humaniora.id – Tiga hal dapat menjerumuskan seorang pria; harta, wanita, dan tahta. Harta segala hal yang berhubungan dengan kebendaan. Wanita berkaitan dengan syahwat dan hasrat pada lawan jenisnya yakni wanita, serta tahta; berkaitan dengan kekuasaan, dan jabatan.
Penulis mencoba menyandingkan tiga perkara ini kepada diri Jokowi selaku Presiden Republik Indonesia.
Tentu para pembaca tidak perlu “baperan” jika berbeda pendapat dengan opini penulis. Sebab penulis hanya menyandingan tiga hal tersebut untuk mengukur seberapa tinggi keteguhan seorang pria di balik berbagai aspek yang bisa mempengaruhi.
Boleh jadi seseorang tidak tertarik korupsi karena tidak suka menumpuk harta. Tetapi jika disuguhkan wanita malah dirinya jatuh bisa tersungkur.
Atau seseorang haus kewenangan; mabuk jabatan sampai membangun dinasti politik guna melanggengkan dominasi kekuasaannya.
Dalam pertarungan sebuah kontestasi, kita sering mendahulukan kesiapan diri untuk sebaik mungkin guna memastikan sebuah kemenangan. Termasuk mempersiapkan faktor pertahanan diri dari serangan lawan.
Demikian pula pertarungan politik kekuasaan. Setiap pelaku politik dan segenap partai berlomba-lomba membangun jaringan infrastruktur,serta merencanakan grand design guna menetapkan pemetaan pundi-pundi kemenangannya.
Walau dengan persiapan matang, namun tak kalah penting adalah membaca situasi lawan politik yang menyita fokus keutamaannya. Sering politisi mengalami kekalahan karena kurang pengetahuan membaca posisi kekuatan lawan.
Dalam hidup ini kita dihadapkan pada pertimbangan dan terjebak dalam keputusan untuk memilih pada pilihan yang sulit. Masing-masing keputusan memberi dampak berbeda.
Demikian pula ketika seseorang dihadapkan pada pilihan antara membangun kecerdasan dan wawasan dalam rangka memperkuat SDM untuk mendatangkan kesejahteraan rakyat.
Keberadaan dan eksistensi partai politik memang tidak bisa dipungkiri. Sebab dengan prinsip-prinsip ideologi serta melalui visi dan misinya, baik secara jangka panjang atau jangka pendek, hal itu akan ditujukan untuk menciptakan peluang kesejahteraan bagi masyarakat luas.
Tentu saja pada point ini akan bertentangan dengan keinginan sebagian rakyat yang notabenenya lebih mementingkan SDM sebagai strategi jangka panjangnya. Dimana faktor terpenuhinya kebutuhan perut merupakan hal yang diutamakan oleh sebagian besar masyarakat.
Pilihan antara mendahulukan kecerdasan otak dan pemenuhan kebutuhan perut menjadi situasi yang harus direspon secara bijak. Hal ini demi mendapatkan sinergitas antara masyarakat dengan partai politiknya.
Bagi partai yang berbasis nasionalis hingga saat ini pun mereka masih saja terlihat sibuk mengisi wawasan dan ideologi partai terhadap konstituennya di daerah. Padahal dari sisi lain persoalan kesejahteraan masyarakat pada masa kini sudah begitu mendesak untuk dituntaskan.
Dibalik itu, rakyat tidak bisa bersabar atas sepak terjang partai politik berbasis nasionalis yang terkesan bungkam pada masalah kesejahteraan masyarakat ini hingga terkesan wacana yang tak berkesudahan.
Maka tidak heran pula jika terjadi pergeseran pilihan masyarakat yang semakin tertarik untuk menerima bantuan usaha kemandirian rakyat sebagai strategi pragmatisme melalui janji-janji kampanye partai lain. Meskipun hal itu tidak menyelesaikan masalah mereka seutuhnya.
Bagaimana pun partai politik menjadi sarana yang amat penting dalam konteks hukum konstitusi. Oleh karena struktur suatu negara yang dibedakan atas dua pembidangan yakni, suprastruktur politik dan infrastruktur politik.
Keduanya memiliki keterkaitan antara satu dengan lainnya. Sekalipun keduanya memiliki fungsi perbedaan yang nyata, tetapi keduanya memiliki peran yang sama pentingnya.
Suprastruktur dan infrastruktur politik memiliki keterkaitan dan keterikatan yang erat. Suprastruktur politik mampu mengatur segala hal dalam infrastruktur demi tercapainya tujuan infrastruktur politik itu sendiri.
Suprastruktur politik adalah segala yang berhubungan dengan alat kelengkapan Negara, mencakup kedudukan, kekuasaan, wewenang, tugas-tugas pembentukan dan keterkaitan antar seluruh kelembagaan Negara . Sementara infrastruktur politik merupakan komponen kekuatan politik dalam masyarakat yang turut berpartisipasi secara aktif mempengaruhi kebijakan pemerintah.
Posisi infrastruktur politik yang demikian luas, dimana di dalamnya terdiri dari partai politik, kelompok kepentingan baik kalangan swasta, LSM dan pengusaha atau buruh, serta peran media sebagai alat kontrol jalannya suatu pemerintahan.
Sehingga mau tidak mau, kondisi ini menjadikan infrastruktur politik menjadi alat yang diinginkan oleh siapa saja yang memiliki kepentingan untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah.
Penguasaan partai politik dan media massa pun menjadi bagian yang acapkali berusaha untuk dikuasai oleh segelintir orang. Bahkan dalam beberapa peristiwa, dua penguasa bidang ini selalu memainkan peran yang sangat ditakuti dan dikhawatirkan di banyak negara.
Hingga tak jarang media yang merupakan sumber pemberitaan mendapat perlakuan yang keras diberbagai pemerintah yang berkuasa. Termasuk partai politik yang memposisikan dirinya sebagai oposisi. Keadaan ini pun dialami oleh beberapa media masa dan partai politik tanah air khususnya di masa orde baru dulu.
Kekhawatiran penguasa di masa rezim orba menyebabkan munculnya serangan ke kantor PDI dimana kasus tragedi kuda tuli ini terjadi pada tanggal 27 Juli 1996 yang memakan korban lima orang tewas, 149 orang luka, dan 23 orang hilang.
Pengambilan alihan partai politik yang paksakan dari tangan Gusdur selaku pendiri partai PKB sebagaimana yang dinyatakannya sebagai kasus pencurian sebuah partai politik. Bahkan banyak pula kasus-kasus perpecahan yang terjadi di tengah internal partai politik seperti Hanura, PPP, PAN, dan lainnya.
Namun hal itu disinyalir adanya campur tangan pemerintah yang berakibat terjadinya kerusuhan di internal partainya masing-masing. Selain itu, adanya fakta dari beberapa pengusaha media yang mendirikan partai politik seperti Surya Paloh pemilik MetroTV yang mendirikan partai Nasdem, Hary Tanoesoedibjo pemilik MNC Group mendirikan partai Perindo. Hal ini mempertegas betapa menggiurkannya infrastruktur politik ini sekiranya bisa dikuasai.
Kembali ke laptop. Jika Jokowi yang menjalankan jabatannya secara amanah. Tidak pula memiliki kelemahan sebagai sosok yang mata keranjang. Tidak menumpuk harta yang didapat melalui perbuatan korupsi disebabkan besarnya kewenangannya.
Namun pada kesempatan yang berbeda, beliau tampak bersikap aneh terhadap karir politik dari ketiga anak dan menantunya yang saat ini menjabat Walikota Medan.
Apalagi terhadap Kaesang yang saat ini duduk sebagai Ketua Umum partai PSI. Tidakkah menjadi Ketua Umum partai menjadi dambaan banyak orang.
Soal kejujuran, sifat yang sabar, menampakkan sisi keikhlasan terhadap apa yang ditargetkannya demi kesejahteraan rakyat kita perlu belajar dari diri Jokowi. Termasuk upaya menjauhkan keluarganya mendekati proyek-proyek Pemerintah.
Namun bagaimana dengan pragmatisme politik Jokowi pada hegemoni kekuasaan?
Andi Salim, adalah pemerhati masalah sosial budaya, dan Ketua Umum Toleransi Indonesia