humaniora.id – Kelompok musik Horja Bius, akan menutup perhelatan Lebaran Teater, pada Rabu malam, 29 November 2023. Ia menjadi penampil penting, dari rangkaian panjang Festival Teater Jakarta, yang digelar sejak bulan Agustus. Festival bergengsi yang tahun ini menggenapkan usia 50 tahun.
Bagaimana perkaranya, sebuah kelompok musik, yang berangkat dari mitologi dan ritus masyarakat Batak Toba, dengan muatan narasi doa tonggo-tonggo, yang lekat dengan hal-ikhwal supranatural, didudukkan sebagai penanda dari sebuah ritus teater modern (di Jakarta), yang bekerja sudah setengah abad lamanya?
Tak mudah menjawabnya. Tapi, jika kita mau membaca, sekilas dua kilas, tentang kedua entitas itu, mungkin ada benang merah-putih-hitam yang bisa menautkan nilai antar keduanya. Atau, anasir pengertian, yang menawarkan pesan-pesan tersirat. Mungkin pula, semacam gagasan. Atau malah sikap, perlawanan, pada kemungkinan yang buruk, menyimpang, atau melapuk.
Apa pun itu, saya ingin semata bertolak dari taksu kesenian, yang, dari manapun kesenian itu datang, ia adalah doa.
50 tahun Festival Teater Jakarta, adalah jalan panjang yang tak mudah. Untuk negeri-negeri di Asia, boleh dicatat, ia menjadi ikon, yang dari segi waktu, tak tertandingi. Tapi, jalan panjang itu, tak seluruhnya mulus dan lurus. Banyak arah yang ditempuh justru seperti meretas jalan tikus.
Krisna Aditya, Ketua Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta menyebutkan bahwa “jalan tikus menjadi metafor dari siasat kultural untuk menghadapi realitas produksi teater..” yang pelik, dan mahal. Yang dalam kaitannya dengan amatirisme, para pegiat teater dan kelompoknya, kerap harus menjadi gerilyawan dalam memperjuangkan panggungnya, dengan pengetahuan dan dukungan yang berbasis kesamaan nasib.
Dan 50 tahun tentu bukan sebentar. Apalagi, ia menjadi amanat. Tak boleh berhenti. Harus pula menjadi lebih kuat, lebih mandiri, lebih profesional. Dan mesti makin berwibawa.
Adapun Horja Bius, adalah fenomena. Kelompok musik besutan Mogan Pasaribu, yang ia dirikan pada tahun 2013, adalah bentuk perjuangan di kutub yang lain.
Mogan dan kawan-kawan, bisa saja membuat sebuah grup band dengan lagu-lagu yang gampang populer, mengkilik gendang telinga: cinta yang patah, kesepian yang mencakar, atau tentang derita yang diimbuhi kata mengapa. Sambil mengisi pundi-pundi dan menebalkan asap dapur. Tapi itu tidak ia lakukan.
Ia malah ‘pulang’ ke bona pasogit, kampung halaman. Ke bona ni pinasa. Merunut ungkapan: “Arga do bona pinasa di angka nabisuk marroha”. Bahwa kampung halaman itu bernilai bagi orang yang bijaksana. Ia mencari dan membuka lembaran kitab tua. Membaca syair-syair kuno yang arkaik. Mengelap bunyi-bunyi yang sudah berdebu. Berguru ke akar. Ke balik tanah dan air.
Mengkhidmati turi-turian yang disenandungkan ibu. Petatah-petitih, umpama, umpasa, yang dituturkan para leluhur turun-temurun, berabad-abad. Menyimak suara sarune, taganing, gordang, odap, ogung, esek yang dimainkan ketika bulan purnama perlahan naik dari balik hutan, ketika riak danau berkilauan.
Dengan kerinduan pada yang akan hilang, ia pun menemukan. Dan memainkan musiknya. Menghadirkan ke atas panggung, hembusan sarune bolon, tabuhan taganing, suara-suara pentatonik gondang yang bisa menembus dimensi ruang dan waktu. Bahkan kesadaran penghayatnya. Meretas kembali jalan ingatan kita. Jejak masa purba, yang mulai dirimbun semak ketidakpedulian, alang-alang kepikunan, dan belukar hidup keseharian yang kering dan rumit.
Elemen etnik tradisional Batak Toba, menjadi bagian yang sarat mewarnai. Membalut tonggo-tonggo, yang bercerita tentang filosofi, adat dan adab, sejarah, tarombo, peristiwa, cerita-cerita rakyat, dan permohonan pada ‘debata’. Dan menyenandungkannya seakan seruan datu pemangggil hujan. Atau suara tabib yang serak, mistis, dan dalam, saat membaca porhalaan dan lak-lak. Bagai derak baliga ibu ketika menenun kande-kande, selendang, selimut, ulos pangait ni holong.
Mogan, sang diaspora Batak kelahiran Surabaya itu, menghadirkan kembali risalah dan marwah, rasa syukur dan anugerah, asal-usul segala yang fana, kearifan lokal yang mulai ditinggalkan, hingga persoalan tempatan di kampung halaman: sosial, politik, lingkungan hidup. Hutan adat yang dibabat, yang cepat atau lambat akan mengubur kebudayaan masyarakat.
Dari sentuhan kerinduan dan kepedulian yang intens itu, lahirlah sejumlah lagu: Tonggo Bakara, Tonggo Si Raja Batak, Haminjon, Nantoari Au Mulak, Rura Hinaol Ni TukTuk, Tadingan ni Da Ompung, Rap Hita Sadalan, Among, Dendeng Kurdeng, dan lainnya. Tentang bentang alam yang mulai rusak, kedakhsyatan pohon kemenyan, kisah perantau yang pulang ke kampung halaman, keindahan danau Toba, dan sebagainya.
Memahami komposisi musiknya tentu tak semudah menyimak rambasan gitar yang dimainkan di sebuah pakter yang ramai, di Cililitan, atau di sudut kota Balige. Namun, bagi saya, yang bukan berasal dari Muara atau lembah Bakkara, selalu saja musik Mogan, sahabat saya, eksponen #saveTIM yang setia dan keras hati itu, mengantarkan saya ke sebuah tempat yang saya pernah singgah, yang saya bayangkan, atau yang tak terbayangkan.
Saya tak paham benar, apakah musik Horja Bius, tergolong dalam genre ‘world music’. Aliran musik yang setiap tanggal 21 Juni diperingati, sebagai World Music Day itu. Tapi, setiap kali mereka bernyanyi, saya menikmatinya dengan khusuk, sebagaimana saya menikmati musik-musik ‘tak biasa’ dari gurun Afrika, tepian Mediterania, atau bantaran pedalaman sungai Gangga, yang disebarkan oleh Putumayo, atau Rough Guide.
Beberapa pekan yang lalu, mereka berkonser di beberapa tempat penting, antara lain di Berlin, di keramaian Tong Tong Fair di Den Haag, di Stockholm. Mogan Pasaribu, bersama Anna Febiola Bethania Hutapea, Dheo Papa’Raja Na’Jogi Marchel Wahyu Lumbangaol, Didit Alamsyah, Goldy Nathaniel Langitan, Rachmansyah, Oniel Abednego Mangoli, dan Frilia Ika Kusuma Putri.
Tahun yang lalu, mereka pun mengisi atmosfer Papua, di lembah Wamena. Disaksikan oleh utusan masyarakat adat se-Nusantara yang bermusyawarah di sana.
Tiga tahun sebelumnya mereka bermain di Granada, Spanyol, Amsterdam, dan beberapa kota di Eropa.
Pementasan haru-biru bagi banyak orang, terutama warga Eropa berdarah Batak yang menyaksikan mereka. Yang datang dari berbagai penjuru dengan menyandang ulos di bahu mereka. Kain tenun yang menjadi selimut jiwa, yang mereka simpan dengan mesra, di lemari mereka, belasan ribu kilometer dari kampung halaman mereka nun jauh di Harian Boho, Lumban Suhi-suhi, Dolok Sanggul, Tarutung, Porsea..
Saya ingin mengingatkan dan mengajak siapa saja, yang Batak Toba atau bukan, untuk bersama mendengar dan menyimak musik Horja Bius, pada Rabu malam, 29 November besok, mulai pukul 19.00. Di halaman Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki. Konser khusus yang ditaja oleh Dewan Kesenian Jakarta. Terbuka, dan free, gratis tanda masuk bagi siapa saja, kecuali biaya parkir.
Bersama kita, membaca sesuatu yang berbeda, unik, khas, tapi mengandung muatan dan pesan yang kaya. Yang sungguh-sungguh. Sama seperti Festival Teater Jakarta, yang meski menempuh arah dan sejarah yang tak mudah, namun tetap harus eksis. Memberi kebaikan bagi kebudayaan dan peradaban kita. Menjadi kebajikan. Menjadi doa./*