukuran istananya 40 x 35 meter persegi. Memiliki empat koridor utama, dengan 28 pintu dan 66 jendela, masing-masing mengarah ke utara, timur, selatan, dan barat. Istana menghadap langsung ke jalur sungai/laut; dimana laut ketika itu adalah ruang strategis untuk melakukan perniagaan, atau penyerangan dan pertahanan.
Di depan istana terlihat papan nama bertuliskan: “Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Provinsi Sumatera Utara Istana Lima Laras.” Hal ini menandakan ada campur tangan negara untuk merawat warisan sejarah ini. Ironis! Kadang kita amuk manakala peninggalan nenek moyang dengan mudahnya diakui Negara lain. Namun faktanya istana ini tinggal menunggu robohnya.
Belajar dari Masa Lalu Istana Lima Laras adalah warisan budaya masa lalu. Jika kita menerima ada kehidupan saat ini, dan kehidupan esok yang menjadi ibrah (mimpi), maka ada kehidupan lampau yang menjadi cemeti dan teladan. Semua kehidupan kita terhubung sebagai bagian dari kehidupan yang lebih besar. Adakah bangsa ini mengenal dan menghargai sejarahnya. Dengan begitu, patutkah istana kita roboh dan menghilangkan jejak sejarahnya.
Kenali budaya dan peradabanmu. Hanya bangsa yang menghargai budayanya menjadi bangsa agung di dunia. Cintailah budayamu dan hargai budaya orang lain./*
Comments 2