humaniora.id – Batik merupakan reifikasi bukti visual budaya bangsa Indonesia. Menjadi keharusan setiap warga untuk melestarikan karya budaya ini.
Membatik tidak melulu soal uang. Melainkan upaya pelestarian simbol identitas budaya. Setidaknya inilah yang menjadi spirit seniman batik Agung Suhartanto.
“Batik punya kandungan makna filosofis di setiap motifnya,” ungkapnya kepada humaniora.id, di Jakarta, Senin (02/10/2023).
Membatik, lanjut Agung Suhartanto, butuh ketekunan, ketelitian dan kesabaran. Walau menurutnya, kurang tekun, terburu-buru; tidak sabar, dan kurang teliti, adalah sisi manusiawi kita.
“Karenanya seni membatik secara filosofis dapat menjadi acuan cara hidup kita ke arah lebih baik,” ujar seniman lulusan D3 Batik Fashion dan Sarjana S1 Kriya Seni Tekstil Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta ini.
Satu hal berbeda yang dilakukan Agung Suhartanto dalam memartabatkan karyanya. Ia merefleksikan gagasan batiknya melalui lukisan.
Bukan sekedar lukisan, namun ia menuangkan berbagai pesan kehidupan dan kearifan lokal milik bangsa Indonesia.
Adalah INPOP Indonesia (Inpop) yang memperkenalkan berbagai karya Agung Suhartanto dengan merek Batik Wong Agung (BWA) lewat World Tourism Network (WTN).
Melalui kerjasama networking antara Inpop dan WTN, Batik Wong Agung (BWA) telah diperkenalkan ke dunia internasional.
“Harapannya BWA bisa lebih dikenal. Bukan saja di Indonesia, tetapi juga di mancanegara,” ujar Agung Suhartanto.
Agung Suhartanto telah menghasilkan tidak kurang dari 100 karya lukisan. Keistimewaan dari Batik Wong Agung (BWA), adalah lukisan yang dihasilkan dengan proses membatik.
Lukisan Agung Suhartanto bertajuk “Penjara Surga” telah diperkenalkan pada Summit 2023 World Tourism Network (WTN) di Bali, 29-30 September 2023 lalu.
“Penjara Surga memberikan pesan tentang cosmopolitan yang merujuk pada seseorang atau sesuatu yang bersifat global atau universal. Tidak terbatas pada wilayah atau budaya tertentu,” ungkap seniman yang pernah menerima penghargaan Best Masterpiece Fashion Show: ‘Reflection of Art I’ 2016, dan Best All The Best Fashion Show: ‘Reflection of Art II’ 2017, pada Pameran Peringatan XXXII dan XXXV ISI Yogyakarta ini.
Banyak juga lukisan lain karya BWA yang menjelaskan berbagai kearifan lokal Nusantara. Misalnya lukisan berjudul “Raja Ampat” dari Papua; “Memayu Hayuning Bawono” dari Yogjakarta; “Bercerita dalam Diam” dari Madura, “Mata Rantai” dari Lombok, dan berbagai karya menarik lainnya.
Agung Suhartanto berharap kerjasama INPOP Indonesia dengan WTN yang memiliki anggota sebanyak 132 Negara, bisa memperkenalkan Batik Wong Agung (BWA) dan berbagai produk kreatif Indonesia lainnya. Termasuk industri kreatif meliputi kerajinan, musik, film, fashion, design, tari, dan destinasi wisata Indonesia.
Langkah INPOP Indonesia melakukan kerjasama dengan WTN diharapkan dapat mendukung program Pemerintah Indonesia dan 59 negara lainnya.
Melalui gelaran “World Converence Creative Economy” di Nusa Dua Bali tahun 2022, telah dibuat road map tentang Kreatif Ekonomi.
“World Conference on Creative Economy” adalah acara internasional yang mengumpulkan para pembuat kebijakan, akademisi, profesional, dan pemangku kepentingan lainnya untuk membahas dan bertukar ide tentang ekonomi kreatif.
Ekonomi kreatif mencakup industri seperti desain, fashion, musik, film, dan lainnya, yang berkontribusi pada pertumbuhan dan perkembangan ekonomi sambil mempromosikan keragaman budaya dan inovasi.
“Konferensi itu bertujuan untuk mengeksplorasi potensi ekonomi kreatif untuk mendorong pembangunan berkelanjutan dan mengatasi tantangan global,” papar Agung.
Sejak mahasiswa Agung sudah memiliki kemampuan membuat batik. Karya-karyanya berkarakter, kuat dan khas, baik dalam mode maupun seni panel.
Ia menerapkan teknik-teknik baru dalam membuat tugas-tugas batik. Saat ini banyak mahasiswa belajar dan mengikuti teknik yang digunakan Agung.
Dalam teknik pewarnaan tradisional, biasanya tiga atau empat lapisan pewarnaan diterapkan. Tetapi teknik Agung dapat melebihi sepuluh lapisan pewarnaan.
“Teknik tumpang tindih berulang ini digunakan untuk mencapai konsep visual karya seni dalam tiga dimensi,” ujarnya.
Dalam menciptakan karyanya Agung tidak hanya menyiapkan konsep visual, tetapi secara hati-hati juga menyiapkan bahan-bahan.
Pengolahan kain yang digunakan dilakukan langkah demi langkah seperti proses pengolahan kain batik tradisional. Sehingga proses kerja dapat dimaksimalkan sesuai dengan pencapaian target.
Dengan keahliannya menerapkan teknik pewarnaan secara tumpang tindih, Agung telah menerima beberapa penghargaan atas karya-karyanya.
Menurut Agung, tidak semua penggemar batik paham konsep dan filosofi di balik pembuatan kain batik. Pembuat kain batik, lanjutnya, harus dalam kondisi tenang saat membatik. Tak heran, beberapa pembatik harus berpuasa sebelum membatik.
“Membatik itu butuh ketenangan. Kita tidak boleh membatik jika sedang gelisah. Sebab bisa berpengaruh terhadap kain yang kita batik,” tuturnya.
Batik dalam perspektif budaya, kata Agung, mengandung nilai filosofis tinggi, baik dari sisi motif, cara pembuatan, hingga lamanya proses membuat selembar kain batik.
“Batik menyimbolkan doa dan harapan bagi pemakainya. Bukan hanya itu. Batik juga menunjukkan hasil jerih payah dan kesabaran pembuatnya,” ujar pemilik Batik Wong Agung (BWA) ini menutup percakapan./*