Kajian Etika dan Peradaban ke-31: Mengupas Tuntas Problem Islamophobia, Latar Belakang Sejarah, dan Solusi
Humaniora.id, – Jakarta, 28 Agustus 2024 — Paramadina Institute of Ethics and Civilization (PIEC) kembali menggelar Kajian Etika dan Peradaban ke-31 dengan tema yang sangat relevan di tengah dinamika global saat ini, yaitu “Problem Islamophobia: Latar Belakang Sejarah dan Solusi Mengatasinya.” Acara ini terlaksana atas kerja sama dengan Yayasan Persada Hati dan Maha Indonesia, yang dihadiri oleh para cendekiawan, akademisi, dan masyarakat luas yang peduli terhadap isu-isu kemanusiaan dan peradaban.
Kajian yang dilaksanakan pada Rabu, 28 Agustus 2024, di Ruang Rajawali, Ambhara Hotel, Jakarta Selatan ini menghadirkan dua narasumber terkemuka, yakni Drs. Dian Wirengjurit, MA, mantan Duta Besar RI untuk Iran sekaligus analis geopolitik dan hubungan internasional, serta Pipip A. Rifa’i Hasan, Ph.D, Ketua PIEC. Diskusi ini dipandu oleh moderator yang berkompeten di bidangnya, yaitu Dr. Peni Hanggarini, S.IP., MA, dosen Hubungan Internasional Universitas Paramadina.
Pandangan Pipip A. Rifa’i Hasan tentang Latar Belakang Islamophobia
Dalam sambutannya, Pipip A. Rifa’i Hasan, Ph.D, menggarisbawahi bahwa Islamophobia bukan sekadar fenomena kebencian yang muncul belakangan ini, melainkan sebuah permasalahan yang memiliki akar sejarah panjang. “Islamophobia muncul dari stereotip dan ketakutan yang telah dibangun selama berabad-abad, terutama sejak Perang Salib dan era kolonialisme. Kecenderungan untuk melihat Islam sebagai ancaman di Barat diperparah dengan pemberitaan media yang sering kali bias,” ujar Pipip.
Pandangan Drs. Dian Wirengjurit tentang Dampak Geopolitik Islamophobia
Sementara itu, Drs. Dian Wirengjurit, MA, dalam pemaparannya menekankan bahwa Islamophobia tidak hanya berdampak pada hubungan antarumat beragama, tetapi juga mempengaruhi kebijakan global, khususnya di dunia Barat. “Dalam konteks geopolitik, Islamophobia sering digunakan sebagai alat untuk membenarkan intervensi di negara-negara Muslim dan melanggengkan hegemoni kekuatan besar. Selain itu, Islamophobia juga menjadi sumber ketegangan di dalam negeri banyak negara, yang kerap kali berujung pada diskriminasi terhadap komunitas Muslim,” jelasnya.
Drs. Dian juga memaparkan bahwa solusi untuk mengatasi Islamophobia harus mencakup upaya edukasi dan dialog antarperadaban. Ia menegaskan pentingnya untuk membangun narasi positif tentang Islam yang damai dan inklusif, serta memperkuat jalinan kerjasama antarumat beragama.
Diskusi yang berlangsung selama dua jam ini berjalan dengan sangat interaktif, di mana para peserta aktif mengajukan pertanyaan dan memberikan pandangan mereka. Dr. Peni Hanggarini sebagai moderator berhasil menjaga dinamika diskusi tetap hangat dan mendalam, sehingga berbagai sudut pandang dapat terakomodasi dengan baik.
Acara ini juga menjadi momentum penting bagi semua pihak yang hadir untuk merefleksikan kembali bagaimana peran Indonesia sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia dapat berkontribusi dalam menyuarakan perdamaian dan mengatasi Islamophobia di tingkat global.
Di akhir acara, para narasumber sepakat bahwa pentingnya memperkuat literasi media dan membangun kerjasama internasional untuk melawan segala bentuk diskriminasi berbasis agama. “Islamophobia adalah tantangan bersama yang harus kita hadapi dengan penuh kesadaran dan komitmen untuk menciptakan dunia yang lebih toleran dan adil,” tutup Pipip A. Rifa’i Hasan, Ph.D.
Kajian Etika dan Peradaban ke-31 ini diharapkan dapat menjadi langkah awal dalam membangun pemahaman yang lebih baik dan menjadi platform bagi diskusi lanjutan mengenai solusi konkret untuk mengatasi Islamophobia di berbagai tingkatan, baik nasional maupun internasional.