humaniora.id – Sebenarnya penulis tidak ingin menulis tentang polemik yang sedang terjadi antara Rais Aam PBNU KH Miftahul Akhyar, Gus Saifullah Yusuf (Gus Ipul) sekretaris PBNU dan Dr. Sholeh Basyari Direktur Eksekutif Center for Strategic on Islamic Internasional Studies (CSIIS). Beliau bertiga berpolemik efek dari adanya diskursus nasab habib Ba’alawi Yaman. Karena banyak desakan dari rekan-rekan di WAG akhirnya menulis juga.
Berawal dari ceramahnya Rais Aam PBNU KH Miftahul Akhyar saat acara haul Muassis NU di Gresik, Minggu (25/5/2024) tentang polemik nasab Ba’alawi.
“Polemik ini bukan lagi soal dzuriyah Ba’alawi melawan dzuriyah Walisongo, tapi arahnya sudah ke jama’ah NU. Gangguan ini sudah nyata, bukan dzon lagi, tapi jelas dialamatkan kepada NU bertubi-tubi, itu pola wahabi,” tegas KH. Miftahul Akhyar.
Pernyataan Rais Aam yang membela klan Ba’alawi dan menganalogikan bahwa pembatal nasab menggunakan pola wahabi, mengundang banyak reaksi.
Reaksi datang dari banyak kalangan termasuk Dr. Sholeh Basyari. Lewat podcast di YouTube Dr. Sholeh Basyari menyatakan seharusnya kiai-kiai sepuh bangga terhadap generasi muda NU yang mulai dinamis mendobrak kebekuan, ada kesalahan terselubung, kalau kiai sepuh tidak mungkin melakukan itu. Disaat podcast Dr. Sholeh Basyari memberi catatan khusus terhadap pribadi KH. Miftahul Akhyar. Dari sinilah tersebar video Dr. Sholeh Basyari yang memberi pernyataan khusus terhadap pribadi KH Miftah.
Video tersebut sampai juga ke Gus Saifullah Yusuf sekretaris PBNU. Kemudian Gus Ipul mengatakan pihaknya melarang Sholeh Basyari mengajar di seluruh perguruan tinggi milik NU. Sholeh dinilai tidak mencerminkan akhlak seorang santri NU.
Ramai juga polemik antara Kiai Miftah, Sholeh Basyari dan Gus Ipul, sampai dibahas larut malam oleh anggota di WhatsApp group. Tentunya dibahas juga di platform media sosial lainnya. Mereka banyak yang menyesalkan atas kejadian ini. Ketiganya adalah sosok yang faham tentang Nahdatul Ulama (NU), tapi punya pandangan yang berbeda terhadap adanya polemik nasab Ba’alawi.
Penulis mencoba mengangkat fenomena ini sebagai perang pendapat di media sosial. Perang pendapat tentang nasab Ba’alawi satu sisi berfungsi sebagai kendali pemerintahan terhadap kasus tidak tersambungnya nasab Ba’alawi terhadap Kanjeng Nabi, apakah akan dibiarkan oleh pemerintah menjadi suatu diskusi berkepanjangan (diskursus). Dalam hal ini apakah pemerintah mau mengambil sikap, menolak atau menerima tesisnya Kiai Imaduddin Utsman Al Bantani. Penolakan atau menerima tentunya disertakan data ilmiah hasil penelitian sejenis dengan yang dilakukan oleh Kiai Imad.
Keberanian masyarakat bersuara baik lewat media online berupa tulisan atau podcast secara tidak langsung membuat pejabat publik dalam hal ini pengurus ormas keagamaan harus lebih berhati-hati. Jangan sampai pendapat pribadi tetapi diatasnamakan PBNU kebetulan beliau menjadi pembesar di organisasi besar.
Acapkali media sosial yang ada digunakan sebagai saluran emosi pribadi yang disampaikan kepada orang-orang dan akhirnya menimbulkan perang komentar.
Ceramah di ruang publik harus lebih berhati-hati, jangan sampai disampaikannya dengan keras tanpa memperhatikan efek yang muncul akibat ceramah tersebut. Jangan sampai ceramah yang menyinggung kelompok lain menjadi perang komentar. Lihat saja di platform media sosial kolom komentar, ada yang menyampaikan secara vulgar, keras hingga tidak sopan. Namun hal itu penulis anggap sebagai wacana dari para komentator dan bukan menjadi tindakan nyata, hanya meluapkan emosi sesaat.
Sebab para komentator belum terbangun civil society yang mengorganisir menjadi suatu aksi. Mereka berdiri sendiri dan tanpa dikomando, hadir secara online dalam perbincangan yang ada di media sosial.
Demikian juga warganet pembela tesisnya Kiai Imad, mereka sudah cerdas dan waras. Rata-rata mereka kompak tanpa dikomando memberikan komentar yang menolak nasab Ba’alawi. Jadi para pengurus PBNU atau Rais Aam jangan alergi kalau di kritik, karena kritikan ini muncul sebagai akibat dari ceramah Rais Aam KH. Miftahul Akhyar tentang analogi pembatal nasab Ba’alawi sebagai pola wahabi yang terekam di platform media sosial. Efek dari ceramah itu ternyata menimbulkan konflik di medsos, insyaallah konflik ini akan berakhir dengan sendirinya, tidak serta merta bakal menghasilkan konflik fisik di dunia nyata. Sebab media sosial tidak langsung mempengaruhi tindakan orang.
Untuk itu dari pernyataan Rais Aam KH Miftahul Akhyar, kemudian dibalas pernyataan Dr. Sholeh Basyari dan langsung direspon oleh Gus Saifullah Yusuf bisa diambil hikmahnya. Antara lain : 1). Siapapun yang berbicara di ruang publik harus mampu membangun tentang etika berkomunikasi di media sosial. 2). Mampu mengembangkan ketrampilan berkomunikasi dengan baik, pilihlah bahasa yang sopan dan tidak menyinggung perasaan satu sama lainnya. 3). Membangun ruang dialog yang aman dan nyaman. Jadi untuk menghentikan perang komentar di media sosial seharusnya PBNU mengundang pihak-pihak yang terlibat dalam diskursus polemik nasab Ba’alawi, berdiskusi dan hasilnya disampaikan kepada masyarakat luas.
Demikian yang bisa penulis sampaikan, tulisan ini hanya penyeimbang dari adanya polemik yang beredar diantara Rais Aam KH Miftahul Akhyar, Dr. Sholeh Basyari dan Gus Ipul.
Marilah kita semua untuk bisa berkomunikasi dengan bahasa yang sopan dan santun dalam bermedsos. Sebisa mungkin pihak-pihak yang terlibat dalam konflik ini melakukan penyelesaian secara pribadi dan saling memaafkan.
Nurul Azizah penulis buku Muslimat NU Militan Untuk NKRI.