JAKARTA, humaniora.id – Besarnya potensi daging yang bisa dihasilkan dalam pelaksanaan ibadah kurban berpeluang untuk memperbaiki tingkat gizi dan kesehatan masyarakat, terutama kelompok termiskin. Namun potensi kurban terdistribusi amat tidak merata, dengan kesenjangan potensi yang lebar antara daerah metropolitan utama Jawa dengan wilayah lainnya.
Lembaga Riset Institute For Demographic and Poverty Studies (IDEAS) mengidentifikasi sejumlah daerah prioritas intervensi gizi protein hewani melalui kurban, yaitu daerah dengan konsumsi daging yang sangat rendah, mendekati nol, dan dengan jumlah mustahik yang besar.
“Daerah prioritas intervensi gizi melalui kurban ini didominasi oleh daerah luar Jawa dengan karakteristik umum adalah daerah tertinggal dan terisolir seperti Kab. Majene, Kab. Seram Bagian Barat dan Kab. Hulu Sungai Utara. Selain itu terdapat beberapa daerah di Jawa yang masuk dalam kategori daerah prioritas intervensi gizi melalui kurban ini seperti Kab. Ngawi dan Kab. Pandeglang,” ungkap Yusuf Wibisono, Direktur IDEAS dalam keterangan tertulisnya, pada Jum’at, (23/07/2023).
Dari simulasi IDEAS terlihat bahwa daerah dengan potensi surplus kurban terbesar didominasi daerah metropolitan Jawa, seperti Jakarta (7.556 ton) serta Bandung Raya yaitu Bandung, Cimahi dan Kab. Sumedang (5.598 ton).
“Daerah surplus kurban terbesar lainnya adalah Bekasi (3.820 ton), Bogor dan Depok (3.298 ton), Kab. Sleman dan Kab. Bantul (2.924 ton), Kota Tangerang dan Tangerang Selatan (2.045 ton), Kota Semarang (1.763 ton) serta Surabaya dan Kab. Sidoarjo (1.131 ton),” ujar Yusuf.
Sementara itu daerah dengan potensi defisit kurban terbesar didominasi daerah pedesaan Jawa, antara lain kawasan utara Jawa Tengah yaitu Kab. Brebes, Tegal, Pemalang, Purbalingga, dan Pekalongan (-2.363 ton), kawasan utara Jawa Timur, yaitu Kab. Bangkalan, Sampang dan Pamekasan (-2.188 ton), kawasan timur Jawa Timur yaitu Kab. Jember, Bondowoso dan Probolinggo (-2.070 ton), kawasan utara Jawa Barat yaitu Kab. Karawang, Indramayu, Majalengka, dan Kab. Cirebon (-1.908 ton), Kab. Jombang, Nganjuk, Madiun, Ngawi dan Bojonegoro (-1.658 ton), Kab. Banyumas, Cilacap, Kebumen, Banjarnegara (-1.607 ton), Kab. Grobogan. Blora, Pati, Jepara, dan Demak (-1.381 ton), serta wilayah selatan Jawa Barat yaitu Kab. Cianjur dan Garut (-1.231 ton).
“Kemiskinan Jawa yang sangat masif menuntut kemampuan identifikasi mustahik yang sempurna bagi pengelola hewan kurban. Sedangkan kemiskinan luar Jawa menuntut kemampuan membuka akses keterpencilan dan keterisoliran yang kuat,” kata Yusuf.
Tantangan pengelolaan kurban Indonesia secara umum adalah pelaksanaannya yang terdesentralisasi di ribuan panitia kurban lokal temporer yang tersebar di seluruh negeri, berbasis masjid, musholla, pesantren, hingga lembaga pendidikan dan perusahaan.
Padahal potensi kurban terdistribusi secara amat tidak merata, yang mencerminkan kesenjangan pendapatan antar wilayah yang akut di Indonesia. Untuk intervensi daging bagi kelompok termiskin, maka dibutuhkan reformasi kurban.
“Program tebar hewan kurban dari daerah surplus ke daerah minus daging kurban, adalah tepat dan penting untuk distribusi kurban yang tepat sasaran dan signifikan untuk pemerataan dan peningkatan kesejahteraan si miskin,” ucap Yusuf.
Mengambil kasus program tebar hewan kurban dari LAZ Dompet Dhuafa (THK-DD), rekayasa sosial terbukti mampu meningkatkan kemanfaatan kurban secara signifikan.
“Pada 2023, dari ribuan titik distribusi program THK-DD di penjuru negeri, kami menemukan bahwa daerah distribusi secara umum adalah daerah dengan rerata konsumsi daging yang sangat rendah, bahkan mendekati nol,” tutur Yusuf.
Sebagai contoh di Jawa, daerah distribusi kurban program THK-DD terentang dari Kab. Ngawi dengan rerata konsumsi daging 0,025 kg/kapita/tahun hingga Kab. Gunung Kidul (0,205 kg/kapita/tahun). Sedangkan di luar Jawa, daerah distribusi program THK-DD terentang dari Kab. Seram Bagian Barat dengan rerata konsumsi daging hanya 0,007 kg/kapita/tahun hingga Kab. Kubu Raya (0,203 kg/kapita/tahun).
“Dengan demikian, program tebar hewan kurban adalah tepat sasaran dan efektif meningkatkan konsumsi daging mustahik,” tutup Yusuf.