humaniora.id – “Kenalkan Budaya Asahan Pada Dunia,” adalah sebuah tagline. Meskipun sebenarnya bukan hanya sekedar tagline. Karena kata-kata itu bertujuan menggugah hati setiap warga Asahan Sumatera Utara. Apakah itu rakyat biasa maupun pemangku kebijakan.
Tagline ini sendiri tercetus sekitar satu dekade silam. Belum terlalu lama memang, jika kita bicara tentang budaya. Karena biasanya, budaya akan mengakar dalam kurun waktu yang tidak sebentar.
Namun sayang seribu kali sayang, tawaran yang dilempar entah tersangkut di mana. Karena hingga kini, apakah itu stakeholder atau akar rumput, kurang berminat menyentuh wilayah tersebut. Jika pun ada, mungkin sebatas seremonial agar acara lebih meriah. Tetapi bukan untuk lebih bermakna. Sehingga peristiwa budaya terkesan hanya sekedar “daun Salam” pada sebuah masakan.
Siapa yang salah, ya siapa yang salah. Pasti kita akan bertanya siapa yang salah. Jujur saja kita juga sungguh- sungguh tidak tahu. Bahwa pertanyaan itu sebenarnya dialamatkan pada siapa. Apakah pada mereka selaku pemangku kebijakan. Atau kita yang berada pada posisi sebagai rakyat biasa.
Lazimnya, jika sudah tiba pada pertanggung jawaban, jangan harap ada yang mengacung tangan. Meski sedih, kita harus jujur mengakui. Bahwa sikap tidak satria, merupakan wajah budaya kita yang kurang baik.
Ketika terkenang pada tagline, “Kenalkan Budaya Asahan Pada Dunia” yang diluncurkan sekitar delapan tahun silam. Setidaknya ada tiga nama yang bisa disebut selaku penggagas. Eddie Karsito, Nurhabibie dan Asrial Mirza dan beberapa nama lain yang juga punya andil.
Ketiga mereka ini lahir, besar, dewasa dan menua di Asahan. Hanya Eddie Karsito yang menghabiskan sisa hidupnya di Jakarta. Hingga hari ini (insya Allah) ketiganya masih tetap bergelut pada seni dan budaya. Tetap eksis dan konsisten meski tidak bersama-sama dalam melakukannya.
Ketiganya dipisahkan oleh ruang dan waktu. Eddie Karsito yang jauh di Ibukota, menglola Rumah Singgah Bunda Leni dan Sanggar Humaniora. Eddie, disela-sela berkesenian juga disibukkan mengurusi banyak orang. Mereka ini merupakan hamba Allah SWT yang kurang beruntung dalam kehidupan. Sungguh sebuah pengabdian dengan dedikasi yang luar biasa, memang.
Lalu Nurhabibie yang sejak beberapa waktu lalu kesehatannya agak terganggu, namun tetap berbuat. Tidak henti-hentinya berkesenian lewat para penari yang belajar di sanggar Tiara Intan. Nurhabibie dan anak didiknya harus diakui sudah tiba pada pencapaian yang hebat. Karena selain di Asahan, di level Provinsi dan Nasional, pencapaian mereka sudah sampai Negara Tetangga Malaysia dan Brunei Darussalam.
Sementara Asrial Mirza, eksistensinya hari ini mungkin terpulang pada apresiasi publik saja. Yang pasti masih terus mengamati, menulis dan memberi masukan pada siapa saja yang membutuhkan. Yang tentunya memberi saran dan masukan dalam banyak hal dan tidak terbatas pada seni dan budaya semata.
“Kenalkan Budaya Asahan Pada Dunia” adalah sebuah tagline bukan tanpa alasan. Karena disadari atau tidak, sebenarnya banyak budaya leluhur rakyat Asahan yang terlupakan. Apakah itu budaya yang dilakukan pada kalangan Istana Sultan. Atau juga budaya dalam kegiatan yang biasa dilaksanakan warga masyarakat kebanyakan.
Untuk menghadirkan dan mengenalkan budaya ini pada dunia, tentu diawali dengan penggalian. Penggalian yang dimaksud tidaklah sama dengan menggali tambang emas atau batubara. Tetapi penggalian dengan melakukan invenrisir budaya itu sendiri.
Selanjutnya menelusuri daerah asal budaya tersebut. Mencari seniman pelaku atau masyarakat yang mengetahui. Kemudian melakukan dokumentasi baik catatan, foto maupun video.
Untuk semua upaya ini, harus melibatkan stakeholder dan akar rumput. Artinya, pemangku kebijakan dan rakyat biasa harus bekerjasama dalam melestarikan budaya daerah. Agar semua rencana pelestarian budaya ini berjalan lancar, harus serius dalam berkomitmen.
Tugas terbesar sebenarnya ada pada pemangku kebijakan. Karena selaku Pemerintah Daerah, tentu banyak instrumen yang bisa digerakkan. Bisa diberdayakan dengan bertumpu pada perintah tugas lewat kebijakan/peraturan.
“Hilangnya Budaya Kami,” kalimat ini bukan merupakan tagline. Bahkan lebih besar nilainya dari sekedar sebuah tagline. Karena sejatinya kalimat ini adalah warning. Lebih dari pada itu, bahkan bermakna pada rasa khawatir.
Mungkin belum terjadi sekarang, namun bukan mustahil akan terjadi nanti. Rasa khawatir ini bukan pula tuduhan, hanya melihat pada kenyataan. Karena jika seni dan budaya milik kita bila tidak dirawat dan dilestarikan tentu akan hilang. Bisa hilangnya karena termakan zaman. Bisa pula hilang karena diambil orang.
Sekedar melawan lupa, tentu kita masih ingat bagai mana Indonesia bersitegang dengan Malaysia. Dan semua ini berawal dari klaim pihak Malaysia bahwa Batik dan Reog Ponorogo diakui milik mereka.
Hal ini mungkin tidak terjadi jika bangsa kita melestarikan dan merawat budayanya. Yang diikuti dengan melindunginya dengan mendaftarkan pada UNESCO selaku lembaga dunia yang mencatatkan warisan tak benda. Dengan keabsahan tersebut maka budaya milik kita pun terlindungi.
Sebenarnyalah Kabupaten Asahan juga memiliki Warisan Tak Benda yang terdaftar di Kementerian di Jakarta. Warisan Tak Benda itu adalah Tari Gubang Asahan dan Senandong Asahan.
Khusus untuk Tari Gubang ini, tidak terlepas dari upaya yang dilakukan Nurhabibie agar terdaftar di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Hanya saja, saya belum melihat keseriusan Pemerintah Kabupaten Asahan hingga hari ini. Keseriusan dalam “Melestarikan dan Memperkenalkan dua Budaya Asahan ini pada Kancah Dunia.
Padahal, Tari Gubang Asahan dan Senandong Asahan sudah sah diakui sebagai milik Asahan. Atau, menjadikan kedua seni milik Asahan ini sebagai muatan lokal pada sekolah tingkat dasar hingga tingkat atas. Dan akan lebih baik jika sampai juga pada Perguruan Tinggi di Kabupaten Asahan.
Bukankah dalam visi misi Bupati Asahan ada point tentang kearifan lokal. Jika Pemkab Asahan tidak bergegas memaknai semua ini, tidak mustahil jika kelak semua tinggal cerita saja.
Mari kita berdialog dengan batin tentang pergeseran nilai pada masyarakat belakangan ini. Terutama pergeseran nilai Ketuhanan dan nilai budaya bangsa. Pergeseran ini sudah sangat meresahkan sekali.
Anak-anak kita yang tidak kenal budaya bangsanya, mereka menciptakan budaya baru. Budaya baru itu antara lain, Tawuran, Geng Motor dan Begal. Lalu orang-orang dewasa dengan permainan lain yang tak kalah seru. Seperti Money Politic atau politik uang pada even-even pemilihan, apapun juga.
Munculnya budaya-budaya baru ini telah mengikis budaya leluhur yang kita tinggalkan. Siapa yang salah dan siapa yang harusnya kita salahkan. Untuk jawaban itu, gunakan jari telunjuk dengan benar. Agar tidak salah dalam menunjuk dan ada yang menjadi “kambing hitam.” Wassalam.
Asrial Mirza, Guru, Seniman dan Sastrawan tinggal di Kisaran Asahan Sumatera Utara
Comments 1