Oleh: H.J. Faisal
Literasi Kebenaran Dalam Mempelajari Filsafat Ilmu
Sebagai seorang pengajar di Sekolah Pascasarjana Magister Manajemen Pendidikan Islam (MMPI) Univeritas Djuanda (UNIDA) Bogor, tentu saja saya mempunyai kewajiban untuk menyampaikan literasi keilmuan dengan benar.
Apalagi di semester ini, saya mendapatkan kepercayaan untuk mengampu mata kuliah Filsafat Ilmu, sebuah mata kuliah yang memerlukan pemahaman mendalam tentang konsep keilmuan yang dilihat dari sisi ontologi, epistimologi, aksiologi, nalar, logika, realita, dan juga hikmah. Dan tidaklah mengherankan jika mata kuliah Filsafat Ilmu ini menjadi sebuah mata kuliah yang sangat ‘asyik’ untuk dikaji dan diikuti oleh semua mahasiswa, sehingga juga menjadi salahsatu mata kuliah favorit semua mahasiswa.
Dan ketika mengajar mata kuliah Filsafat Ilmu beberapa hari yang lalu, saya mengatakan kepada para mahasiswa saya, bahwa teman-teman mahasiswa MMPI ini lebih beruntung dari saya, yang mana saya juga pernah menjadi mahasiswa ilmu Manajemen Pendidikan di kampus almamater saya, Universitas Negeri Jakarta (UNJ), di tahun 2003-2006 silam.
Mengapa saya katakan demikian? Saya pun menjelaskan, bahwa saya juga seorang magister dalam bidang Manajemen Pendidikan, lulusan Universitas Negeri Jakarta (UNJ).
Namun meskipun kita sama-sama mempelajari tentang ilmu Manajemen Pendidikan, tetapi apa yang saya pelajari sewaktu di UNJ, hanyalah mempelajari ilmu pengetahuan tentang manajemen dan pendidikan yang ‘mentok’ di pemahaman filsafatnya saja, yang mana belum sampai kepada tingkatan hikmah, karena saya tidak mempelajari bagaimana konsep manajemen dan pendidikan yang sesungguhnya sangat bisa untuk diintegrasikan dengan nilai-nilai ke-Islam-an di sana.
Artinya, untuk pengetahuan tentang ilmu manajemen pendidikan, maupun ilmu pengetahuan apapun itu, jika hanya dimuarakan sampai kepada tingkatan filsafatnya saja, maka artinya ilmu pengetahuan tersebut masih terasa ‘nanggung’ untuk dipahami, karena tidak ada nilai-nilai ke-Ilahiyahan atau nilai-nilai ke-Tuhan-an.
Karena itulah, setelah saya menamatkan studi magister saya di UNJ, akhirnya saya memutuskan untuk ‘mengaji’ secara akademik kembali, dengan meneruskan pendidikan saya ke jenjang Doktoral di kampus yang mengedepankan integrasi keilmuan, khususnya ilmu pendidikan, yaitu di Universitas Ibn Khaldun(UIKA) Bogor, dengan prodi Pendidikan Agama Islam.
Jadi secara filosofis, saya mengatakan kepada mahasiswa saya, bahwa sesungguhnya, di program pendidikan MMPI UNIDA ini, mahasiswanya adalah para mahasiswa yang sangat beruntung secara keilmuan, karena mahasiswa di program pendidikan MMPI UNIDA ini tidak hanya belajar tentang 2 variabel ilmu, yaitu Manajemen, dan Pendidikan saja, tetapi ada juga variabel ilmu ke-Islam-an di situ. Sehingga ketika digabungkan menjadi ilmu Manajemen Pendidikan Islam, maka terciptalah sebuah konsep keilmuan yang sangat holistik dan menjadi sebuah integrasi keilmuan yang komprehensif.
Artinya pula, dengan mempelajarai ilmu Manajemen, dan ilmu tentang Pendidikan, yang diintegrasikan dengan ilmu ke-Islaman-nya, maka menjadi lengkaplah sudah susunan level keilmuan yang ada dalam program MMPI ini, yaitu Ilmu yang dimuarakan kepada filsafat (dengan sistem pemahaman ontologi, epistimologi, dan aksiologinya yang tepat), yang kemudian dimuarakan dan integrasikan kembali kepada petunjuk wahyu Illahiyah yang ada di dalam Islam. Sehingga keilmuan yang didapat dari program Magister Manajemen Pendidikan Islam UNIDA ini menjadi sebuah keilmuan yang holistik, menjadi sebuah hikmah yang agung, dan bukan sekedar keilmuan yang bersifat sekuler dan liberalistik.
Imam Al-Ghazali Dan Kitabnya Tahafut Al-Falasifah
Pada tahun 1095 M Imam al-Ghazali telah menulis sebuah kitab, yang beliau beri judul Tahafut al-Falasifah (Kekeliruan Pemikiran Para Filsuf). Adapun tujuan beliau menulis buku ini adalah sebagai bagian dari serangkaian karya teologis yang ditujukan untuk mengkritik pandangan para filsuf Islam, dikarenakan beberapa pandangan filosofis mereka yang sudah mulai bertentangan dengan ajaran Islam, sehingga dikhawatirkan dapat menyesatkan umat muslim pada waktu itu.
(Imam al-Ghazali menulis Ihya’ Ulumuddin sebelum menulis Tahafut al-Falasifah. Beliau menulis Ihya’ Ulumuddin pada tahun 1091 M, sedangkan Tahafut al-Falasifah ditulis pada tahun 1095 M. Jadi, secara kronologis, Ihya’ Ulumuddin lebih dulu ditulis sebelum Tahafut al-Falasifah).
Imam Al-Ghazali khawatir bahwa penggunaan filsafat tanpa landasan agama dapat mengarah pada kerancuan dalam pemahaman tentang Tuhan, alam semesta, dan manusia. Sehingga, melalui Tahafut al-Falasifah, beliau berusaha menunjukkan kekurangan logis dalam argumen-argumen para filsuf tersebut, dan menegaskan kembali pentingnya mengandalkan wahyu dan akal dalam pencarian kebenaran, dan tidak hanya mengandalkan kepada nalar, rasionalitas dan logika dangkal manusia semata.
Imam al-Ghazali dalam karyanya tersebut memang menekankan pentingnya menyandarkan ilmu kembali kepada agama. Beliau percaya bahwa filsafat tanpa landasan agama bisa menimbulkan kebingungan dalam memahami kebenaran, karena ilmu pengetahuan pada dasarnya berasal dari Allah Ta’alla, sang pemilik semua ilmu.
Imam Al-Ghazali sangat kritis terhadap filsuf-filsuf yang beliau rasa terlalu bergantung pada logika dan rasionalitas tanpa mempertimbangkan wahyu dan agama. Menurutnya, agama menyediakan panduan moral dan etika yang esensial untuk memastikan bahwa pengetahuan digunakan untuk kebaikan dan bukan sekadar pencarian intelektual belaka.
Maka dengan demikian, pada akhirnya, kitab ini juga menjadi titik balik dalam sejarah pemikiran Islam dan mempengaruhi banyak sarjana dan teolog selanjutnya.
Adapun setelah itu, beberapa ulama Islam yang sangat berpengaruh, yang mendukung pandangan Imam al-Ghazali dalam Tahafut al-Falasifah. Salah satu ulama yang terkenal adalah Ibnu Taimiyah. Beliau juga menulis karya-karya yang mengkritik filsafat dan menekankan pentingnya mengandalkan wahyu dalam pencarian kebenaran.
Salahsatu kitab yang ditulis oleh Ibnu Taimiyah yang mengkritik para filsafat tersebut adalah “Ar-Radd ‘ala al-Mantiqiyyin” atau dikenal juga sebagai “Bantahan bagi Para Ahli Logika”. Dalam kitab ini, Ibnu Taimiyah menulis kritik tajam terhadap logika Aristoteles dan filsafat lainnya yang dianggap bertentangan dengan ajaran Islam.
Selain Ibnu Taimiyah, banyak ulama dan pemikir Islam yang mengikuti pandangan al-Ghazali tentang pentingnya menjaga keseimbangan antara akal dan wahyu.
Berikut beberapa di antaranya, adalah:
1. Imam Al-Hafiz Ibn Asakir: Beliau menganggap Imam al-Ghazali sebagai mujaddid abad ke-5 hijriyah.
2. Imam Ibn Al-Jawzi: Beliau juga mengapresiasi karya-karya al-Ghazali dalam bidang ushul fiqih dan fiqh.
3. Imam Al-Nawawi: Meskipun lebih dikenal dengan karya-karya lainnya, al-Nawawi juga mengikuti pandangan al-Ghazali tentang pentingnya wahyu dalam pencarian ilmu.
4. Imam Al-Razi: Meskipun memiliki pandangan yang berbeda dalam beberapa hal, al-Razi juga menghargai kritik al-Ghazali terhadap filsafat.
Pandangan-pandangan ini menunjukkan bahwa banyak ulama Islam menghargai karya al-Ghazali dan pandangan-pandangannya tentang pentingnya menjaga keseimbangan antara akal dan wahyu, yang menjadi sumber metode keintegrasian kelimuan yang sangat penting untuk dikuasai pemahamannya oleh para cendekiawan muslim, tanpa terkecuali.
Dengan demikian, maka secara akurat kita dapat menyimpulkan tentang penting dan wajibnya menyandarkan keilmuan kepada wahyu illahiyah, adalah bahwa ilmu tanpa wahyu bisa kehilangan arah dan moralitas.
Wahyu memberikan bimbingan etis dan nilai-nilai spiritual yang melengkapi akal manusia. Ini membantu memastikan bahwa ilmu digunakan untuk kebaikan dan keadilan, bukan hanya untuk pencapaian material atau kepuasan intelektual semata.
Dengan wahyu, ilmu menjadi alat untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’alla, dan memberikan manfaat yang lebih luas bagi kemanusiaan. Hanya dengan wahyu, ilmu memiliki makna dan tujuan yang sejati.
Wallahu’allam bisshowab
Jakarta, 3 November 2024
*Dosen Sekolah Pacasarjana Prodi MMPI UNIDA Bogor/ Director of Logos Institute for Education and Sociology Studies (LIESS) / Pemerhati Pendidikan dan Sosial/ Anggota PJMI